22. Tidak Pantas

1.3K 66 1
                                    

©pevpermint

“Bonus terima kasih.”

“Oh ya?”

Keira menghendik bahu. “Kenapa tidak kau tanyakan sendiri?”

“Kalian bertengkar?”

Keira menghela napas. “Harus kujawab?”

Brianne menarik tipis sudut bibir. Ia juga sudah menikah, tentu paham bila cekcok dalam rumah tangga terbilang lumrah. “Suami mu juga meneleponku.”

Keira menoleh.

Brianne justru beralih menaruh atensi ke hamparan taman. “Menyinggung Daco.”

Keira semakin rapat mengatupkan bibir.

“Aku tidak tahu dan sadar diri untuk tak ikut campur masalah rumah tangga kalian, tapi yang pasti aku minta maaf karena masih membawa-bawa Daco dalam perbincangan kita.”

“Abaikan Ibra.”

“Dia suami mu, Kei.”

“Dia sinting,” cerca Keira beriring rahang mengetat. “Dia terlalu berburuk sangka padaku sedangkan aku berulang kali bilang, tidak akan berulah apalagi sampai menimbulkan rumor buruk perusak reputasinya!”

Brianne mengernyit, kembali menatap wanita yang tiba-tiba bernapas kasar itu. “Perusak reputasinya?”

“Ibra menuduhku berkomunikasi dengan Daco lagi.”

“...”

“Sampai menuduh kami bertemu di belakangnya.”

“...”

“Ponsel, laptop, semua disita.” Keira sesanggup mungkin menahan emosional, yang terpendam berminggu-minggu ini. “Dia takut rumor merebak karena itu, aku-”

“Kau salah sangka.”

“Salah sangka apa?” pungkas Keira. “Dia yang bilang begitu, salah sangka apa maksudmu?”

“Tenang, Kei.”

“Kau tak akan pernah tahu karena tidak di posisiku.”

Brianne mengulas senyum lagi, kali ini lebih lembut. Lembut nan bermakna.

Keira yang mendapati, kontan tersadar atas celetukannya.

“Kau benar,” ujar Brianne. “Aku tak akan pernah tahu apa yang kau rasakan.”

Keira terpejam sekilas, menyesali keluwesan mulutnya barusan.

“Aku memang tidak akan pernah tahu apa yang kau rasakan, tapi Kei-” Menjeda, Brianne mempertemukan pandangan mereka. “Kau paham sendiri bagaimana Leon ‘kan?”

“...”

“Mereka mirip, watak mereka nyaris mirip.” Brianne menekan intonasinya. “Dan cukup dengan mendengar ucapan Ibra kemarin saja aku mampu menebak kalau dia cemburu, bukan-”

“Karangan mu.” Keira spontan tertawa. Malam kian larut, bisa-bisanya Brianne menyuguhkan lelucon garing itu padanya? “Jangan hibur aku dengan omong kosong, Bri. Kau tahu aku tak suka.”

“...”

“Aku lebih mengerti soal percintaan ketimbang dirimu, jauh malah.”

“...”

“Dan aku tak bodoh untuk tahu apa itu cemburu.”

“...”

“Oke, aku tak menyangkal kemiripan watak Ibra dan Leon. Tapi alasan mereka? Jelas berbeda.”

“...”

“Leon mengekangmu karena cinta mati padamu sementara Ibra? Semata-mata demi menjaga nama baiknya,” tutur Keira, panjang-lebar. “Berapa kali harus ku peringatkan ‘hm? Hentikan kenaifanmu, Brianne.”

Tetap membisu, Brianne hanya memperhatikan lawan bicaranya tersebut. Sekarang, bukan dirinya yang naif justru Keira lah yang seperti itu. Entah sejak kapan seseorang yang dahulu memiliki tingkat kepekaan tinggi ini, berujung demikian.

Sungguh, Brianne berani jamin tentang kecemburuan Ibra yang tergambar dalam telepon mereka kemarin. Sempat kelepasan pula. Bahkan sepanjang pesta, tidakkah Keira menyadari gelagat posesif suaminya? Yang terkesan siap mencolok indra penglihatan para kaum Adam yang kepergok melirik diam-diam? Persis sikap Charleon ketika bersamanya, persis sekali.

Maka dari itu, Brianne yakin tak salah kira soal Ibra yang tersulut api cemburu. Laki-laki semacam ini memang menjengkelkan. Jangankan pada mantan, pada laki-laki asing saja sanggup cemburu. Apalagi dalam kasus Keira, Daco bukan sekadar mantan tambatan hati melainkan pula ayah biologis Derra.

