©pevpermint
Pukul lima sore ketika Keira terbangun, remuk-redam telak mendera sekujur badan yang dilingkupi selimut tokoh kartun berwarna biru. Milik Derra, ia sekarang di kamar balita itu. Benar, mengungsi.
Tok Tok Tok
“Nyonya?”
Suara Firly, Keira berusaha duduk serta bersandar ke headboard ranjang. “Masuk.”
Klek.
Wanita itu membawa troli, Keira memijit pangkal hidungnya berharap denyutan di kepala akan enyah.
“Anda belum makan apa pun sejak siang.”
“Olive, di mana?”
Firly menghentikan dorongan pada troli, membuka penutup wadah-wadah di sana guna menampilkan menu segar ikan berikut sup andalan Olive. “Dia di bawah, menghantar Nyonya Moryn ke depan.”
“Moryn?”
“Berkunjung sebentar dan tidak tega membangunkan Anda.”
“Langsung pulang?”
“Iya, Nyonya.” Firly menuangkan air putih ke gelas kosong, pelengkap sajian teruntuk sosok di ranjang. “Silakan.”
“Abaikan apa yang kau lihat,” ujar Keira disela-sela mengambil sendok berikut garpu di troli depannya.
Firly mengerti, mengacu pada bercak-bercak merah gelap di leher hingga dada wanita itu. “Baik, Nyonya.”
“Kau boleh pergi.” Keira menyesap kuah sup sebagai pembuka. “Thanks makanannya.”
“Saya tunggu sampai Anda selesai.”
“Tidak perlu.” Keira menolak. “Istirahat saja selagi Derra tidak di rumah.”
“...”
“Sebulanan ini kau kurang tidur malam karena putriku,” timpal Keira. “Terima kasih.”
“Sudah tugas saya, Nyonya.”
“Oh ya, gaji mu sudah masuk?”
“Gaji?”
“Aku minta Ibra memberi mu bonus.”
“...”
“Beritahu aku kalau tidak ada tambahan angka di sana.” Keira tersenyum singkat, kemudian lanjut menikmati sup nya.
Firly bergeming, baru ini mendapati wanita itu secerah mentari. “Saya kira Tuan salah menggaji saya.”
Keira mengangkat wajah lagi, untuk mereka bersitatap. “Apa?”
“Rencananya, saya ingin menanyai Tuan soal kelebihan gaji saya bulan ini yang cukup besar.” Firly menyorot penuh arti. “Tapi ternyata, itu dari Anda.”
“Oh, sudah kau terima?”
“Hm.”
“Beli lah makanan enak,” balas Keira. “Self reward.”
“Nyonya?”
“Ya?”
“Boleh saya mengatakan sesuatu?”
Keira mengangguk, sembari menyuapkan makanan ke mulutnya. “Katakan saja.”
“Aku dan suamimu main belakang.”
“...”
“Berkali-kali kami tidur bersama.”
“...”
“Saat kau terlelap, kami melakukannya. Saat kau sibuk mengurus anakmu, kami melakukannya. Saat kau makan, kami pernah melakukannya. Dan paling sering adalah setelah kalian bertengkar, maka Ibra menikmatiku.”
“...”
“Ya, di saat kau bersedih, menangis, justru suami mu meniduriku. Kami-”
Ting Ting
Firly tersentak.
Keira menatap aneh, meletakkan ke semula sendok yang ia pakai untuk mengetuk mangkuk guna menyadarkan babysitter tersebut dari lamunan. “Apa yang ingin kau katakan?”
Firly mengepalkan tangan. Benar, ia ingin melontarkan semua lamunan tadi disebabkan Ibra yang tak merespons pesan teks nya semalam. “Saya-”
Tok Tok
Atensi spontan terampas, Keira menoleh ke sumber ketukan.
Begitu pula Firly, menemukan seorang pelayan wanita di ambang pintu. Membawa sebuket bunga.
“Maaf mengganggu, Nyonya.”
“Masuklah.”
“Baik.”
Keira menyesap jus tomat yang tersuguh.
“Ini...”
Mawar merah, merah pekat, terjulur padanya. Keira terdiam.
“Dari Tuan.”
Memperhatikan objek menawan itu, Keira mengambilnya. “Dia sudah pulang?”
“Belum, Nyonya.”
“...”
“Anda diminta membaca catatan di sana.”
Keira mengindahkan, membuka selembar kecil kertas di antara kelopak mawar tersebut.
“Nyonya?”
Keira berdeham singkat, menyahuti Firly.
“Saya ingin mengatakan sesuatu.”
“Sebentar.” Keira membaca isi kertas sebelumnya.
Firly mengetatkan rahang, kepalan tangan kian mengencang.
Dan Keira tertawa kecil, atas deretan kalimat tertanda Ibra. Menggelikan alih-alih romantis, tak menyangka sang suami punya sisi seperti ini.
‘Aku ditawan Carlson, tidak bisa memeluk mu nanti malam. Jangan tunggu aku.’
“Aku lebih suka tulip.” Menutup kertas tersebut, lalu Keira menaruh bunga yang ia pegang ke sebelahnya.
“Tuan juga memberi ini, Nyonya.”
Firly tak tahan lagi. Sesak mendera, menyaksikan Ibra memperlakukan Keira begini. “Saya permisi.”
Keira mengerjap, wanita itu tampak terburu-buru dan marah? Aneh, padahal tadi masih biasa-biasa saja. “Apa dia tersinggung aku abaikan?”
“Saya rasa, Firly memang sedang ada masalah.”
Keira beralih pandang, menuju pelayan di dekatnya.
“Belakangan sering uring-uringan. Jadi bukan salah Nyonya, dia bersikap seperti barusan.”
“Apa dia stres mengurus Derra?”
“Anda lebih disibukkan Nona muda dan Anda baik-baik saja. Saya yakin, Firly pun sama.”
“Aku tetap baik karena tulus mengurus putriku,” dengus Keira sembari menerima kotak berpita berukuran lumayan mini dari pelayan itu. “Mungkin jika aku di posisinya, akan stres juga.”
Srak.
Keira mengeluarkan isi kotak tersebut, yang tak ia duga merupakan... lingerie.
“Pftt-”
Keira melirik, pada pelayan yang terkikik itu.
“Maaf, Nyonya.”
Berdesis, bukan Keira malu akibat lingerie ini melainkan warnanya. “Tertawa saja kalau ingin.”
“Maaf, Nyonya. Maaf.”
Membiarkan pelayan itu tergelak meski tertahan, Keira menghela napas. Bagaimana bisa Ibra memberinya lingerie berwarna kuning menyala? “Ck, buruk sekali seleranya.”
Di lain tempat, Ibra baru menapaki ruang kerjanya usai berjam-jam mendekam di ruang rapat. Ia longgarkan dasi, bersandar ke kursi untuk sejenak mengistirahatkan diri.
“Ponsel Anda, Presdir.” Carlson menaruh benda itu di hadapan si empu. “Sudah full charge.”
“Hm.” Ibra terpejam. Kantuk menyerang, namun ia tak boleh tidur. Serentetan pekerjaan belum tuntas. Wajar, gedung ini ia tinggal lebih dari sebulan.
“Tidurlah beberapa menit.” Carlson mengecek arlojinya. “Aku bangunkan nanti.”
Menegapkan posisi, Ibra justru meraih ponsel nya. Semenjak semalam ia abaikan, hanya menanggapi panggilan telepon saja.
“Istirahat dulu kalau lelah,” tegur Carlson.
Ibra tak hirau, menggulir laman email barang kali ada hal darurat menyangkut pekerjaan.
“Bunga sudah diterima Keira.”
“Hm.”
Carlson memutar mata, jengah. “Ayolah~ aku tahu kau marah libur mu diganggu, tapi please... jangan kekanakan begini.”
“Diamlah.”
Carlson menjatuhkan tubuh ke kursi. Sedari memasuki kantor, pria ini bersikap dingin. Rapat pun berlangsung tegang, sampai-sampai para pegawai ngeri ingin aktif di sana. “Aku juga sama seperti mu, lelah bukan main. Tapi lihat, aku masih bisa profesional!”
“Kau tidak laku.”
“Pardon?”
“Kau tidak beristri,” timpal Ibra. “Jadi diamlah dan berikan berkas yang harus aku tandatangani.”
“Wah.” Carlson berseru tak percaya, menepuk-nepuk tengkuk dramatis. “Aku bahkan masih dua puluh tahunan dan kau menikah di usia tiga puluhan, sadar diri Pak Tua!”
Bugh!
“Ibra!” pekik Carlson, pasca dilembar bantalan mouse laptop. “Sakit!”
“Keluar.”
“Tiupkan mataku!”
“Keluar atau-”
“IYA, IYA!” Carlson berteriak, seraya memegangi matanya yang perih terkena lemparan. “Iblis, KAU IBLIS!”
BLAM!
Pintu ditutup dengan bantingan. Ibra berdecak, menghempaskan kembali tubuh ke sandaran kursi. Suasana hati berantakan, meninggalkan Keira setelah membuatnya tak berdaya. Tampak pula wanita itu kecewa, ia khawatir mereka renggang lagi nanti.
“Oh ya, Presdir.”
Ibra berjengit kaget, Carlson tiba-tiba menyembulkan kepala di celah pintu.
“Tadi aku berinisiatif menambah hadiah untuk istrimu.”
“...”
“So rileks lah, oke?”
“...”
“Dia pasti mengerti, dan-” Carlson menaik-turunkan alisnya, menggoda. “Kalian pasti semakin lengket saat-”
“Apa yang kau berikan?”
“Something sexy?” Carlson mengetuk-ngetuk dagu seolah berpikir. “Tipis, cerah, berenda—intinya, kau akan senang nanti.”
“Enyah.”
“Lingerie berwarna-”
“ENYAH!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Phlegmatic
Romance(Sequel of Overblown) Dipaksa menikahi sahabat ayahnya, Keira Alba tak mampu berkutik ketika keadaan sendiri sedang di ujung tanduk. 📌 BAHASA BAKU ⚠️ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN ⚠️