13. Berbeda

1.3K 83 2
                                    

©pevpermint


“Nona di kolam renang, Tuan.”

Ibra mengecek arlojinya, siang terik di kolam renang?

“Bermain bersama Nona Muda dan Nona Weyn,” tambah Olive.

“Weyn?”

“Sahabat Nona Keira.”

Ibra tahu. Hanya saja, kapan perempuan itu kemari? Tak ada laporan apapun dari keamanan rumah tentang kedatangannya.

“Tuan mau saya buatkan jus?”

“Derra bersama mereka?”

“Iya.”

“Ambilkan.”

“Maaf?”

“Bawa Derra padaku.”

Olive mengernyit, kenapa tidak langsung ke sana saja?

“Antar ke ruang tamu,” tambah Ibra. “Sekalian camilan dan lemon-”

“Apa kubilang untuk pakai sunblock?”

“Kukira akan eksotis seperti artis-artis, tapi ternyata begini jadinya.”

Ibra spontan membuang muka tatkala mendapati dua wanita muncul dengan busana renang mereka. Ada Derra juga, tergelak riang dalam gendongan Keira.

“Oh, saya lupa memberikan bathrobe untuk mereka.” Olive tersadar.

Ibra akhirnya tahu, alasan Keira beserta Weyn masuk dalam keadaan seperti barusan. Dan alasan ia tak mengambil Derra langsung adalah demi tidak melihat mereka berbusana terbuka, terutama sang istri.

“Maaf, Tuan. Saya tinggal dulu.” pamit Olive. “Segera saya antarkan Nona Derra dan—lemon tea, benar?”

“Hm.”

Olive mengangguk. “Kalau begitu, saya permisi.”

Ibra juga beranjak, menuju ruang tamu. Ia baru pulang, berkumpul dengan teman-temannya.

Tap.

Meletakkan remote televisi, Ibra memilih tayangan berita. Weekend, ia memutuskan bersantai seharian.

“Derra masih mandi.”

Tiba-tiba Keira menampakkan eksistensi, seorang diri bersama jus mangga dalam pegangannya. Dan Ibra kontan terdiam disuguhkan penampilan istrinya tersebut.

Tidak, Ibra terbiasa melihat Keira mengenakan bathrobe atau pakaian kurang bahan. Mereka satu kamar, pasangan sah. Wajar. Hanya saja, kini di luar. Banyak pekerja berlalu-lalang, tak semestinya wanita itu demikian.

“Nanti aku yang antar,” imbuh Keira seraya berbalik badan untuk kembali ke kamar tamu. Di mana Weyn mandi bersama Derra. “Jangan lupa makan.”

“Keira.”

“Ya?”

Ibra menatap datar.

Keira mengerjap. Tatapan sehari-hari pria di sofa sana memang begitu, namun cukup lama mereka hidup berdampingan membuatnya sedikit-banyak paham kapan tatapan itu sekadar datar tanpa arti atau kapan tatapan datar itu menyiratkan ketidaksenangan seperti sekarang. “A-Ada apa?”

“Kau tidak sadar dengan penampilan mu?”

Keira merunduk, mengecek bagian tubuhnya. Dan tidak ada yang salah, bathrobe panjang menutupi busana renangnya.

“Senang dilihat orang lain?”

“Maksudmu, apa?”

“Dada mu-” Menjeda, Ibra kelu menuturkan perihal itu. Lantas mengalihkan pandangan, menuju televisi lagi.

Keira jelas kebingungan, namun tak memperpanjang. Ia lanjutkan langkah yang sempat tertunda.

“Sekali lagi aku lihat kau keluar seperti itu, kubuang semua pakaian mu.”

Keira terhenti, menoleh ke belakang. Menemukan Ibra tetap menghadap televisi bersama raut dinginnya. Aneh, ada apa dengan pria itu? “Kau kenapa?”

“...”

Tak ditanggapi, Keira menghela napas. Kemudian hendak menghampiri Ibra lagi, namun urung ketika ponsel suaminya itu berdering. Alhasil, berakhirlah ia di kamar tamu. Menghempaskan diri ke sofa beriring desisan kesal.

Weyn yang tengah mengeringkan surai tipis Derra, menaikkan sebelah alisnya. Atas perubahan mood Keira. Keluar dari sini dalam kondisi sumringah, lalu kembali dengan ekspresi keruh. “Sesuatu terjadi?”

“Hm.”

“Apa?”

“Ibra.”

“Suamimu?”

“Siapa lagi?”

“Jujur, Kei-” tukas Weyn. “Sampai detik ini aku masih tak menyangka kalau suami mu bukan Daco.”

“...”

“Aneh rasanya.” Weyn tersenyum kecil. “Kalian terlalu goals, terlepas dari problem hubungan kalian sebelum berpisah.”

Pandangan Keira berubah menerawang, mengulas kenangan bertahun-tahun silam. Semasa sekolah hingga perguruan tinggi, bersama laki-laki yang ia cintai begitu besar. “Aku juga tidak menyangka.”

“Bahkan saat mendengar kabar kau menikah, aku nyaris pingsan.”

“Berlebihan.”

“Siapa yang tidak seperti itu jika sahabat mu tiba-tiba menikah? Sangat tiba-tiba, tanpa tanda-tanda secuil pun.” Weyn mencebik. “Parahnya dengan pria lain, asing pula, gap umur belasan tahun! Oh my, aku sampai menampar-nampar pipiku berulang kali saking tidak percayanya.”

“Sudahlah, jangan dibahas lagi.”

“Kau menyesal?”

“Hm?”

“Menikah muda?”

“Menurut mu?”

“Menyesal,” tandas Weyn. “Kau punya prestasi, masa depan mu terjamin cerah.”

“Sekarang juga cerah.” Keira membalas. “Ada Derra di sisiku.”

“Suami mu?”

“Berbicara yang jelas, Weyn.”

“Bagaimana dengan suamimu?” tanya Weyn. “Apa dia juga membuat hidup mu cerah?”

Keira sontak mengatupkan mulut, terbayang figur Ibra serta beberapa momen mereka. Yang ternyata sedikit, padahal usia pernikahan mereka akan menyambut tiga tahun.

“Lupakan.” Weyn menimpali, cukup paham reaksi sahabatnya itu.

“Bertahan sejauh ini saja sudah membuktikan kalau kau betah sebagai istrinya.” Weyn memakaikan busana santai untuk Derra. “Padahal kau diberi opsi mengajukan cerai.”

“...”

“Bukan begitu?”

“Aku hanya tidak ingin mempermainkan pernikahan,” tanggap Keira. “Sangat sakral bagiku.”

Weyn mengerutkan kening. “Jadi itu alasan mu bertahan?”

“Banyak alasan.” Keira menyandarkan kepala ke badan sofa, mematri langit-langit kamar. “Salah satunya itu.”

“Tapi kau tidak tersiksa ‘kan?”

“Dia baik.”

“Jangan naif.”

“Sangat baik,” sambung Keira. “Ke mana-mana pamit langsung, tak terkecuali jika ingin lembur. Dan terpenting untukku, dia menyayangi Derra. Bahkan mungkin, Daco tak bisa sepertinya.”

“Sudah cinta?” Weyn duduk di sebelah wanita itu, memangku Derra yang anteng bersama boneka dadunya. “Atau minimal, benih-benih rasa suka?”

“Entahlah.” Keira menoleh, menarik tipis sudut bibir. “Aku takut menaruh hati lagi.”

“Nikmati waktu mu.” Weyn menciumi surai Derra, wangi shampoo strawberry. Segar! “Jangan paksakan, termasuk juga di pernikahan ini.  Jika kau tak nyaman, jangan paksakan.”

“Kau menghasutku?”

“Benar kau tak nyaman?”

“Siapa bilang?”

“So?”

“I’m fine.”

“Ya sudah.”

Keira mendengus, melipat tangan di dada. “Pernikahan itu rumit. Nyaman tidak nyamannya, tak bisa dijadikan acuan untuk berhenti.”

“Iya, Mama.” jawab Weyn meniru suara balita. “Omong-omong, tadi kau kenapa?”

“What?”

“Kau tampak kesal tadi.”

Keira berdecak kecil, kenapa malah diingatkan lagi? “Tidak ada.”

“Oh ya?”

“Aku mandi dulu.”

“Okey! Jangan lama-lama, Mama.” Weyn menggoyangkan jemari Derra ke arah Keira. “Kami sudah lapar.”

Menutup pintu kamar mandi, namun detik berikutnya Keira buka kembali dan menyembulkan kepala. “Weyn?”

“Yup?”

“Emm...” Ragu, tapi Keira terusik akan sikap Ibra beberapa saat lalu. “Seseorang marah karena istrinya berkeliaran menggunakan bathrobe di luar kamar. Menurut mu-”

“Suami mu marah?”

Krik Krik

Keira salah tingkah.

Weyn tertawa. “Ayolah~ kau tidak awam masalah asmara, kau tahu jelas jawabannya.”

“Mustahil dia cemburu.”

“Terserah apa katamu,” pungkas Weyn. “Yang pasti, dia peduli. Atau paling tidak, dia tak mau kau di cap kurang sopan oleh orang-orang di rumah ini.”

“Bisa jadi.”

“Well, cepat lah mandi.”

Di sisi lain, Firly menyorot layar ponsel nya. Telah menghitam pasca menelepon Ibra; pria yang selama ia dirawat di rumah sakit tak sekalipun menjenguk. Jangankan itu, menanyakan kondisinya melalui pesan teks saja tidak.

Bukan pamrih, namun Firly terluka berkat menyelamatkan Derra. Balita yang pria itu sayangi, putri dari Keira selaku istrinya. Tidakkah ada basa-basi? Terlebih mereka berdua ini tergolong akrab, bahkan sebelum terlibat perkara haram berbagi kehangatan. Akrab tak selayaknya majikan-pelayan, hingga beberapa pekerja mengharapkan agar mereka berjodoh.

Dan entah perasaannya saja atau bagaimana, semenjak mereka bermain di belakang Keira justru pimpinan Depaul Group tersebut seolah menciptakan sekat. Firly ingat, bahkan belakangan ini mereka hanya berinteraksi di ranjang. Tak pernah lagi mengobrol atau sekadar menyapa seperti biasa. Aneh, bukankah pria pada umumnya akan berpindah minat bila sudah disuguhkan kenikmatan birahi oleh wanita lain? Lantas, mengapa Ibra tidak begitu?

Ting!

Pesan teks masuk, Firly terhenyak dari lamunan. Impulsif, ia mengecek ponsel nya. Ternyata, Ibra yang mengirim.

‘Sudah aku transfer.’

Firly kemudian memeriksa rekening tabungannya. Via online lalu menjumpai beberapa notifikasi, satu di antaranya adalah angka nominal uang pemberian Ibra barusan. Banyak, berlipat-lipat ganda dibanding gaji bulanannya sebagai pekerja. Dan ini bukan kali perdana alias ke sekian yang apabila ditotal, bisa ia gunakan untuk membeli dua unit apartemen mewah kalangan atas.

.

.

.

- TBC -
Di KaryaKarsa udah sampe chapter 25, gih mampir 🔥

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang