35. Kepercayaan

1.3K 88 11
                                    

©pevpermint

“Maklumi dia, Ibra. Memang ada perempuan membenci suaminya saat hamil.” Moryn melahap kue kering di atas meja ruang keluarga. “Masih lumayan Keira tidak mual melihatmu, ada yang sampai begitu.”

Kylen terkekeh, mendapati raut pria di depannya tambah muram. “Biasa hanya berlangsung sementara, semoga tidak lama.”

“Bayangkan kalau sampai sembilan bulan dibenci istri sendiri.” Edgar terkikik. “Sudah pasti wajah mu dipenuhi keriput.”

“Memang sudah keriput,” celetuk Moryn.

Ibra memicing.

“Ck, ck, ck, apa yang kupikirkan dulu hingga menikahkan putriku dengan pria tua seperti mu?” Edgar bersedekap dada. “Aku bahkan rela dicaci-maki menjual putriku demi harta.”

“Benar, bukan?”

“Mulutmu.” Edgar berdesis atas reaksi Ibra.

Kylen tertawa.

Begitu juga Moryn.

Perbincangan hangat, diselingi candaan. Ruang keluarga dilingkupi suka cita, terlebih ketika Derra ikut bergabung. Tawa terumbar kian kencang, membuat Keira membatalkan niat ke taman belakang.

“Sebentar,” ucap Keira pada sambungan telepon. “Nanti aku hubungi lagi.”

Pip.

Memutus komunikasi tersebut, tatapan Keira perlahan berubah kosong. Pekikan ceria Derra menggema, disusul seruan riang para orang dewasa di sana. Bahagia, mereka semua terdengar bahagia.

Ting!

Pesan teks masuk, Keira tak ambil peduli. Tangan terkepal, amarah lagi-lagi singgah mengingat keadaan ini. Keadaan buruk, dinyatakan hamil tepat setelah mengetahui kebusukan suami sendiri.

Drt Drt Drt Drt

Brianne menelepon ulang, Keira lantas menggeser icon hijau guna mengangkatnya. Seraya berbalik badan untuk kembali ke kamar.

“Artikel itu benar?”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Baca chat ku barusan.”

“Aku tidak tertarik berita gosip.”

“Pikirmu, aku tertarik?”

“Ya sudah, untuk apa-”

“Kau hamil?”

Terhenti, Keira urung mendorong knop pintu kamar.

“Weyn mengirimku artikel wawancara Ibra, dia mengungkit kehamilan mu.”

Mengeratkan pegangan di ponselnya, Keira membisu. Wawancara Ibra... dengan stasiun berita bisnis, yang mengulik kinerja pria itu kala mengatasi masalah tiga cabang Depaul Group beberapa saat silam.

“Kei?”

“Beritahu saja siapa wanita itu.”

“Tidak.”

Sesuai perkiraan, Brianne akan demikian. Berubah niat, mengungkap identitas selingkuhan Ibra. Oleh sebabnya, Keira tutup rapat mengenai kehamilan ini.

“Kalau aku tahu kau hamil, mustahil aku membeberkan soal kemarin.”

“...”

“Aku simpan bahkan aku turun tangan langsung menghadapi suami mu.”

“Jangan ikut campur.”

“Kau sudah menarikku untuk ikut campur, Keira.”

Amarah tersirat dalam intonasi barusan, Keira menggigit pipi dalamnya.

“Kau sudah membuatku ikut campur dan aku bisa menggila menghajar seorang Ibra demi dirimu.”

Berkaca-kaca, mata Keira memerah.

“Aku kecewa mendengar kabar ini bukan dari mu.”

“Aku pun baru tahu setelah kita berteleponan kemarin.”

“...”

“Aku baru tahu dan rasanya... sakit sekali.”

“...”

“Andai waktu bisa diulang, aku juga tak mau tahu tentang itu.” Keira meluruhkan tangis. “Paling tidak sampai aku melahirkan, sampai aku tak perlu mengkhawatirkan kondisiku demi menjaga kandungan ini.”

“Kei-”

“Dadaku sesak sekali.” Keira menutupi mulutnya, meredam isakkan yang menjadi-jadi. “Sesak sekali, tenggorokanku juga sakit setiap mengingatnya.”

“Keira-”

“Aku butuh kalian.” Keira berjongkok, menghadap pintu dan tergugu di sana. “Aku butuh kalian, ayo hibur aku.”

Di sisi lain, Ibra meninggalkan kehebohan ruang keluarga. Menuju tempat bersantai area kanan rumah, guna menghirup udara segar.

Edgar mengekori, membawa serta dua gelas orange juice untuk mereka. Peka, bila sang sahabat dalam suasana hati buruk. Tentu, disikapi ketus oleh istri sendiri siapa tidak merana?

Tak.

Meletakkan gelas-gelas jus ke atas meja, Edgar menghampiri Ibra. Bersandar ke pembatas balkon, di samping sosok yang mematri hampa taman.

“Kau yakin tidak salah apa-apa?” Edgar memastikan, barang kali Ibra lupa dan alasan Keira mendadak anti dengan pria ini bukanlah kehamilan. “Dia sampai terlihat ingin menangis kau dekati, aku ngeri sendiri.”

“Kami baik-baik saja,” gumam Ibra. “Sebelum dinyatakan hamil, Keira masih menyiapkan keperluanku dan mengantar kerja.”

“Apa mungkin putriku sedang pura-pura?”

Ibra mengernyit samar.

“Kau sibuk beberapa hari ini ‘kan?” lanjut Edgar. “Kudengar, business trip ke Madrid dan Dubai juga?”

“Keira bukan tipe-”

“Hei, perempuan hamil itu sensitif.” Edgar menyela. “Mood tak karuan, kadang ada juga yang seperti berubah karakter. Semula lemah-lembut, berubah gampang marah. Semula gemar dandan, berubah asal-asalan. Atau sebaliknya. Jadi, bukan tidak mungkin Keira mengalami itu.”

“...”

“Drama, mencari perhatian mu.” Edgar mengambil gelas orange juice nya. “Lagipula kehamilannya memasuki minggu ke empat. Dan kau bilang, kalian baik-baik saja sebelum dokter memberitahu kehamilan itu. Fix, hamil bukan lah alasan Keira berubah sikap padamu.”

Ibra sempat berpikir demikian, tapi jika bukan bawaan hamil lantas mengapa? Karena sungguh, ia yakin tidak berbuat salah apa-apa belakangan ini. Walau sibuk, ia senantiasa mencuri-curi kesempatan untuk mereka bersinggungan. Cukup, bertahun-tahun kemarin mereka bergelung dengan salah paham akibat minimnya komunikasi satu sama lain. Tak mau, hal sama melingkupi mereka lagi. “Dia tidak sedang pura-pura.”

“Kau tanyakan saja langsung.”

Tanpa disuruh, Ibra pasti melakukannya. Akan tetapi, Keira betul-betul tidak bisa ia dekati. Menjaga jarak, banyak membisu. Dan ketika menyahut, hanya singkat serta bernada tak enak.

“Meski begitu,” Edgar menelan carian menyegarkan yang ia sesap. Pandangan lantas menerawang ke depan, sebelah tangan memegang pagar balkon. “Kuharap, kau menuruti ucapan Moryn.”

Ibra menoleh.

“Maklumi Keira,” ujar Edgar sembari mengulas senyum tipis. “Entah apa alasannya tiba-tiba berubah sikap padamu, tak menampik fakta bahwa dia hamil anakmu. Jadi... lapangkan dada mu, besarkan kesabaran mu, jangan sakiti dia karena itu.”

“Apa yang kau-”

“Aku sering mendapati berita perselingkuhan akhir-akhir ini,” tukas Edgar.

Ibra spontan terbungkam.

“Saking seringnya, aku merasa diriku langka sebagai pria setia.” Edgar terkekeh.

Ibra bergeming bak patung.

“Dan yang membuatku speechless, ada pula suami main gila dengan wanita lain sementara istri sendiri sedang hamil darah dagingnya?” Edgar geleng-geleng. “Di mana otak mereka? Apa tidak kasihan? Apa tidak-”

“Jangan membicarakan keburukan orang lain,” potong Ibra. “Kau bisa mengalami hal serupa nanti.”

“Aku berbicara fakta.”

“Sekalipun itu fakta.”

“Dan kuharap kau tidak mengikuti jejak mereka,” timpal Edgar.

Ibra kembali mati kutu.

“Sulit memang menahan hasrat terhadap istri, apalagi ketika istri hamil.”

“...”

“Tapi selingkuh di saat istrimu tak maksimal melayani akibat kondisinya itu, jelas bukan solusi.” Edgar menasihati. “Aku berceloteh begini, tidak semata-mata meragukan kesetiaan mu. Melainkan perubahan sikap Keira membuatku khawatir, kau akan muak lalu mencari kesenangan di luar.”

Angin silir menerpa. Tak elak, Ibra sedikit tertohok dengan sederet kalimat sahabatnya ini. Sedikit, sebab benar ia sempat menyentuh wanita lain tatkala rumah tangganya diselimuti kehambaran. Ya, sempat. Karena kini, ia telah berhenti. Keira mencukupinya, lebih dari cukup. Lebih, sangat lebih.

“Jangan kecewakan aku, Ibra.”

Membalas tatapan Edgar, Ibra temukan keseriusan di sana.

“Keira putriku satu-satunya. Dan kau... satu-satunya sahabat paling kupercaya. Jangan kecewakan aku.”

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang