©pevpermint
Saling mengacuhkan, saling menganggap asing satu sama lain. Kian hari, situasi tak kunjung membaik. Olive sebagai pelayan yang bersinggungan langsung dengan pasangan suami-istri ini, jelas terdampak ketidakenakkannya.
“Maaf, dasi Anda.” Menjulurkan objek polos berwarna dove tersebut, Olive selesai mengurus keperluan si Tuan Rumah. Ya, ia tugaskan begini oleh si Nyonya Rumah pasca pertengkaran besar kemarin.
“Jam?”
“Maaf?” beo Olive, menanggapi sepatah kata barusan.
“Jam tanganku.”
Olive menatap pada busana kantor lengkap yang telah ia siapkan. Dan benar, tidak ada benda itu menyertai.
“Ma-Maaf saya lupa, Tuan.” Cepat-cepat Olive menuju lemari koleksi jam tangan pimpinan Depaul Group tersebut, memilah model berikut warna sepadan busana sebelumnya.
Sementara itu, Keira turut memasuki walk in closed. Memindai tempat khusus dress-nya tergantung untuk ia kenakan, tak hirau akan kesibukan dua manusia lain di dekatnya.
“I-Ini, Tuan.” Sungguh, Olive sudah berupaya biasa saja. Namun, sulit. Kelam yang tengah menaungi pernikahan majikannya ini, tak pelak menciptakan ketegangan. Ia takut salah bersikap.
“Keluar.”
“Ba-Baik.” Sedikit menunduk sebagai tanda hormat, Olive segera meninggalkan ruangan bak partisi toko mewah itu. Kemudian melambatkan langkah sesaat hendak melewati wanita yang sedang mengambil satu dress berbahan sifon. “Pagi, Nyonya.”
Keira berdeham singkat.
Olive mengernyit, dress itu bukan dress santai rumahan. “Maaf, Anda butuh bantuan?”
“Tidak.”
Terdiam, Olive mengangguk kecil. Berancang untuk lanjut keluar, namun detik itu pula ia teringat sesuatu. “Oh, Nyonya ke rumah sakit?”
Keira menoleh pada pelayan itu.
Dan Ibra terhenti dari kegiatan menyematkan kancing kemejanya.
“Check up Anda dimajukan?” imbuh Olive. “Bukankah Anda bilang jam sebelas nanti?”
“Kenapa?”
“Tidak ada,” jawab Olive. “Saya belum menyiapkan sarapan Anda.”
Akhir-akhir ini, Keira hanya mau makanan hangat. Yang benar-benar baru dimasak. Kalau tidak, perut akan mual. “Sandwich telur.”
Olive spontan tersenyum, lebar nan bersemangat. “Sepuluh menit, saya antar ke sini.”
Tak menanggapi, Keira mulai menyalin bathrobe nya dengan balutan dress panjang. Membiarkan Olive pergi, menyisakannya berdua bersama sosok yang terpantul dalam cermin tengah memperhatikan dirinya. Tidak lama, lalu pria itu menyambung lagi acara bersiap ke kantor.
Entah sungguhan ke kantor atau mampir ke mana-mana. Kemudian pulang keesokan hari. Ya, seperti yang beberapa waktu ini Ibra lakoni. Suaminya tersebut jarang di rumah. Dan Keira tak peduli, memilih enggan peduli. Termasuk tak peduli, soal Firly yang pula kembali libur sesuka hati. Serta, sempat ia dapati jalan terpincang-pincang.
“Ikuti.” Ibra mentitah ajudannya melalui telepon, sesaat mobil yang membawanya melaju meninggalkan pekarangan rumah. “Hadang jika dia ke bandara atau transportasi umum.”
Axel melirik spion dalam mobil, menemukan bagaimana majikannya itu masih diselubungi aura gelap. Tak mereda sejak pertengkaran hebat dengan sang istri, padahal telah berlalu lumayan lama. “Langsung ke kantor, Tuan?”
Ibra diam, fokus tertanam pada layar tablet.
Axel menghela napas pelan, belakangan ini cukup repot dengan tingkah pria dewasa itu. Irit bicara, membuatnya serba-salah. Di kantor juga serupa, bekerja diiringi kebisuan. Carlson saja sampai frustrasi. “Tuan?”
“Kantor.”
“Baik.” Lantas Axel menambah kecepatan kendaraan.
Dengan Ibra yang bergelung dalam asumsi. Untuk apa Keira ke rumah sakit? Sementara empat hari silam baru check up kandungan? Pun ia menerima laporan, tak ada hal mengkhawatirkan. Semua stabil, kondisi istrinya tersebut baik. “Axel?”
“Ya, Tuan?”
Ibra mengerutkan kening, menjumpai titik GPS ponsel Keira menuju wilayah pinggiran kota. Berlawanan arah dengan tempat check up kemarin.
“Ada apa, Tuan?”
“Braddy Roughes,” ujar Ibra tanpa membuang atensi dari tablet pintarnya. “Ada rumah sakit di sana?”
“Braddy Roughes?” ulang Axel. “Pinggiran kota?”
“Ya.”
“Tidak ada, Tuan.” timpal Axel, beberapa kali ia pernah singgah ke wilayah itu. “Hanya klinik dan tempat pengobatan tradisional.”
