06. Keriput

1.9K 99 1
                                    

©pevpermint


“Sudah diperingatkan berkali-kali, tetap saja keras kepala.” Keira menggerutu, menyambar berlembar-lembar tissue di nakas samping ranjang guna menyeka cairan pipis Derra dari kemeja Ibra. Kemeja rapi, yang ia persiapkan untuk ke kantor. “Sudah tahu tidak pakai pampers, masih saja digendong.”

“Ma ma ma~”

“Shut up, Girl.” Keira memicing, pada bocah tengil itu. Dengan tetap membiarkan tangannya bergerilya di tubuh yang tegap.

Ibra hanya memperhatikan, tanpa berusaha menghentikan Keira lalu memberitahu bahwa lebih baik ia berganti pakaian.

“Ke ke ke, Ma ma~”

Keira mendengus, apa-apaan gelak riang balita itu? Terkesan meledek, padahal ia sedang marah. “Bisa-bisanya dia senang setelah mengencingi jelmaan batu.”

“...”

“Beruntung disayang, kalau tidak?” Keira semakin cepat mengusap-usap bekas pipis Derra. “Pasti sudah dicampakkan ke laut.”

“Aku tidak begitu.”

“Kau iya.” Keira mendongak dengan ringannya, namun detik itu pula ia sport jantung. Tersadar, sedang bersama siapa sekarang.

“Aku bukan psikopat.”

“...”

“Yang tega mencampakkan anak kecil.”

Keira mengulum bibir, tampaknya Ibra menganggap serius celetukan asalnya barusan.

“Derra juga anakku, mustahil aku menyakiti dia.”

“Bercanda.” Keira tertawa kaku, refleks mendorong main-main perut di depannya. Dan terasa... Keras? serta... bertekstur?

Keira menelan ludah, bayang-bayang roti sobek pria dewasa kontan terlintas dalam otak. Dan ia penasaran, berapa pack tercetak di perut ini?

“Ma ma ma~”

Ibra menaikkan sebelah alisnya, tatkala merasakan sentuhan di perut. Ternyata, alih-alih menjauh usai mendorongnya justru Keira beraksi kurang ajar. Meraba-raba di sana sembari menggumamkan angka.

“Enam?”

“Kurang?”

“Huh?” Keira membeo.

Ibra menyorot intens. “Sixpack?”

Keira mengangguk linglung.

“Bagaimana?”

“Nice.”

Ibra mundur selangkah, duduk di ujung meja berkaca besar lalu melepas kancing kemejanya.

Keira diam, menonton adegan tersebut. Adegan sang suami melepas kancing kemeja, satu demi satu seraya memandangnya.

‘Ada yang aneh,’ batin Keira. ‘Tapi apa?’

Berkedip-kedip, fokus Keira beralih menuju pantulan diri di cermin. Hanya separuh, akibat tertutup oleh tubuh tegap Ibra.

Cukup lama, Keira demikian. Hingga menemukan refleksi pria itu membuka kemeja dan spontan ia tersentak, menyadari kelakuannya tadi.

“Stup.pid.” Keira mencerca diri sendiri, bersama bibir terkatup serta mata tertutup. Bodoh, ke mana akal sehatnya? Bagaimana mungkin ia meraba-raba perut Ibra dengan tidak tahu malu?!

Srak.

Keira langsung berbalik badan, ketika Ibra membuka gesper pinggang. Apa-apaan pria itu? Apa-apaan mereka sekarang?! Sungguh, mereka pernah satu kamar. Namun, tidak pernah terlibat dalam situasi begini.

“Ma ma ma~”

Derra menginterupsi, Keira manfaatkan untuk kabur. Tapi sayang, lengannya dicekal. Cukup kencang, sampai ia tertarik ke belakang dan berbenturan dengan dada bidang. Dada bidang Ibra De Paul, yang tidak terbungkus sehelai benang pun.

Saling tatap, Keira terpaku.

Ibra mengikis jarak, jarak wajah mereka.

Dan Keira tak tahu harus merespons apa, tiba-tiba ia blank.

“Bajuku-”

“Bisa kau lepas?” sela Keira, spontan. Tak nyaman dengan kedekatan mereka. Sangat tidak nyaman, dada seolah hendak meledak.

“Aku sudah.”

“Sudah apa? Kau masih-”

“Lepas baju.”

Merah padam, Keira tak tahu Ibra serius atau bergurau. Terlampau datar ekspresi, tak dapat dibedakan. “Lepaskan aku.”

“Bajumu?”

Hidung kembang-kempis, Keira gatal ingin melayangkan tamparan ke pipi tegas pria itu. “Gerah, lepaskan aku!”

Sret

Keira melotot, resleting belakang longdress nya diturunkan. “Apa yang kau lakukan?”

“Melepas bajumu.”

Keira frustrasi, berakhir menggigit pundak telanjang pria itu sekuat tenaga. Saking kuat, hingga kepalanya samar-samar gemetar.

°°°

“Sedang stres atau memang sedang senang?”

“Sejak pagi wajahnya sudah begitu,” ujar Carlson ditengah-tengah sibuk pada tablet canggihnya. “Aku penasaran, tapi dia memberiku uang saat ku interogasi.”

“How much?”

“Hitung saja sendiri.”

Carlen mengikuti arah kendikan dagu Carlen, merujuk handbag kulit berwarna grey. Lantas, ia ambil untuk memeriksa.

“Ini?” Carlen memampangkan seikat kertas bermata uang Euro.

Carlson mengiyakan tanpa membuang atensi dari pekerjaannya.

“Lima ribu?”

“Oh, hanya segitu?”

“Tertulis di sini.”

“Hmm,” santai Carlson. “Ambil lah.”

“Serius?”

“Yep.”

“Oke.”

“Tapi sadarkan sepupu mu itu dulu.”

Merotasikan mata, Carlen telah menebak akan begini. “Biarkan dia tersenyum, rekam bila perlu.”

“Kau tidak ngeri?” Carlson menatap wanita itu. “Dia tersenyum. Ku ulangi, ter.se.nyum. Ibra De Paul tersenyum.”

“Aku sudah lihat.”

“Dalam mimpi?”

“Aku punya videonya.”

“Karangan mu.”

“Tertawa malah.”

Carlson menyipit, menutup tablet canggihnya. “Omong kosong.”

“Mau lihat?” Carlen menawari. “Ada Derra.”

“Derra?”

“Yup.” Carlen merogoh tas nya, mengambil ponsel di sana. “Kebetulan aku lewat Eiffel kemarin dan melihat sepupu terkaya kita bersama keluarga kecilnya.”

“Stop it.” Carlson merinding, akan kalimat dramatis tersebut. “Bukan keluarga kecil, hanya grup simbiosis mutualisme.”

“Katakan itu setelah kau melihat video ini.”

Carlson merampas benda pipih dalam genggaman Carlen, menekan simbol panah dalam lingkaran. Kemudian berjalanlah tayangan yang menampilkan sepasang manusia beda gender di antara keramaian, di mana sosok balita dalam gendongan si pria.

Benar, Ibra tertawa. Namun, tidak bersama Keira. Yang malah berlari tunggang-langgang dikejar tiga ekor anjing berwarna putih.

“Mama mu lucu sekali, Nak.” Carlen bersuara dibuat-buat. “Begitulah kira-kira obrolan Ibra dan Derra.”

Carlson mendengus, mustahil pria itu demikian. Cringe, sangat tidak cocok dengan perawakannya. Walau tak memungkiri, dalam video ini Ibra tampak lebih rileks.

“Secara visual, mereka tidak serasi.” Carlson menilai. “Ibra terlalu tinggi, sementara Keira hanya sebatas dada. Belum lagi wajah mereka. Ibra mulai keriput, sementara-”

Dugh!

“Shhh.” Carlson meringis, betisnya ditendang. Oleh Carlen yang memajang raut aneh. “Kau gila?”

Carlen mengode lewat lirikan, supaya adiknya itu melihat ke kursi kebesaran pimpinan perusahaan ini. “Watch your mouth, Little Brother.”

Carlson menaruh atensi ke sana, ada Ibra yang melayangkan picingan tajam padanya. “Aku salah?”

“Mereka serasi, kau saja yang buta.”

“Serasi dari mana?” protes Carlson. “Mereka seperti ayah dan-”

“Ibu,” potong Carlen dengan rahang merapat serta mata mendelik garang. “Iyakan?”

Carlson kebingungan, dengan sikap sang kakak. Tapi ketika menangkap aura gelap Ibra, sontak ia mengerti.

“Hahaha.” Tertawa kering, Carlson meninju lengan Carlen. “Ya, kau benar. Mereka serasi.”

“Right?” Carlen turut tertawa kering. “Kurasa, kau harus ke dokter THT.”

“Dokter THT?” Disela-sela sisa tawa, Carlson mengerutkan kening. “Dokter THT bukannya-”

“Kau bilang apa tadi?”

“Tidak ada,” sahut Carlson atas ucapan Ibra.

“Ulangi selagi aku meminta.”

“Aku tidak-”

“Kau pikir aku tuli?”

“Fine,” pasrah Carlson.

Sementara Carlen berlagak tak tahu-menahu, dengan meniup-niup kuku sendiri.

“Aku mengaku,” cicit Carlson. “Menurutku, kau dan Keira tidak cocok.”

“Bukan itu.”

“Hah?”

“Bukan yang itu.”

“Please, berbicaralah lebih panjang!”

“Kau bilang aku keriput.”

“Uhuk!” Carlen yang baru meneguk air mineral kontan tersedak. Tentu, ia kaget.

“Bagian mana yang keriput?”

“Kau marah karena itu?” Carlson memastikan.

“Jawab saja.”

“Seriously?” Carlson tak menyangka. “Kau Ibra De Paul ‘kan? Bukan-”

“Jawab aku.”

“Hanya keriput di kantung mata,” timpal Carlen. “Wajar, jangan khawatir. Aku saja yang masih tiga puluhan, dipenuhi itu.”

“Bisa dihilangkan?”

Carlen terbungkam.

Begitu pula Carlson. Mereka saling pandang sejenak, sebelum fokus ke Ibra lagi. “Dihilangkan?”

“Tidak bisa,” tanggap Carlen. “Hanya bisa disamarkan.”

“Bagaimana?”

“Perawatan.” Carlen menggoyangkan seutas kertas kecil di jemarinya, kartu nama berlabel klinik kecantikan tersohor Paris. “Aku punya kenalan dokter ahli di bidang itu. Mau coba?”

“Wait, wait!” Carlson pusing, ada apa sebenarnya ini? “Presdir, kenapa Anda memusingkan hal semacam itu?”

Drt Drt Drt

Dering ponsel menguar, menyita atensi mereka. Tak terkecuali Ibra, melirik objek pipih di meja sofa. Miliknya, tertinggal usai meladeni tamu tidak diundang. Alias Edgar Alba, ayah mertua sekaligus sahabatnya.

“Ck, dia lagi.” jengah Carlen, mendapati siapa gerangan yang menelepon.

Carlson juga sama. Namun, ia tetap meraih benda itu untuk ia berikan pada si empu. “Your ex.”

.

.

.

TBC
-180523-

Bagi yang pengen baca chapter 7 lebih cepat 👇

Bagi yang pengen baca chapter 7 lebih cepat 👇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa like nya ✨

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang