©pevpermint
Terkantuk-kantuk, Keira sekuat tenaga tetap terjaga. Menemani sosok di depannya, menghabiskan sajian di piring berikut segelas kopi favorit.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Belum larut, namun Keira letih mengasuh Derra yang rewel akibat kurang enak badan. Sangat rewel, sampai-sampai mengamuk hanya karena ia tinggal untuk buang air kecil.
“Sudah membaik?”
Blugh.
Nyaris menghantam meja, Keira tak sanggup lagi menopang kepala. Beruntung ada tangan besar yang menahan keningnya, sehingga terhindar dari terhantuk.
“Ma-Maaf.” Keira menegapkan duduk.
Ibra menarik kembali tangannya, tanpa menjawab.
“Kau mengatakan sesuatu tadi?” tanya Keira, yang memang kurang sadar.
Ibra meraih napkin, mengusap mulutnya dari jejak makan malam. “Derra.”
“Sudah tidur.”
“Kondisinya.” Ibra mengoreksi.
Keira teringat akan suhu badan sang anak yang sempat panas. “Sudah lebih baik, demamnya sudah turun.”
“Demam biasa?”
“Hum, kelelahan bermain.”
“Kelelahan?”
“Tidak mau tidur siang, padahal-”
“Kau biarkan dia berlama-lama di ruang bermain?”
Keira terbungkam, intonasi bicara Ibra tiba-tiba berubah.
“Kau biarkan dia sibuk sendiri? Lalu kau sibuk dengan dunia mu?”
“Aku-”
“Melakukan hal-hal tak berguna di depan ponsel selama berjam-jam?”
Biasa, bukan kali perdana. Keira tak terkejut. Apa pun menyangkut Derra, maka pria ini akan berbicara lebih panjang dan terkesan... menghardik. Bahkan kerap menyalahkannya seperti barusan apabila sesuatu buruk terjadi pada putrinya. Ya, putrinya. Anak dengan orang lain. Yang entah mengapa, Ibra sangat menyayangi serta memperlakukan bak darah daging sendiri.
“Apa seminggu terlalu lama bagimu?”
Keira betah membisu, menyorot tanpa arti pada pria berumur 41 tahun tersebut.
“Apa kau tidak bisa fokus menghabiskan waktu hanya dengannya sampai Firly kembali?”
Firly Davis, pelayan terpercaya Ibra. Berganti tugas menjadi babysitter untuk membantunya merawat Derra. Yang semenjak enam hari silam, mengambil cuti ke kampung halaman. Dan Keira cukup tak senang, nama janda tanpa anak itu dibawa-bawa dalam pembicaraan mereka.
“Boleh aku pergi?” Enggan berargumen, Keira sungguhan letih jiwa-raga. Jangankan bermain ponsel, makan saja sembari menggendong Derra tadi. Terlebih ia sedang menstruasi. Perut berulah, pinggang pegal, emosi tak stabil. Betul-betul harus bersabar akan kerewelan sang anak. “Aku belum membalas pesan Weyn, aku belum menelepon Brianne, aku belum menonton YouTube, aku belum-”
“Keira.”
“Akulah ibu tidak berguna,” ujar Keira bersama bibir gemetar. “Kau benar, aku ibu tidak becus. Tidak berguna, lebih mementingkan diri sendiri ketimbang-”
“Diam dan renungkan kesalahan mu.”
Kriet.
Bangkit dengan sentakan, Keira meninggalkan meja makan begitu saja andai pergelangan tangannya tidak ditahan.
“Aku belum selesai.”
Keira meronta, tak membiarkan energi terkuras guna meladeni suaminya ini. “Lepas.”
“Duduk.”
“Lepas.”
“Aku belum selesai.”
“LEPAS!”
“Kopi ku belum habis.” Tetap tenang, Ibra memandang istrinya itu. “Kopi ku belum habis, aku belum selesai.”
Keira mengetatkan rahang, napas naik-turun tersulut amarah. Pria ini... tak tahu bagaimana mendeskripsikannya, yang pasti banyak sisi tidak ia sukai. Salah satunya begini, tenang bukan kepalang padahal usai memicu emosi.
“Duduk.”
Keira serasa ingin berteriak, mencerca Ibra dengan sumpah-serapah. Namun, nyali kurang memadai. Meski pria itu tak pernah marah yang betul-betul marah padanya, tapi figur luarnya cukup membuat mawas diri.
“Duduk.”
Keira terpaksa menurut, menempati kursi tadi. Lantas menarik tangannya agar terbebas dari genggaman erat tersebut, genggaman pria yang urusan makan saja cukup merepotkan. Tak mau sendiri, tanpa dirinya. Sekalipun ia sedang tidur atau sibuk, tetap diminta menemani. Aneh, para pelayan bahkan ikut kebingungan. Akan perubahan majikan mereka di mana semasa lajang, biasa makan seorang diri dalam keheningan.
Tak
Lihatlah... seperti tidak terjadi apa-apa, pria itu meletakkan gelas kopinya setelah disesap dengan santai. Keira tak habis pikir, apa Ibra memang tidak punya perasaan seperti kata Weyn?
‘Jelmaan batu.’
Demikianlah julukan yang disematkan wanita itu. Tidak, Keira tak pernah menceritakan perkara rumah tangganya pada siapa-siapa termasuk pada orangtua berikut sang sahabat; Weyn Martinez dan Brianne Adler. Mereka hanya mengamati, secara pribadi tatkala menjenguknya pasca melahirkan.
Dan Keira tak mampu menampik ucapan mereka, sebab benar adanya jika Ibra terlampau dingin nan kaku sebagai manusia.
Tak.
Keira terhenyak, Ibra kembali meletakkan gelas ke permukaan meja. Lebih nyaring, hingga atensinya refleks mengarah ke cairan pekat di sana. Lamban, kopi itu bukanlah banyak. Tapi tak kunjung kosong, seperti tidak benar-benar diminum.
“Aku ingin sekamar.”
Keira beralih, menoleh ke pria yang mendadak bersuara itu. Dan ia kaget dengan jarak mereka. Dekat sekali, bahu hampir menempel.
“Aku ingin sekamar,” ulang Ibra turut menoleh.
Keira menahan napas, pucuk hidung bangir mereka nyaris bersentuhan.
“Setiap hari.”
“...”
“Tanpa Derra.”
Mereka sudah satu kamar. Atau tepatnya, pernah. Keira ingat, bermula darinya mengidam film horor lalu berujung tidak berani tidur sendiri setelah menyaksikan. Dan Ibra memergokinya uring-uringan, kemudian menawarkan untuk tidur bersama di kamar utama.
Bak kecanduan, Keira setiap malam perlu disuguhkan tontonan menyeramkan. Jadi, setiap malam pula mereka satu kamar. Sampai ia melahirkan, lalu pisah sesudahnya.
Dan suatu malam, Derra menangis tanpa henti. Keira harus menimang-nimang seraya berjalan guna menenangkan. Bertemulah Ibra keluar dari ruang kerjanya, lantas lagi-lagi menawarkan satu kamar agar bisa mengasuh anak itu berdua.
Keira menerima, namun mereka kembali berpisah ketika Derra berumur sepuluh bulan dan Moryn mendesaknya supaya memakai jasa babysitter. Hingga sekarang, mereka menghuni kamar berbeda.
“Terhitung mulai malam ini,” imbuh Ibra akan kalimatnya. “Pindah ke kamarku.”
Keira masih bergeming, kini menyelami netra kelam di hadapannya. Terbilang sangat wajar permintaan barusan, suami-istri satu kamar. Akan tetapi, mereka tidaklah sedemikian intim untuk itu tanpa alasan.
“Kenapa?” tanya Keira pada akhirnya.
Ibra diam. Sedetik kemudian, meratap ke depan lagi. “Aku malas membuka pintu setiap pagi.”
Malam hari, kamar pria itu memang selalu dikunci. Jadi, jika hendak menyiapkan keperluannya maka Keira akan mengetuk pintu sampai membangunkan. “Sudah kubilang ‘kan? Beri aku kunci cadangan.”
“Hanya satu.”
“Gandakan lagi.”
“Tidak sempat.”
“Minta Axel,” timpal Keira. “Atau ingin aku yang tempahkan?”
“Jangan mencari kesempatan.”
Mengerjap, Keira tak paham.
“Jangan membodohiku hanya untuk bisa keluar.”
Seketika, Keira mengerti maksud pria ini. Dan seberapa keras pun menyangkal bahwa tuduhan tersebut keliru, tak akan dipercayai.
Keira akui bersalah, pernah keluar rumah secara sembunyi-sembunyi. Tapi sungguh, tidak untuk macam-macam. Hanya melihat gajah demi menuruti keinginan janin dalam perutnya kala itu. Namun, tak tahu mengapa justru Ibra berasumsi jika dirinya hendak kabur. Kabur dari Paris lalu pulang ke Kanada. Entah bagaimana pemikiran itu dapat terbentuk, yang jelas mulai dari sanalah pergerakannya dibatasi.
“Aku tidak sedang memberimu opsi.” Ibra kembali menambahkan. “Setuju atau tidak, pindah sekarang juga.”.
.
.
TBC
-150523-Malem ini InSyaAllah update lagi, di KaryaKarsa ya bagi yang pengen baca duluan.
Like jangan lupa ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️