04. Dua Tahun

2.3K 114 0
                                    

©pevpermint

Kanker paru-paru stadium dini, itulah penyakit Irena. Terkuak tak lama pasca pertunangan mereka dan berniat disembunyikan sampai sehat ke sediakala. Optimis, sebab persentase kesembuhan lumayan menjanjikan. Demikian yang Ibra tangkap dari sederet penuturan mantan pramugari tersebut.

Namun, akibat terlampau meneror diri untuk memikul beban sendiri malah Irena dilanda stres. Hingga puncaknya, wanita itu memutuskan hal fatal dengan kabur di hari pernikahan mereka. Yang pada akhirnya menyesal, lantas berujung begini. Ibra menatapnya, lekuk wajah yang terlelap di sofa beriring mata sembab.

Ya, Irena tertidur usai tuntas mengutarakan tujuan mendatanginya. Menjelaskan semua, memohon maaf sembari menangis. Kemudian kelelahan, lalu mengonsumsi obat dan berefek kantuk menyerang. Ibra, tak bereaksi apa-apa. Mulai dari awal sampai selesai, selain menyimak ditengah-tengah sibuk mengecek email nya.

‘Aku akan menemui keluarga mu serta keluarga Keira.’

‘Aku akan meminta maaf atas perbuatanku.’

Hanya kalimat tersebut yang Ibra garisbawahi, sepanjang penuturan bermenit-menit silam. Benar, sudah sepatutnya Irena seperti itu. Bahkan lebih, sebab dirinya banyak dirugikan dari berbagai sisi. Terkhusus perkara perasaan.

Klek.

Suara knop pintu didorong, pintu ruang kerjanya. Tidak, tak ada seorang pun yang seberani itu. Membuka pintu tanpa persetujuan, minimal mengetuk sebagaimana yang sekretaris nya lakukan. Ibra menoleh, siap menghunjam pelaku dengan tatapan datar. Namun, spontan melebur sesaat yang tertangkap retina justru sosok tak terduga.

Keira, bersama lunch box dalam pegangannya.

“Ma-Maaf, Presdir. Saya sudah meminta Nona Keira menunggu, tapi kakak Anda menyuruh agar langsung masuk.”

Berpandangan, satu sama lain. Datar, selama beberapa detik. Sampai akhirnya, Keira melirik. Melirik seseorang di sofa, melirik sebelah tangan kekar yang seolah menjadi pembatas di sana. Pembatas, supaya wanita yang terlelap tidak terjatuh. Tangan Ibra. Tentu, karena hanya ada dua manusia di dalam ruangan ini sebelum kehadirannya.

“Sa-Saya permisi dulu, Presdir.”

Menyisakan mereka dalam keheningan, Keira lantas membawa langkah untuk masuk. Tak menutup pintu, meletakkan makan siang buatan Moryn ke permukaan meja. Si kakak ipar, yang mendadak mampir ke cafe seberang perusahaan demi segelas kopi.

“Paparazi berkeliaran di bawah,” ujar Keira tanpa intonasi berarti. “Harap jaga sikap kalian.”

Tak berminat berlama-lama, Keira datang juga untuk meredam rumor kurang sedap di luar. Tudingan terhadapnya, sebagai istri tidak diinginkan, selingkuhan terbuang. Dampak dari Ibra menampakkan eksistensi di kantor hari ini.

“Jangan pulang,” tahan Ibra seraya berdiri.

Dan Keira terhenti dari keinginan menuju pintu.

“Ini tidak seperti yang kau lihat.”

“Lebih dari itu maksudmu?”

“Keira.”

Seolah tuli, Keira beranjak. Dengan tetap membiarkan pintu tersibak lebar.

Sejak hari itu, hubungan mereka dingin. Sangat dingin mengalahkan sejuk hujan yang turun lebat di tahun kedua usia pernikahan mereka. Tahun kedua dan mereka masih bersama. Bahkan bertambah satu anggota keluarga. Memilih bertahan—bukan, tapi telanjur basah. Keira terlanjur terjebak, sulit untuk menarik diri.

Kabar kehamilannya menyeruak, orang-orang asumsikan adalah darah daging Ibra. Bermula dari Moryn, yang memang cukup lama salah sangka. Sampai di mana, tersebar video Daco mabuk dan mengoceh terkait fakta itu. Chaos, masalah seakan bertubi-tubi menghantam di tahun tersebut. Tahun yang Keira labeli sebagai tahun problematik, tahun berat, tahun melelahkan.

Andai, andai Ibra tidak memangkas semua dengan mengklarifikasi segamblang-gamblangnya, Keira berpotensi besar mati atau minimal gila akibat mental terguncang.

Terang saja, hamil dan laki-laki yang semestinya bertanggungjawab malah pengecut, kemudian orangtua memaksanya menikah dengan pria lain berjarak umur delapan belas tahun, lalu media menggoreng hal tersebut hingga menghasilkan rumor negatif. Membunuh karakternya, Keira Alba. Yang dikenal anak berprestasi, putri kebanggaan Edgar, primadona Laurent Academy, instan menjadi sosok antagonis perampas pasangan orang.

Keira akui, tingkahnya di resepsi pernikahan yang asal menceletuk jika Ibra mencampakkan Irena demi dirinya, termasuk pemicu awal semua itu. Sungguh, ia tak mengelak. Justru mengambil pelajaran agar lebih menjaga lisan.

Pasrah, Keira pasrah. Kala itu ia merasa keburukan memang menargetkannya. Tak ada yang becus, apa yang ia upayakan untuk menyelesaikan masalah malah berakhir boomerang. Lelah, seisi dunia seakan enggan berpihak padanya. Ya, lantas Ibra bertindak. Menetralisir sekumpulan masalah tersebut.

Keira ingat betul, pria itu berbicara di samping brankar rawatnya. Berbicara kepada satu anggota pers yang sengaja diundang, sembari menggendong bayi merah berusia seminggu. Melontarkan kata demi kata, mengklarifikasi secara eksplisit terkait desas-desus menyangkut-pautkan mereka. Benar, Ibra De Paul menariknya dari kubangan konflik tak lama pasca ia melahirkan. Yang mana, menambah alasan untuknya menepis keras opsi perceraian.

“Ada yang tertinggal?” Keira menuruni tangga kembali, seraya menggendong balita cantik berbando bulu. Di bawah terdapat sang suami, yang tadi sudah berangkat kerja.

“Ma ma ma~”

Membiarkan celotehan sang anak, Keira mendongak pada yang lebih tinggi sesaat mereka berhadapan. Harus ekstra sabar, meladeni Ibra si makhluk irit bicara. “Apa yang tertinggal?”

Terbuka, mulut pria itu sedikit terbuka. Tapi terkatup lagi. Kebiasaan. Keira ingin sekali meloloskan dengusan, namun masih sadar siapa di depannya.

“Ma ma ma~”

Cup!

Kecupan singkat di pipi putrinya. Kemudian tanpa selirih suara, Ibra pergi. Keira mengernyit, belakangan pria itu bersikap aneh.

“Ma ma ma~”

“Iya, Sayang.” Keira akhirnya menanggapi balita setahunan itu, Derra Ibrani De Paul. Mencium gemas jemari mungil di sana lalu menggesekkan hidung mereka. “Cintanya, Mama~”

“Nona?”

“Ya?” Keira mengangkat wajah, menjumpai Olive berjalan cepat ke arahnya.

“Di mana Tuan?”

“Tuan?”

“Iya.” Olive menunjukkan benda yang ia pegang. “Tuan meminta ini.”

Keira menyatukan alis. Tumben Ibra meminta bekal?

“Dia minta itu?” Keira memastikan.

Olive mengangguk. “Sepertinya Tuan menyukai masakan Nona, jadi-”

“Dia tahu?”

“Iya,” jawab Olive. “Tadi Tuan tetap menunggu Nona padahal saya sudah bilang kalau Nona tidak sempat ikut sarapan.”

“...”

“Dan karena Tuan terlihat marah, saya terpaksa jujur kenapa Nona tidak sempat.”

Keira menggigit bibir bawahnya. Ibra tahu, menu sarapan pagi ini hasil olahannya. Masakan perdana nan sederhana yang baru berani ia sajikan di meja makan. Was-was, bila tidak enak. Meskipun Olive berkali-kali meyakinkan bahwa itu sangat layak dimakan. “Emm, dia ada mengatakan sesuatu?”

Olive menggeleng. “Hanya minta dibungkuskan.”

“Jujur saja.”

“Saya jujur, Nona.”

“Bohong.”

Olive menggaruk pipi yang tak gatal. Ia sudah jujur, omong-omong. Majikannya hanya membisu selama sarapan, dengan sesekali mematri sosis yang digoreng menyerupai gurita.

“Lupakan.” Keira membuang atensi, menuju tas bekal di pegangan Olive. Merah padam wajahnya, beruntung hanya ada mereka di sekitar. “Dia sudah berangkat, minta Axel mengantar itu nanti.”

“Baik, Nona.”

“Tapi lebih baik, jangan.”

“Maaf?”

“Sudah dingin, pasti tidak enak lagi.”

“...”

“Atau aku masakkan yang baru saja ya?” ucap Keira. “Bagaimana?”

Olive mengerjap.

“Oh, sosis habis.” Keira berlari ke dapur.

Olive mengekori, terdengar tawa riang dari balita dalam gendongan perempuan itu.

“Benarkan.” Keira kecewa setelah membuka freezer, bahan-bahan makanan masih banyak kecuali sosis.

“Ayo belanja, Nona.”

Menutup ulang pintu freezer, Keira menatap Olive. “Ini hari apa?”

“Kam-” Olive kontan terbungkam kala menyadari sesuatu. Bukan hari Minggu, maka Keira Alba dilarang keluar. “Kalau begitu, saya saja yang belanja. Nona bisa chat saya ingin apa.”

“Oke!”

Bersemangat, berbeda dari biasanya. Olive, memandang punggung sempit perempuan itu yang perlahan menjauh. Berharap, semoga ini pertanda baik. Pertanda baik bagi rumah tangga sang majikan, yang terlampau dingin bahkan untuk sekadar berbasa-basi di meja makan.

PhlegmaticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang