Di situasi genting seperti ini, waktu sedetik pun sangat berharga. Mau ngebut biar lebih cepat sampai, tapi Heksa selalu teringat orang-orang yang menyayanginya. Papa Mamanya, sahabat-sahabatnya, juga Pijar. Kalau dirinya kenapa-kenapa, mereka pasti sedih.
Dan mungkin, itu hal yang tidak dimiliki Ginny. Gadis itu pasti merasa tak seorang pun yang peduli dan sayang padanya. Maka jika ia menghilang dari dunia ini, Ginny beranggapan tak ada satu pun orang yang akan menangisinya.
Di tengah-tengah kepanikan Heksa sekarang, ponsel lelaki itu berdering.
Mengira Ginny meneleponnya balik, Heksa langsung menyeplos, "Njir, lo kemana aja? Gue telepon nggak diangkat-angkat! Di apartemen?"
"Sa, ini gue Andre."
Heksa yang sambil mengemudi, buru-buru memasang earphonenya agar dapat tetap berkonsentrasi ke jalanan.
"Sorry, Ndre. Gue lagi ada urusan. Ben.."
"Sa, gue udah dapet bukti CCTV-nya. Ginny yang nyerahin sendiri ke kantor polisi! Dia punya salinan CCTVnya sebelum dirusak sama Papanya. Jadi.."
Heksa Menajamkan pendengarannya. "APA? Ginny ke kantor polisi? Kapan?"
"Sekitar sejam yang lalu mungkin, Sa. Soalnya gue baru ditelepon kepolisian.."
"Ok,ok, Ndre. Ntar gue kabarin lagi. Beneran lagi urgent ini," potong Heksa karena tak mau membuang-buang waktu dan sampai lebih lama ke apartemen Ginny.
Mungkin Heksa kerasukan teman-teman Pijar. Ia yang sebenarnya buta arah dan susah menghafal maps, tiba-tiba saja sudah memasuki kawasan apartemen Ginny. Padahal sudah gelap dan jalan semakin sepi. Namun entah mendapat bantuan darimana, tahu-tahu mobilnya sudah sampai di parkiran Venus Apartemen.
"Anj!" Heksa mengumpat karena ponselnya terlempar ke aspal saat ia terburu-buru turun dari mobil.
"Aissh, sial! Malah is dead!"
Heksa berlari menuju lobi hotel sembari berusaha menyalakan ponselnya. Ia disambut seorang resepsionis cantik yang langsung menanyakan keperluannya.
"Kamar Nona Eluna Ginny..?" tanya Heksa to the point.
Resepsionis itu menjawab ramah. "Maaf, Pak. Tapi nomor kamar pengunjung di sini privasi. Jadi saya harus menelepon orang yang bersangkutan dulu.."
"Gue temennya!.." Heksa meralat cepat. "Gue sahabatnya. Ini kalo hp gue nggak is dead, gue bisa buktiin kalo dia sahabat gue."
"Baik tunggu sebentar. Saya hubungi menggunakan telepon hotel saja, Kak."
Heksa mengetuk-ngetukkan kakinya tak sabar. Ia mengusap wajahnya dan tampak frustasi menunggu resepsionis yang mencoba menghubungi kamar Ginny namun tak kunjung mendapat jawaban. Ketika resepsionis itu berbalik menghampirinya lagi, Heksa seolah tahu apa yang akan dikatakan wanita itu.
"Nggak dijawab, kan? Lo tahu nggak, dia sekarang dalam bahaya. Jadi buruan bawa satpam dan kunci cadangan kamar Ginny! Cepat, Mbak!"
Resepsionis itu berlari menuju ruang kecil yang berada tak jauh dari meja kerjanya. Bersama seorang security juga Heksa, ketiganya berlari secepat mungkin menuju lift.
Kamar Ginny rupanya ada di lantai 12. Hal itu membuat Heksa semakin tidak tenang harus menunggu lama di dalam lift.
"Mas, sebenarnya ada apa?" tanya security apartemen yang sejak tadi hanya mengikuti keduanya tanpa banyak bicara.
"Temen gue kayaknya mau bunuh diri." Heksa menjawab singkat lalu menunjuk resepsionis yang berdiri di belakangnya. "Lo tolong telepon ambulance. Perasaan gue nggak enak. Jadi buat jaga-jaga, mending lo telepon ambulance sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY BIRTH-DIE 2 (dan kisah di balik mata ajaib Andre)
خيال (فانتازيا)YANG SERI 1, BACA DI WATTPAD BELIA WRITING MARATHON UP SETIAP SENIN DAN KAMIS Masih ada cerita yang belum terselesaikan. Masih ada misi yang harus dilanjutkan. Dengan atau tanpa bantuan, aku akan berusaha menjaga lilin-lilin itu agar tetap bepijar. ...