©pevpermint
Klik
Keira memasang kait helm nya, busana serba hitam ia kenakan berikut sepatu boots hak cukup tinggi guna mendukung badannya menunggangi motor sport di garasi. Motor yang juga berwarna hitam, baru ia beli atau lebih tepatnya dibelikan Brianne usai ia minta tiga hari silam.
Terpaksa meminta, sebab Keira pribadi tak memegang uang. Tidak ada jatah bulanan seperti istri-istri pada umumnya, ia hanya diharuskan melapor bila menginginkan apa-apa. Lalu Ibra siap penuhi.
Tentu, membeli kendaraan sangar pengecualian. Oleh sebab itu, Keira meminta pada sahabatnya di benua lain sana. Lagipula rumah tangganya belum reda dari beku perang dingin, tak sudi ia menegur suami lebih dahulu apalagi demi meminta dibelikan sesuatu.
“Nona, tolong jangan begini.” Olive berusaha mencegah istri majikannya tersebut. Hari sudah malam. Meski cuaca bagus dan belum larut, namun bepergian sendiri serta mengendarai motor jelas membahayakan. Terlebih wanita itu sejatinya dilarang keluar, bisa-bisa meradang Ibra De Paul jika nekat. “Anda baru sembuh, kembalilah istirahat.”
Keira menyalakan mesin motornya, di depan garasi sana berbaris para ajudan De Paul. Bahkan Olive menghadang tepat di muka kendaraan mewah yang telah ia naiki.
“Menyingkir,” usir Keira pada mereka semua sembari menderumkan motornya. Tidak aneh-aneh, ia hanya ingin kembali menikmati kebebasan seperti sebelum menikah. Masa bodoh dengan aturan Ibra, toh dipatuhi pun malah semakin menginjak. Lebih baik membangkang sekalian, terpenting tak teledor akan tanggungjawabnya sebagai ibu serta istri.
“Aku tidak sebaik perkiraan kalian,” imbuh Keira. “Menabrak kalian, ringan bagiku. Tetaplah di tempat dan-”
Broom!
Menyalak-nyalak, Keira tak bercanda dengan ujarannya.
Olive spontan menepi tatkala wanita itu menarik gas penuh provokasi, diikuti pula oleh para ajudan yang berderai bagai semut. “Telepon Tuan!”
Meninggalkan kericuhan tersebut, Keira memperlaju kecepatan. Sedikit kaku, sebab cukup lama tak berkendara. Baik mobil apalagi motor, sopir di rumah senantiasa stand by mengantarnya ke mana pun.
Suasana lumayan sepi, wajar karena belum seutuhnya keluar dari jalanan menuju istana megah Ibra. Keira seketika bernostalgia, walau beda tempat tak menghentikannya mengulas momen lama. Night trip bersama dua sahabatnya, adu balap dengan Brianne di mana Weyn akan berteriak ketakutan di boncengan wanita itu.
Yang pada akhirnya, mereka akan tergelak bertiga. Bersenda gurau hingga larut kemudian pulang menghadapi kemurkaan Charleon selaku suami sadis Brianne. Keira rindu, rindu masa-masa itu, rindu kebebasan tanpa tanggung jawab berarti sebagaimana sekarang.
Broom!
Keira memasuki area kota, namun segera beralih menuju sirkuit yang pernah ia lintasi saat menikmati weekend. Masuk ke sana, menyewa satu jam tanpa siapa pun boleh mengganggu. Dan Weyn yang bayar juga melalui online.
“I LOVE YOU, KEIRA!” Sengaja meneriakkan itu ketimbang mencaci Ibra atau mencaci hidupnya yang sekarang jauh dari ekspektasi nan ideal sebagaimana rencana dulu. Ya, Keira hanya berupaya menerima kenyataan.
Sekaligus enggan membenci diri sendiri seperti saat hubungannya dengan Daco mulai berantakan sampai berujung kandas. Tidak, Keira tak akan biarkan rasa tersebut kembali menggerogoti. Menggerogoti sampai ia berakhir stres. Berharga! Dirinya berharga. Dan persoalan kehidupan begini lumrah dialami setiap manusia, bukan ia seorang.
“AKU BAHAGIA!” Cita-cita menjadi dokter spesialis anak redup-padam akibat hamil, Keira jelas tak siap menyandang status ibu karena kehadiran Derra di luar keinginan. Beruntung ia kaya, beruntung memiliki Edgar Alba dan Kylen Alba sebagai orangtua. Yang tetap sudi menerimanya padahal telah mengecewakan teramat sangat atas kebodohan itu.
Andai... andai dirinya miskin, andai orangtuanya bukan mereka berdua. Entah bagaimana nasibnya, terlebih laki-laki yang menghamili keberatan bertanggungjawab. Maka, pantas Keira mendoktrin ia bahagia atas hidupnya sekarang. Sebab, pasti banyak perempuan di luar sana yang mengalami insiden persis sepertinya berakhir sengsara.
Ciiit!
Berhenti, Keira bernapas memburu. Tercenung di atas motor, di antara udara bebas sekitar. Mengulas momen lama, berputar bak roll film. Mulai dari masa sekolah menengah, berlanjut awal-awal mengenal cinta, terjerat dalam pesona Daco, bersama menimba ilmu di universitas ternama Vancouver, suka-duka dengan dua sahabat tersisanya, hingga tiba eksistensi Queena Hernandez dalam hubungan asmaranya. Kemudian terkuak fakta kehamilannya dan semenjak saat itu, ia merasa... sulit menemukan ketenangan. Ada saja masalah menyambangi, baik kecil maupun yang sampai memicu denyut di kepala.
“Tired of being me.” Keira membuka kaca helm nya. Menunduk, membiarkan tangis menguar.
Di sisi lain, Firly membuka setumpuk kotak di sudut kamarnya. Selesai menidurkan Derra, ia tak sabar mengecek isi di sana. Terdiri berbagai macam barang, yang ia idam-idamkan sejak lama. Dan baru terbeli kini berkat uang pemberian Ibra.
Lusa silam, tanggal gajiannya. Firly menerima lebih yang ia tahu karena apa. Sungguh, Keira merugi menyia-nyiakan pria semacam majikannya tersebut. Tampan, mapan, royal pula.
Cekrek.
Memotret satu cincin berlian berwarna safir, Firly berniat memamerkan pada sang adik. Pasti terkejut, sebab harga bukanlah main-main. Butuh gajinya lima tahun tanpa dipakai untuk mampu memiliki.
“Cantik.” Firly memasang ke jari manisnya, ia gerak-gerakkan dengan anggun. Putih kulitnya menyatu bersama kilau cincin mahal itu.
“Cantik sekali.” Senyum terulas, Firly lantas membuka kotak-kotak berikutnya. Tas, jam tangan, syal serta beberapa busana di mana seluruhnya merupakan produk branded. “Mimpi apa aku bisa membeli ini semua?”
Sementara itu, Keira memasuki caffe pasca meredakan emosionalnya. Butuh latte serta makanan manis guna menaikkan suasana hati. Benar, ia berencana pulang larut setelah memastikan Derra aman tertidur di urus Firly. Kali ini saja, ia tepikan sang anak. Memenuhi keinginan menghabiskan waktu sendiri.
“Ada lagi, Ms?”
“Cukup.” Keira membuka jaketnya, membiarkan pelayan itu undur diri dan mengabaikan bermacam tatapan para pria di sekeliling. Tak risih apalagi salah tingkah, ia terbiasa.
Drt Drt Drt
Kembali bergetar, ponsel baru dari sang ibu tersebut lagi-lagi memampangkan kontak Axel. Telepon, pesan teks menyerbu yang rata-rata memuat pertanyaan keberadaannya detik ini. Keira tentu mengabaikan.
Ya, tak salah. Axel lah yang terkesan uring-uringan ketimbang Ibra selaku suaminya. Sedemikian dingin rumah tangga mereka, bertahun-tahun bersama tidak hanya minim interaksi secara langsung melainkan via seluler juga. Berteleponan, balas-membalas pesan teks? Sangat jarang, bahkan bisa dihitung jari. Keira pribadi tak tahu, pernikahan jenis apa ini.
“Silakan, Ms.”
“Thanks.”
“My pleasure.”
“Bisa aku minta barcode tagihan ini?”
“Sekarang?”
“Ya.”
“Mohon tunggu sebentar, Ms.”
Berdeham singkat sebagai respons, Keira meraih gelas latte nya untuk ia sesap.
“Ini, Ms.”
Keira men-scan barcode itu, pembayaran tuntas. Ia siap menikmati hidangan di depannya, kalau saja tidak ada dua wanita bersetelan formal tiba-tiba menghadap.
“Malam, Nona.”
Sapaan sopan, namun sukses membuat Keira mendatarkan air muka. Kenal, mereka adalah ajudan De Paul. Yang sering menjaga Moryn bila berkunjung ke Paris.
“Maaf mengganggu Anda, tapi Tuan menunggu di mobil.”
“Pergi.”
“Mari, kami antar ke sana.”
“Enyah selagi aku meminta baik-baik.”
“Ayo, Nona.”
Plak.
Keira menepis tangan mereka dari mencoba memegang lengannya. “Berani kau menyentuhku, jangan menyesal kehilangan pekerjaan mu besok.”
Terdiam, dua ajudan itu saling lirik satu sama lain sebelum bercakap melalui earphone entah dengan siapa. Kontan Keira kehilangan selera, malu juga menyita perhatian pengunjung lain.
“Maaf, Nona. Tuan ingin Anda pulang bersama beliau sekarang.”
Keira bangkit, menyambar jaketnya untuk beranjak. “Bilang pada majikan kalian, aku tidak sudi.”
Grep.
“Nona, menurutlah sebelum kami-”
“Lepas.”
“Nona.”
“Lepas!”
Alih-alih diindahkan justru lengannya beralih dicekal, Keira meronta. Betul-betul kurang ajar mereka ini. “LEPAS!”
“Maaf, Nona.”
“LEPAS, BASTARD!”
Seolah tuli, mereka menyeretnya. Energi bukan kepalang kuat, Keira sampai kesulitan. “LEPASKAN AKU!”
“Maaf, Nona.”
Keira semakin brutal memberontak sesaat mobil familier tertangkap netranya, terbentang lebar pula pintu kendaraan hitam kelam tersebut serta menampilkan bayangan figur Ibra duduk seakan tak terjadi apa-apa. “KALIAN BIADAP!”
Blam!
“Keira?”
“Hm?” sahut Eron atas gumaman lelaki di sebelahnya, Daco Gerrard. “Kau mengatakan sesuatu?”
“Keira.”
“Lagi?” Eron menghela napas panjang, mengkhawatirkan lama-lama sahabatnya ini. “Hentikan, Daco. Sebelum aku membawamu test kejiwaan.”
“Aku yakin itu dia.” Daco berlari, mengejar mobil yang hendak melaju. Mobil di mana sosok paling ia hafal perawakannya di dorong masuk. “Kei!”
Eron berdesis, mau tak mau menyusul. Ini kedua kalinya setelah kemarin pria muda itu juga tunggang-langgang mengejar mobil asing seraya menyebut nama mantan tambatan hati.
“KEIRA!”
“STOP IT, DACO!” Eron turut berteriak, menarik hoodie di hadapannya hingga si empu terhenti. Tak tergapai, mobil barusan kencang berhambur.
Daco menepis cengkeraman Eron, ia jamin seratus persen perempuan tadi Keira. Tak salah, begitu pula yang tempo hari.
“Stop it.” Napas memburu, Eron sekuat tenaga menahan sahabatnya tersebut. “Hentikan, atau aku benar-benar membawa mu ke rumah sakit jiwa.”*Di KaryaKarsa sudah epilog*
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️