Jadi wajar, sangat wajar jika Ibra berlebihan mengekang. Sebab, banyak alasan kuat bagi Keira dan Daco untuk bersama kembali. Salah satunya, demi anak mereka berdua. Dan walau begitu, Brianne tak mau memaksakan asumsinya tersebut. Biar lah, biar sahabatnya ini tahu sendiri. Toh, terlampau ikut campur rumah tangga orang lain tidak baik juga.

°°°

“Jangan kau pikir, aku tak tahu kebusukan mu di belakang Keira.”

Di salah satu sudut pesta, dua pria beda usia sedang berhadapan. Yang lebih muda menggebu-gebu, mencengkeram kerah kemeja yang lebih tua. Suasana sepi, Eron berupaya keras menarik menjauh sahabatnya. “Hentikan, Daco.”

“Enyalah.”

“Kau tidak berhak begini, dia-”

“Aku berhak,” sela Daco tanpa mengurai tatapan dari target yang telah ia incar sejak memasuki ballroom pesta. “Aku berhak karena ibunya anakku dikhianati.”

“Kau bahkan bukan siapa-siapa Keira, Bastard. Sadarlah!”

“Dia melahirkan anakku!”

“Anak yang semula tidak kau akui?”

“Eron!”

“Mereka sudah menikah, Daco! Sudah menikah!” Eron frustrasi.

Sedangkan Ibra betah bergeming, hanya membalas sorot nyalang Daco tanpa berusaha melepas cengkeraman amarah laki-laki itu.

“Kau memang ayah biologis Derra, tapi yang dia sakiti bukan anakmu. Kau tidak berhak begini.” Eron menurunkan nada bicaranya. “Please, jangan kekanakan.”

Daco mengeratkan cengkeramannya, sangat ingin melayangkan bogeman mentah ke wajah datar Ibra. Meradang, panas dada melihatnya. Melihat sosok yang tak sengaja ia dapati check in hotel berbintang lima bersama babysitter Derra.

“Kau tidak pantas menjadi suaminya.”

“Daco.”

“Kau sama sekali tidak pantas.” Mata memerah, Daco masih menyimpan utuh perasaan teruntuk Keira. Alih-alih senang mengetahui Ibra selingkuh sehingga bisa ia manfaatkan merusak pernikahan keduanya, justru dada dihantam sesak. Tak terima, wanita yang cintai dikhianati. Tidak terima, sampai-sampai memicu hasrat merebut pun kian mencuat tinggi. “Kembalikan dia padaku jika kau tak menginginkannya.”

Eron terbungkam, menjumpai setitik keputusasaan dalam diri Daco. Ya, putus asa. Putus asa menggapai Keira lagi. Karena sulit, bahkan orangtua sahabatnya ini saja angkat tangan. Tidak ada akses untuk sebatas menelepon perempuan yang dahulu mereka kukuhkan sebagai menantu. Tak bercelah, Ibra menutup rapat privasi istrinya.

“Kembalikan dia padaku jika kau tak mau dia,” imbuh Daco. “Aku mampu membahagiakannya.”

Ibra terus diam, sebelum detik kemudian mengambil tangan di kerah kemejanya dengan tenaga cukup.

Cukup membuat Daco merasa nyeri dan kebas.

“Urus masa depan dulu.” Ibra mendorong laki-laki itu. “Jangan menyinggung kebahagiaan Keira di saat makan mu saja masih ditanggung orangtua.”

“Kau-”

“Jaga mulutmu jika masih dibutuhkan.”

Eron menelan kering ludahnya, meremang bulu kuduk disuguhkan dominasi suami Keira ini.

“Jaga mulutmu jika tak ingin berstatus yatim-piatu.”

Beranjak tanpa menunggu respons, Ibra menemukan Keira menuju ke arah mereka. Berjarak lumayan jauh, wanita itu sibuk mengobrol dengan Brianne sambil berjalan. Tak menyadari eksistensi mereka di sini, maka lekas ia hadang sesaat mereka dekat dan merangkul pinggang rampingnya untuk berbelok arah.

“Kau tak lihat aku sedang apa?” protes Keira.

Seolah tuli, Ibra tetap menggiring langkah mereka.

“Dia sahabatku, Ibra.”

“Pulang.”

“Ibra.”

“Sudah larut.”

“Masih ada beberapa jam-” Keira melotot, ketika tubuhnya tiba-tiba melayang. Bukan digendong, tapi dijinjing pada area pinggangnya yang didekap erat. “APA-APAAN KAU, IBRA!”

Menggema hingga merampas minat sekitar, Brianne tak berbuat apa-apa selain menonton.

Begitu pula Daco, yang bertambah luluh lantak hatinya. Menyaksikan wanita yang ia cintai dalam rengkuhan pria lain.

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang