22. Tidur Sana

52 9 0
                                        

.
.
.

22. Tidur Sana

Sudah larut malam namun Yakira masih belum bisa tidur, ia bingung harus melakukan hal apa lagi. Setelah siang tadi ia bermain ice skating dengan Shaka, dan bertemu Meira– teman Lintang, Yakira sama sekali merasa jenuh di kediamannya.

Ia mencari buku-buku bacaan yang mungkin bisa menghibur suasana hatinya, ternyata nihil, semua buku yang ada di rumahnya sudah selesai ia baca.

Satu hal yang bisa Yakira lakukan, menemui Lintang untuk membawanya pergi ke toko buku. Walau sepertinya cukup sulit untuk menemukan toko buku yang buka hingga larut malam begini.

"Non Yakira mau kemana?" tanya bi Dharmi.

"Yakira mau ketemu sama kak Lintang, Bi," jawab gadis itu. Bi Dharmi mengangguk mengiyakan, lalu Yakira mencari keberadaan Lintang.

Dengan lampu yang remang dan ruangan yang luas, Yakira melihat Lintang tertidur di kursi yang juga berhadapan dengan cctv. Cctv itu tentunya terhubung ke dalam berbagai sudut di rumah ini.

"Kamu ... kembali," Lintang mengeluarkan suaranya walau tak terlalu jelas. Dahi Yakira mengernyit, ia mendekatkan dirinya kepada Lintang, "Kak?"

"Aku mati, aku mati bahkan sebelum kamu benar-benar pergi." lanjut Lintang, ucapan Lintang dengan matanya yang tertutup membuat bulu kuduk Yakira merinding.

"KAK LINTANG BANGUNNNNN," kata Yakira dengan nada suara yang melengking.

Lintang terbangun dari tidurnya dan sedikit terkejut, pemuda itu segera memeriksa jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.30. Lintang mengusap wajahnya kasar dan ingin rasanya ia mencubit Yakira.

Gadis itu terlihat menahan tawanya, Lintang segera berdiri dan menyentil dahi Yakira.

"Kebiasaan, suka main nyentil dahi orang," protes Yakira sembari memajukan bibirnya.

"Lagian, ngapain harus ganggu gue jam segini? Masih ada bodyguard lain yang jaga rumah," kata Lintang.

"Tapi kan bodyguard pribadi gue cuma lo, Kak," ujar Yakira, dan Lintang tak bisa mengelak.

"Iya, terus? Ada masalah apa?" ucap Lintang malas.

"Hih, yang niat dong, Kak! Masa nanyanya pake muka asem begitu. Jelek," cibir Yakira.

"Iya. Ada apa, Yakira?" kata Lintang lebih lembut.

"Geli, udah deh. Gue mau ke toko buku, anterin, ya?" ucap Yakira dengan mata berbinar mencoba untuk merayu Lintang agar hati Lintang luluh.

"Lo gak liat kalau sekarang jam berapa?" kata Lintang memastikan, apa Yakira kurang tidur?

"Liat, kok." Yakira meyakinkan Lintang sekali lagi.

Lintang mengecek suhu tubuh Yakira dengan termometer, lalu ia memastikan apakah Yakira demam atau tidak dengan telapak tangannya.

"Agak anget, tidur sana," perintah Lintang, Yakira enggan untuk melangkah pergi.

Yakira cemberut, ia tidak menyukai respon Lintang.

"Emang suhu di sini enggak sedingin di desa! Gimana sih Kak Lintang. Ayoo kita pergi," paksa Yakira, Lintang tetap tidak ingin keluar rumah, ia lelah.

"Besok aja, lo keterlaluan kalau nyari toko buku yang buka di jam segini," kata Lintang.

Gadis itu menunduk dan tetap cemberut karena merasa kecewa, "Gue enggak bisa tidur," lirih Yakira.

"Ngadem aja di loteng," saran Lintang.

"Enggak mau, serem," kata Yakira bergidik, lagi-lagi Lintang menyentil dahi Yakira.

"Yaudah, ayo," ajak Lintang, gadis itu mengangkat sebelah alisnya seakan bertanya apa yang Lintang maksud?

"Ke loteng," lanjut Lintang.

Lintang menarik Yakira menuju loteng, Yakira menghirup udara setelah sampai loteng. Saat di loteng udara terasa lebih sejuk menurut Yakira.

"Gue baru pertama kali ke loteng," ucap Yakira, Lintang melirik gadis itu dan kembali memalingkan pandangannya ke langit yang disinari oleh rembulan.

"Bulannya bagus, tapi social distancing sama bintangnya," kata Lintang tak membalas ucapan Yakira, justru Lintang membahas hal lain yang tak berhubungan dengan ucapan Yakira.

"Kak Lintang akhir-akhir ini kenapa makin kocak, sih? Gue ngomong apa jawabnya apa, dasar aneh!"

"Gak apa-apa. Emangnya masalah?"

"Enggak juga," kata Yakira.

"Kak Lintang," panggil Yakira, pemuda yang merasa terpanggil itu menoleh.

"Kak Lintang sebenernya tahu kan soal mama?" ucap gadis itu mengalihkan tatapannya dari Lintang, kakinya tak bisa diam, seolah-olah dia sedang merasa tak nyaman namun ia penasaran.

"Persyaratan kerja gue memang buat jaga lo dari fans yang masih penasaran sama rumor bahwa aktris Sherica Paramitha udah punya anak atau belum," jawab Lintang, Yakira hanya menganggukan kepalanya canggung. Ya, memang tidak akan jauh dari hal yang berkaitan dengan ibunya yang seorang aktris.

"Kak, apa orang-orang itu enggak bisa lupain aja soal mama yang jadi aktris?" kata Yakira, ia menahan sesak yang teramat dalam dari dalam hatinya.

"Gue pengen hidup kayak remaja seumuran gue pada umumnya, gue pengen ngerasain hidup tanpa harus nyembunyiin siapa orang tua gue, kalau gue akuin hal ini ke publik, apa ini salah?" sambung Yakira.

"Ayah lo udah tahu apa yang harus dia lakuin," jawab Lintang, ia tak tahu harus merespon bagaimana. Lintang tidak memiliki hak untuk ikut campur lebih dalam mengenai perasaan Yakira.

"Bahkan ayah enggak pernah akuin gue sebagai anak ke orang lain, orang-orang di kantor ayah pun hanya sebagian aja yang tahu kalau gue anaknya ayah, itu juga karena mereka kerja dari ibu masih hidup." Yakira ingin meluapkan segala hal yang selalu ia tahan selama bertahun-tahun, setelah wajahnya yang tak terlalu jelas dikeramaian itu ramai di sosial media, lalu ia disembunyikan oleh ayahnya ke tempat yang tidak terlalu dikenal orang, Yakira sudah muak.

Ia meremas pakaian yang ia kenakan, ia memegang dadanya yang terasa sakit. Ia mengingat bahwa ayahnya sudah tidak pernah menemuinya selama 5 tahun ke belakang dan meninggalkannya dengan karyawan juga bodyguard yang begitu banyak.

Lintang mendekat dan mendekapkan gadis itu ke dalam pelukannya, ia tak bisa melakukan hal apapun lagi. Setelah sekian lama ia selalu menemani Yakira bermain dan bepergian kemanapun, ia paham bagaimana gadis itu melihat dunia. Gadis dengan sorot mata yang berbinar ketika berhasil keluar dari dalam rumah yang memiliki tembok tinggi untuk menghalangi pandangan gadis itu dari dunia luar.

Yakira terisak dalam dekapan Lintang yang hangat. Ia tak pernah memercayai siapapun. Namun, kali ini ia percaya bahwa Lintang bisa menjadi pendengar baik yang mendengarkan ceritanya.

TBC

Langkah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang