23. Insiden

1.2K 80 1
                                    

©pevpermint

Berniat membawa jalan-jalan Derra yang rewel, Keira tak menyangka akan begini akhirnya. Di dalam mobil, mendekap sang anak yang tertawa kegirangan padahal laju kendaraan bukan main kencang. Dan Ibra, bagai tuli ketika ia minta berhenti.

Ya, mereka keluar bersama. Lalu saat akan pulang, Keira dikejutkan dengan satu unit Lamborghini Aventador yang nyaris menabraknya serta Derra saat akan menyeberang memasuki area parkir untuk pulang.

“Berhenti, Ibra.” Lagi-lagi, Keira bersuara. Berharap diindahkan sang suami. Berkendara gila-gilaan seperti ini merupakan hal biasa baginya, semasa sekolah dan kuliah sudah kenyang berulah brutal di jalanan. Jadi, ia tak takut sama sekali. Namun, kini tentu berbeda. Mereka membawa anak, khawatir bila sesuatu buruk menimpa. “Derra baik-baik saja, tidak perlu mengejar segala.”

Ciit!

Keira spontan terpejam, semakin erat pula mendekap sang putri tatkala Ibra mengerem mendadak dan mem-block kendaraan yang sejak awal dikejar. Mobil Audi R8 mereka berbelok sekian derajat, sedikit berputar. Ternyata, pria ini cukup mahir menyetir.

Hening.

Lampu Lamborghini depan menyorot. Tidak, lebih tepatnya kendaraan mereka menyorot satu sama lain. Keadaan sepi, kawasan ini termasuk perumahan elit Paris. Keira pernah tak sengaja menonton berita, banyak publik figur tinggal di sini.

Ciit!

Brak!

Menggertakkan rahang, Keira tak habis pikir. Ibra masih juga ngotot mengincar pengendara Lamborghini itu bahkan menabraknya ketika berupaya kabur barusan.

“Kau lupa kita bersama siapa?” bengis Keira.

Tapi Ibra betah diam, mem-block mati mobil sport di hadapan mereka ke bahu jalan.

“Ibra.”

“Tetap di dalam.”

Klek.

Membuka pintu, Ibra beranjak tanpa melirik Keira secuil pun. Menaruh atensi telak pada pria yang juga baru keluar mobil seraya memegangi kepala.

BUAGH!

Keira kontan mengatupkan bibir saat Ibra tanpa aba-aba melayangkan begomen mentah ke pipi kanan pria itu.

Menyipitkan mata, Keira merasa tak asing. Seperti pernah melihatnya, melihat pria lumayan muda tanpa rambut di sana.

“Koruptor?” gumam Keira, begitu teringat. Benar, semalam di ruangan kerja Ibra mendadak sesak akibat beberapa orang dikumpulkan paksa. Mereka terbukti menilap dana proyek pembangunan apartemen mendatang Depaul Group, yang salah satunya adalah pria botak tersebut. “Jangan bilang, tadi dia sengaja ingin menabrakku dan Derr-”

Tok Tok Tok!

Refleks menoleh, Keira dikagetkan dengan figur berhoodie hitam. Lebih kaget lagi karena sosok asing itu tidak sendiri alias rombongan bersama dua mobil.

Tok Tok Tok!

“Damn it.” Panik menyergap, namun Keira tak buntu akal. Pernah mengalami hal serupa oleh musuh bisnis ayahnya dulu, lantas cepat-cepat ia ambil ponsel Ibra yang kebetulan tertinggal di dashboard.

Brak! Brak!

Bertambah brutal, Keira gemetar mencari kontak Axel. Apalagi mobilnya mulai dikerubungi oleh komplotan berhoodie itu, dingin langsung merambati sekujur tubuh.

“Hall-”

“Lacak kami.” Keira menyela secepat kilat. “Susul sekarang! Bawa anggota!”

“Nona-”

“Cepat, Axel!”

PRAK!

Sraaaat!

Keira menyemprotkan hand sanitizer sesaat kaca mobil dipecahkan oleh salah seorang dari komplotan berhoodie tersebut. Hanya itu alat di dashboard yang berguna dalam kondisi ini.

“HUAAAA!”

Sambil menggendong Derra yang menangis, Keira berpindah ke jok kemudi. Menghidupkan mesin, kemudian asal-asalan menyetir kendaraan edisi terbaru itu.

BRUGH!

Masa bodoh bila mereka-mereka berhoodie di sana terluka atau bahkan mati akibat tabrakannya, Keira lebih mementingkan keselamatan Derra sekarang. Apalagi, tiga mobil lain datang. Yang juga bagian komplotan itu.

“HUAA, MAMAAAA!”

BRAK!

Melindungi Derra, Keira hilang fokus menyetir. Mobilnya ditabrak dari belakang, alhasil ia sigap mendekap sang anak dan mobil berujung oleng sebelum akhirnya terhenti. Lalu pasrah ketika pintu dibuka brutal serta dirinya ditarik paksa keluar.

“Ambil anaknya.”

“Jangan coba-coba sentuh dia,” desis Keira seraya meronta.

“Bawa saja dua-duanya, Boss.”

“Aku benci anak-anak.”

“MAMAAA!”

“Jangan sentuh anakku!”

“Ck, cepat bawa anaknya.”

“Baik, Boss.”

“MAAA!”

Keira tak berkutik ketika pria kekar berkulit eksotis didekatnya mencekal kencang, Derra berhasil diambil oleh mereka sementara dirinya diseret menuju mobil lain.

“Kalian bawa ke mana anakku?!” Keira berontak kasar.

“Jangan teriak-teriak, Cantik.”

“Lepas!”

“Dia akan baik-baik saja bersama anggotaku.”

“LEPAS!”

PLAK!

BUAGH!

Sesaat tamparan mendarat di pipinya, sedetik berselang Keira mendapati pria itu tersungkur ke aspal. Ibra datang entah dari mana, melayangkan tendangan padahal tadi ia sempat melihat suaminya tersebut terlibat adu otot dengan orang-orang berhoodie yang lain.

“Bedebah, bernyali juga kau rupa—ARGHH!”

Keira mundur selangkah, refleks tatkala Ibra menginjak sebelah tangan pria berkulit eksotis itu. Menginjak kuat bagai menginjak sisa puntungan rokok.

“BRENGSEK! KU HABISI KAU!”

BLAGH!

Keira sontak berpaling atensi, tepat saat Ibra tanpa ekspresi beralih menginjak wajah pria di aspal. Brutal, hingga pria itu langsung bergeming tak bergerak.

BLAGH!

CRAT!

Menegang kaku, mata Keira membola samar. Kakinya terasa basah, terciprat sesuatu.

“Mundur! MUNDUR!”

Seruan demi seruan menggema dari para pria berhoodie, bersama bising mesin mobil yang terdengar bersahut-sahut. Keira tak memedulikan mereka, pandangan justru bergulir menuju kakinya.

Dan benar, darah merembes banyak. Saking banyaknya, mampu membuat Keira terduduk lemas seketika.

BLAGH!

Gemetar hebat, Keira tak sanggup barang sekadar meminta Ibra berhenti. Suaminya itu seperti lupa daratan, menginjak-injak wajah pria yang sempat menamparnya beberapa menit silam. “Ib-”

BLAGH!

Sejak malam itu, Keira telak kehilangan keberanian terhadap Ibra. Hilang, nyali meluruh bahkan untuk sebatas melontarkan tatapan protes selayaknya biasa apabila mereka berselisih.

Seperti sekarang, Keira kembali mengangguk tatkala Ibra melarangnya ini-itu. Diam seribu bahasa, walau hati tak terima.

“Aku lembur lagi.”

Keira berhenti, mengikuti Ibra yang juga demikian. Mereka di ambang pintu utama rumah, usai sarapan dan ia lanjut menghantar pria itu bekerja.

“Makan saja dulu nanti, jangan tunggu aku.”

Berdeham mengiyakan, Keira menggandeng Derra yang Ibra turunkan dari gendongan. Ya, mereka baik-baik saja atas insiden malam-malam kemarin. Axel cepat tanggap merespons pengaduannya.

“Jangan ikut Olive.”

Keira menatap pria di depannya, lekat nan penuh makna.

“Tetap di rumah.”

Mengepalkan satu tangan, Keira sangat ingin melayangkan argumen. Menolak titah ini terkait dirinya yang Ibra larang turut serta belanja bulanan bersama Olive sebagaimana biasa.

“Pa, ikut!”

Tatapan terputus, Keira lekas menahan Derra yang hendak menempeli Ibra lagi.

“Ikut~”

“Derra,” tegur Keira.

“Boleh, hng?”

“Tidak,” tandas Keira. “Ayo masuk.”

“Ma~”

“Masuk.”

“Ikut Papa~”

Tak menggubris, Keira membawa Derra ke dalam rumah. Jika sudah kambuh keras kepala putrinya ini, mau tak mau ia menggunakan jurus menulikan telinga.

“Mama~”

“Papa bekerja, bukan main-main.”

“Della ikut!”

“Lalu ikan Derra, bagaimana?”

“Hng?”

“Derra belum beri makan ‘kan?”

“Hugo?”

“Iya, kelaparan kalau Derra tinggal pergi.”

“Lapal?”

“Kasihan ‘kan?”

“Hng?”

“Ayo cepat beri makan.”

Ibra membiarkan sepasang ibu-anak di sana meninggalkannya, tanpa kecupan Derra di pipi atau lambaian ceria tangan mungil itu. Cukup mengerti watak sang anak, bisa mengamuk bila Keira tak segera mengalihkan perhatiannya.

“Mari, Tuan.” Axel mengambil jas dan tas majikannya tersebut untuk ia bawakan. Mereka berangkat menggunakan helikopter, jadwal cukup jauh jika melintasi jalanan padat Paris.

*Vote👍*

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang