©pevpermint
Tak ada individu terlewat dari konflik hidup. Masing-masing punya, mulai dari ringan hingga berat, mulai dari sepele hingga menguras energi. Dan dahulu, Brianne mengira bahwa dirinya paling tersiksa di dunia. Paling susah, paling penuh dirundung masalah, sampai-sampai pernah marah pada takdir yang menurutnya tidak adil.
Keliru, ya Brianne akui. Karena pada kenyataan di luar, banyak mereka-mereka yang jauh lebih keras menghadapi pelik kehidupan. Tak terkecuali, dua sahabatnya.
“Aku sudah menggugat cerai.”
Cinta menggebu, ingin selalu bersama. Memutuskan berumahtangga dengan kenaifan demikian. Tak peduli keburukan pasangan, berlagak mampu mengubah. Padahal, perkara itu bukan kuasa kita sesama manusia. Namun, Brianne terlampau kelu memberitahu. Sebab, salah satu alasannya menikah pun demi cinta menggebu.
“Emm... Kaki kiri ku patah, sorry aku tidak bisa menyusulmu.”
Yang satu dikhianati, yang satu dipukuli. Brianne tak tahu lagi bagaimana harus bereaksi. Pedih hati, namun tidak dapat berbuat apa-apa.
“Keira bagaimana?”
“Pikirkan kondisi mu sendiri.”
“Aku sudah membaik.”
“Kau baru dikuret.”
Malam terbilang indah, Brianne temui bintang bertabur di kelam langit Paris. Sepatutnya, kini di isi dengan sesuatu membahagiakan. Senyum, tawa, senda-gurau atau minimal ketenangan menikmati waktu. Benar, sepatutnya begitu. Bukan seperti mereka sekarang. Ironi, membahas kemirisan. “Istirahat yang benar, aku di sana besok.”
“Brianne...”
“Tidak perlu berterima kasih.” Brianne tatap kembali kelam langit, lirih suara di seberang sana membuatnya ikut sesak. “Aku terlalu bingung menghabiskan uang Leon, jadi biarkan aku mengunjungi kalian.”
“Aku sedang sedih.”
“Aku sedang pamer.”
“Aku iri.”
“Bagus.”
“Aku kesal padamu.”
“Lebih baik kau kesal,” timpal Brianne. “Lebih baik kau kesal, ayo bertengkar.”
Mobil semakin melaju kencang, perbincangan terus berlanjut. Brianne sesekali terkekeh, akan dark jokes mereka. Bertingkah seolah tak terjadi apa-apa, bertingkah seolah baik-baik saja, bertingkah seolah... tak melihat perubahan warna centang di layar tablet pintarnya.
Ya, pada akhirnya... Keira menerima itu. Menerima apa yang diinginkan, menerima apa yang dimohonkan dengan sangat. Dan Brianne berharap, tak salah ambil tindakan. Berharap, sang sahabat mampu melewati badai besar tersebut lalu kembali bersama pribadi lebih kuat.
Sekuat kekecewaan yang melingkupi, sekuat duga yang melesat jauh, sekuat kepercayaan yang dihempaskan berkeping-keping hingga bahkan... detik ini Keira tak sanggup untuk sekedar mengalihkan pandangan dari sebait singkat nama seseorang.
Tertera, jelas nan apik. Terlampir, foto sebagai bukti penguat. Keira pun teramat kenal, sampai suara wanita itu saja ia hafal. “Fi-Firly?”
Prak.
Ponsel terjatuh, video berputar. Mempertontonkan figur wanita, memasuki gedung berbagai bentuk serta ukuran. Keira tahu, sebagian dari itu. Gedung milik Ibra, aset pribadi. Terkhusus penthouse, di mana menurut Moryn hanya orang tertentu yang diperbolehkan ke sana.
“Mereka-” Tidak, semestinya Keira tak perlu kaget. Tak perlu sekaget ini, mengingat keduanya memang dekat sejak lama. Yang bukan mustahil jika satu sama lain menaruh rasa, bukan mustahil jika mereka-
“Tidak, tidak.” Keira menggeleng, menepis asumsi dalam benak. Ya, keduanya memang dekat. Namun, ia pernah dengar bahwa Ibra cukup selektif menyangkut wanita. Terbukti, hanya segelintir yang diperkenankan menyinggahi hidupnya. Jadi, rasa-rasanya tak mungkin bila mereka menjalin hubungan.. “Ini pasti salah, Brianne pasti salah.”
‘Kamarku saja.’
Terbungkam, Keira membeku seribu bahasa. Ponsel di lantai tak lagi hening, video tak lagi berupa video. Gelap, menghitam. Tapi mengumbar suara, suara Firly.
‘Masih sakit, malam ini di kamarku saja.’
Seperti dicengkeram, jantung bagai dicengkeram amat kencang. Nyeri, berdebar perih. Keira mulai kehilangan ritme napasnya.
‘Aku sudah beli pil, tidak perlu kondom.’
Aliran darah seolah naik deras. Gemetar merambati, Keira gemetar hebat.
‘Hallo?’
‘Siapkan dirimu.’
“Hmp!” Mual seketika, Keira kontan mual sesaat menangkap sahutan berat dari suara familier barusan. Tak salah, itu adalah... Ibra.
‘Aku selalu siap untukmu, Tuan.’
“Hoek!”
‘Lewat samping, penjaga sedang makan malam.’
“Hoek!” Keira memuntahkan kembali sesuap bubur buatan Olive. Tak tahan, perut bergejolak. Tak tahan, rekaman ini membuatnya-
‘Langsung masuk, hn? Pintu tidak aku kunci.’
PRAK!
Menginjak objek pipih tersebut, di sela-sela muntah terus keluar. Seakan enggan berhenti, Keira merasa perutnya bak diaduk-aduk. “Hoek!”
Hening menjadi saksi, terungkapnya fakta pahit. Kebusukan suami, yang bukan main-main menikam. Bermain api, begitu berani. Tak tanggung-tanggung, bersama orang serumah. Tak tanggung-tanggung, melibatkan babysitter anak mereka sendiri. Sungguh, Keira sejatinya tidak menyangka. Akan dikhianati sebegini hina oleh Ibra, benar-benar hina. Berbagi laki-laki dengan sosok... mantan pelayan.
°°°
“Ternyata Keira ringan tangan.”
Klak.
Carlen menutup kotak P3K, usai mengurus luka di kening pria sebelahnya. “Lumayan lebar, kau bisa tuntut dia dengan ini.”
“Omongan mu,” timpal Carlson yang turut berada di sana. “Kau kira dia siapa?”
“Kekerasan tetap kekerasan, tak peduli apa statusnya.”
“Ibra tidak bilang apa-apa soal itu, oke?”
“Derra terlalu polos untuk berbohong,” balas Carlen tak mau kalah. “Aku speechless, bagaimana bisa dia melempar guci ke arah suaminya tepat di depan anak sendiri? Ibu macam apa dia?”
“Kita tak tahu masalah mereka.”
“Paling tidak tahan emosi,” desis Carlen. “Tahan emosi demi anaknya, apa itu berat?”
“Pergilah.” Ibra menginterupsi, memejamkan mata di ranjang kamar tamu apartemen Carlson.
“Kau biarkan dia melukai mu, aku jamin akan diulang lain waktu.”
Grep.
Carlson mencekal lengan saudara kembarnya itu. “Ayo pergi.”
“Aku masih bicara.”
“Dia bukan bocah.”
“Tapi sepupu mu ini bodoh, Carlson.”
“Kita pihak luar, Carlen. Jangan ikut campur.”
“Aku hanya menasihati!”
“Percuma!” Carlson ikut melantangkan intonasi. “Percuma karena dia tak akan peduli.”
Carlen bergeming. Kalimat itu tercetus serius, didukung pula ekspresi Carlson yang bergurat tegas.
“Mereka pasangan menikah, kita tidak akan paham.”
“...”
“Jadi, jangan memperkeruh situasi dengan berkoar-koar tak jelas.”
“Tidak jelas?”
“Lagipula-” Carlson lantas memandang sosok yang berbaring mengabaikan mereka. “Itu hanya luka sepele.”
“Kau buta?!” pekik Carlen, spontan. “Lihat betul-betul dengan mata kepala mu!”
“Bagi laki-laki yang sedang dibutakan cinta,” lanjut Carlson.
Telak mengatupkan bibir Carlen.
“Ayo.” Tanpa berbasa-basi lagi, Carlson menggiring wanita itu untuk beranjak. Tak baik berlama-lama, entah apa yang diocehkan nanti.
Blam.
Pintu tertutup, sepi melanda. Ibra perlahan menyudahi acara terpejamnya, mematri langit-langit ruangan dalam kebisuan. Beberapa detik demikian, untuk kemudian ia dudukkan diri di tepian ranjang.
Bingung, Ibra terlampau bingung dengan sikap Keira. Semakin kemari kian aneh, bahkan pernah seharian mereka tak bertegur sapa. Seperti mengulang masa silam, sebelum mereka selengket kertas dan prangko.
“Damn it!” Mengusak kasar surainya, Ibra jambak sedikit lalu diam. Terulas adegan pertengkaran mereka, amukan Keira yang membabi-buta. Itu kali perdana, amarah meledak-ledak nan lepas kendali. Sampai tak memedulikan sekitar, termasuk Derra yang menyaksikan mereka.
Biasanya Keira tidak begitu, semarah apa pun yang menghinggapi akan ditahan bila di dekat Derra. Lalu apa, mengapa istrinya tersebut berubah se-drastis ini? Yang Ibra yakin, bukan dipicu bawaan janin.
“Kau kenapa sebenarnya?” Berbisik di antara rahang mengetat, Ibra tak tahu harus apa untuk meredam masalah ini. Tidak sepatah kata terumbar dari mulut Keira, selain pengusiran dibarengi tatapan tajam penuh kebengisan. Bayangkan, betapa bingung menyerangnya?
“Ada apa denganmu sebenarnya?” Mengeratkan jambakan sendiri, Ibra menyorot dingin permukaan lantai. Frustrasi. Ia muak dengan masalah ini, namun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan. “Kau kenapa? Kenapa, kenapa, KENAPA?!”
BRAK!
Kursi terhempas, hingga membentur tembok. Lama memendam, Ibra mencapai batas. Cukup, cukup sudah menahan diri. Emosinya butuh diluapkan sekarang.
BRAK!
Menendang satu kursi lainnya, Ibra berlanjut menghancurkan barang-barang di sana. Benar, ia juga memiliki sisi begini. Bahkan lebih buruk ketimbang Keira dan tidak akan berhenti sebelum habis tenaga.
PRANG!
“IBRA!”
Kaca berhamburan, namun Ibra terus mengayunkan tangannya.
Carlson segera menghampiri, harus ia leraikan. “Stop it, Ibra!”
“Keluar.”
Carlson menyurutkan langkah. Tentu, sebab pria di hadapannya melontarkan tatapan dingin. “A-Aku mengerti kau punya masalah, tapi bukan begini cara-”
“KELUAR!”
Terpaksa menurut, Carlson tak cukup nyali untuk sungguh-sungguh menghentikan sepupunya tersebut. Mengerikan jika sudah mengamuk, ia tak mau terkena imbas bogeman mentah.
Blam!
Sepi kembali menyelimuti, Ibra bernapas berantakan. Kamar tak lagi berbentuk, namun... ia masih kurang. Belum cukup, ia butuh lebih.
Drt Drt Drt
Mengacuhkan gema dering ponsel nya itu, Ibra mengambil rangka kursi yang telah patah. Satu lukisan masih terpajang elok, akan ia hajar hingga hancur lebur.
Drt Drt Drt
Terganggu, panas telinga. Ibra berniat menghancurkan benda canggih tersebut lebih dulu, andai tak menjumpai kontak yang terpajang di layar. Telak, memantik amarahnya untuk tambah menjulang. Wanita itu… turut membebani belakangan ini, membebani pikran dengan tingkahnya yang mulai melewati batas.
Drt Drt Drt
Grep!
“Berhenti menghubungiku, Brengsek!”
“Butuh pelampiasan?”
Gigi bergemeletuk, urat-urat timbul menghiasi leher. Ibra tak cukup baik untuk meladeni siapa-siapa sekarang, terlebih Firly. Sosok yang sempat ia anggap teman sebelum dengan kurang ajar menawarkan diri. “Tutup mulutmu.”
“Aku tunggu di apartemen biasa, habisi aku sesuka mu.”
“FIRLY!”
“Hanya aku yang memahami mu, Ibra. Hanya aku.”
Ibra mengepalkan tangan.
“Jadi datanglah, lampiaskan semuanya padaku.”.
.
.
Udah tamat di KaryaKarsa + ada hidden chapter nya jg ya ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️