Kapal-kapal besar terparkir di Pelabuhan Karang. Berbagai bendera-bendera dari berbagai kelompok pedagang bertengger di atas tiang layar utama kapal.
Ada yang mulai berdatangan, ada juga yang mulai bepergian. Kebisingan dari para pelaut maupun perompak terdengar dimana-mana, tak jarang para turis asing dari negeri lain tampak melihat-lihat peta wilayah sekitar yang terpampang disebuah papan kayu agar bisa dilihat oleh semua orang.
Pelabuhan Karang sendiri terletak di sisi timur Eunoia, di dekat Desa Onyire, desanya para petani dan pelaut. Letak desa ini juga tidaklah terlalu jauh dari Azzellatton, hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk bisa mengakses Desa Onyire.
Kakinya menuruni tangga kayu pada kapal, melangkahkan kakinya menjauh menuju ke sebuah kedai minuman. Jubahnya menutupi seluruh tubuh serta wajahnya, ia duduk di sebuah kursi kedai dengan memperhatikan orang-orang yang berseliweran kesana-kemari.
"Ada yang bisa saya bantu.. Nona..?" Tanya seorang pelayan kedai.
Gadis itu menoleh dari memperhatikan seorang perompak di seberang yang tengah menggoda para wanita yang mungkin akan dijadikan budak. Ia mendapati seorang pria, lebih tepatnya pemuda bertubuh atletis sedang memandang kearahnya.
Alceena meneguk salivanya, pemuda itu memperhatikannya lumayan intens membuat gadis itu sedikit merasa gugup.
"A-apa ada makanan?" Gagapnya seraya menunduk, tidak ingin pemuda itu melihat sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain. Lagipula, ini adalah pertama kalinya dia berbicara dengan orang asing.
Si pemuda tampak menyipitkan matanya, "kami hanya menjual minuman, tapi ada roti." Jawabnya seraya memiringkan kepalanya sekilas.
"Beri aku tiga."
"Ada lagi?"
"Dan air putih."
"Hanya anggur."
"Aku tidak minum, aku hanya ingin air putih." Jelasnya sedikit menaikkan intonasinya.
"Maaf, tidak ada."
Alceena berdecak sebal, ia membutuhkan air putih untuk membasahi kerongkongannya yang terasa amat kering. Tanpa air putih, bagaiamana ia bisa menelan roti yang kering, setidaknya lembut, tapi tetap saja ia membutuhkan air putih.
"Baiklah roti saja."
Pemuda itu beranjak dari meja kayu tempatnya melayani para pelanggan. Dia berjalan ke arah pintu di ujung ruangan, melewati para pedagang dan para turis yang tengah asik meminum minuman mereka di dalam sana. Salah satu dari mereka terlihat dalam keadaan mabuk. Sambil berbincang ria, orang-orang yang didominasi oleh pria itu meneguk minumannya sembari tertawa lebar.
Alceena, gadis yang telah berhasil melarikan diri dari kehidupan membosankan istana itu tengah menahan raungan hebat di perutnya yang kosong. Dia tak mau masuk ke dalam kedai yang dipenuhi oleh para pria. Hal itu membuatnya mengingat sang ayah yang sedang memarahinya dengan wajah garang yang baginya cukup mengerikan.
Alceena bergidik mengingat momen-momen itu. Ia sama sekali tidak akan mau lagi jika diharuskan tinggal di istana meskipun diberi kelonggaran. Terlalu membosankan.
"Tiga roti cinnamon." Pemuda itu datang memecahkan lamunannya, membawa nampan berisi roti cinnamon rolls dengan isian selai kacang serta sebuah gelas berisikan air putih. Pemuda itu meletakkannya di atas meja kayu tua tempat Alceena berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LEXINE : Forbidden Love [REVISI]
FantasíaCinta terlarang seringkali berakhir menyedihkan diantara dua makhluk berbeda spesies. Kisahnya dimulai dari seorang gadis keturunan manusia dan elf yang diperintahkan oleh para petinggi kerajaan untuk membunuh seekor naga yang sejatinya ialah seora...