“Kau yakin?”
“Dulu ada, tapi ditutup paksa karena kasus malpraktek aborsi.”
“Putar balik.”
“Maaf?”
“Ke sana sekarang!”
Meski kebingungan, Axel tetap mematuhi. Banting stir, melajukan mobil di atas rata-rata melintasi jalanan sibuk Paris. Sang majikan jarang membentak, jika sudah demikian maka sesuatu mendesak pasti terjadi.
Tap.
Ibra men-dial kontak sopir yang membawa Keira, tiba-tiba pula GPS hilang akses. Wanita bermarga Alba itu tampaknya me-nonaktifkan ponsel.
“Maaf, Tuan. Braddy Roughes Timur atau-”
“Timur,” sela Ibra. Walau GPS hilang akses, masih aktif alat pelacak di kendaraan Keira.
“Hallo, Tuan?”
“Mana Keira?” sahut Ibra pada sambungan telepon.
“Nyonya?”
“Di mana dia?”
“Baru masuk.”
“Ke mana?!”
“Klinik, Tuan. Kli-Klinik Jeuz.”
Pip.
Ibra memutus telepon mereka, berpindah aplikasi guna mencari informasi mengenai klinik tersebut.
Axel penasaran, sangat. Namun, terlampau takut untuk bertanya. Alhasil, hanya berkonsentrasi pada lalu-lintas.
Srak!
Keira terdiam, kertas di hadapannya dirampas kasar.
Dan Ibra tanpa basa-basi lekas membaca sederet kalimat di sana.
Formulir Aborsi. Axel membeliak lebar kala tak sengaja melihat itu.
“Kau-” Menjeda, Ibra mencekal lengan Keira. Lalu menariknya paksa dari kursi tunggu menuju mobil.
Axel mengekori. Mengode ajudan De Paul yang tadi membuntuti Keira, untuk bergegas membuka pintu kendaraan majikan mereka.
“Masuk.”
Keira tak membantah, sudah menduga akan ketahuan. Akibat lupa mematikan ponsel ketika hendak kemari. Benar, ia peka pergerakannya diamati Ibra. Meski tak menyangka, secepat ini tertangkap.
“Kau sadar apa ini?”
Terdengar sumbang, intonasi barusan bersirat emosi. Tapi Keira, memilih meratap luar jendela mobil ketimbang merespons pria di sampingnya itu.
“Keira.”
Berlagak tuli, Keira betah membisu.
Ibra meremat kertas di pegangannya, hingga lusuh tak berbentuk. “Keira.”
“Kau sudah baca.”
“Kenapa?!”
Keira bungkam lagi. Tidak, ia sama sekali tak terintimidasi dengan amarah Ibra. Tidak sedikit pun, semenjak mengetahui kebusukan suaminya tersebut. Terlebih kebusukan itu menyangkut-pautkan mantan pelayan, melibatkan babysitter anak mereka sendiri. Yang sukses, mencoreng image pria ini di matanya.
“Kenapa kau-” Tak terbesit dalam benak Ibra, Keira akan begini. Tak pernah, walau ia tahu wanita itu tidak mempunyai perasaan apa-apa padanya. “Kenapa kau melakukan ini?”
Masih tetap bergeming, Keira kian mengatupkan bibir.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti ini?”
“...”
“Kenapa kau bisa-” Ibra menggertakkan rahang. “Kenapa kau bisa segila ini, Keira?! Di mana otak mu?!”
Pandangan Keira berubah kosong.
“Dia anakmu! Dia di dalam perut mu! KAU IBUNYA!”
Sangat, Keira amat sangat ingin menjawab teriakan tersebut. Dengan lantang, sekaligus mengungkapkan semuanya. Sampai Ibra takkan mampu berkelit. Namun, kenyataan pahit yang baru menimpa ini betul-betul mengguncang jiwanya. Ditambah fakta, siapa orang ketiga di antara mereka.
Keira linglung, tak tahu harus apa. Bahkan ia butuh berhari-hari guna menenangkan emosi, butuh berhari-hari untuk mengendalikan kewarasan supaya tidak mengamuk. Sebab, itu hanya akan semakin menjatuhkan harga dirinya. Menjijikkan. Ya, Ibra membuatnya jijik. Jijik terhadap pria itu, jijik terhadap Firly, juga jijik terhadap... diri sendiri. Yang bagaimana bisa sebegitu rendah diduakan dengan sosok pesuruh.
Sungguh, selama hidup Keira tak peduli soal profesi atau menilai manusia berdasarkan status sosial mereka. Menggelikan untuk sombong, sementara akan mati tanpa membawa itu. Namun, entah mengapa pengkhianatan Ibra dengan si mantan pelayan ini memantik tinggi hatinya. Hingga muncul ke permukaan, meraung-raung protes tak terima. Demi apa pun, ia tak terima. Terhina bukan kepalang, merasa diinjak-injak habis oleh mereka.
“Jawab aku.” Ibra mencengkeram kedua bahu Keira. “Hentikan diam mu dan JAWAB AKU!”
“Tidak sudi,” pungkas Keira pada akhirnya. Sembari membalas tatapan di depannya itu tak kalah bengis. “Aku tidak sudi mengandung anak dari laki-laki murahan seperti mu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️