-II-061-03-

95 17 28
                                    

TIGA jam menunggu matahari terbit, aku tidak kembali terlelap dan memilih terjaga. Aku meminta Immanuel lanjut menceritakan cerita tentang kakek buyutnya selama waktu menunggu itu. Sebenarnya aku ingin bertanya soal hal yang lain, tapi kata-kata yang berhasil keluar dari mulutku hanya, "A-a-aku ingin m-m-me-men-mendengar cerita lanjutannya."

Aku masih belum sanggup berbicara terlalu banyak. Rasanya masih sulit. Dan lagi, aku masih penasaran dengan kelanjutan dari kisah kakek buyutnya. Tadi kisahnya terpotong oleh tidurku yang mendadak.

"Baiklah," jawab Immanuel. Ia pun melanjutkan kisah tentang kakek buyutnya itu. "Dari sanalah mitos vampir yang takut dengan bawang putih dan benda perak diambil. Sebenarnya bukan mitos, karena tubuh kakek buyutku memang intoleransi terhadap dua hal tersebut."

Immanuel terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Setelah itu, ia pergi jauh dari kota. Berlari jauh ke arah barat daya. Kemudian bersembunyi di gua selama lebih dari dua ribu tahun. Hanya keluar di beberapa malam untuk meminum darah dari satu dua manusia yang ia temukan di negeri baru tersebut. Atau jika sedang tidak beruntung, ia hanya meminum darah hewan. Darah manusia dan hewan berbeda. Jika diumpankan, darah manusia itu seperti protein hewani, dan darah hewan seperti protein nabati. Darah hewan masih bisa memberikan stamina dan meredakan rasa haus, tapi efeknya tidak sebesar jika meminum darah manusia.

"Hari-harinya di dalam gua dihabiskan dengan mempelajari beberapa ilmu bumi, dari buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan tanpa permisi. Ia mempelajari konsep waktu, bahasa, dan sebagainya. Tak terasa dua ribu tahun sudah berlalu, menurut waktu bumi. Sedangkan menurut waktu tempat asalnya, ia baru menempati dunia baru ini sekitar dua puluh tahun saja. Ia tidak abadi, hanya saja waktunya di dunia lebih panjang dari manusia. Ia mulai merindukan tempat asalnya, meskipun di sana kastanya menengah——yang mana bukan sebuah keuntungan maupun kerugian. Ia juga rindu keluarganya meskipun ia tak pernah diterima dengan baik di sana, karena hubungan sedarah yang pernah dilakukan kedua orang tuanya. Ia mulai merindukan kehidupan normalnya di dunia yang membesarkannya ketika melihat kehidupan manusia yang terbit tenggelam silih berganti. Ia memperhatikan sebuah keluarga selama hampir empat puluh generasi. Harapan hidup di zaman itu cukup kecil, peperangan dan wabah penyakit menjadi hal yang sulit dihindari. Ia melihat bayi lahir, tumbuh dan berkembang, menjadi dewasa, menikah, memiliki anak, membangun keluarga, lalu mati dan dilanjutkan oleh anak keturunannya. Ia terus memperhatikan keluarga itu turun temurun.

"Ia melihat salah satu keturunan yang merusak keluarga. Orang tua yang menelantarkan anaknya. Keserakahan yang bisa membuahkan kesengsaraan. Setiap generasi memiliki masalah yang berbeda. Kasta hidup mereka berputar-putar seperti roda dari generasi ke generasi. Namun ada kesamaan yang diturunkan secara turun temurun di keluarga itu. Meskipun tidak setiap generasi dianugerahi dengan harta yang cukup, keluarga yang harmonis, kegembiraan yang meluap, rasa syukur melimpah, menghadapi berbagai pengkhianatan, kemiskinan, kesengsaraan, dan lainnya, tapi mereka tetap tegar dan terus berjalan menyongsong hari esok dengan derai air mata. Hal itu yang menggugah hatinya. Hanya sekali dalam dua ribu tahun, ia menginginkan sebuah keluarga. Dengan cinta dan kasih sayang tulus di dalamnya. Namun mimpinya itu terasa seperti angan-angan yang kosong.

"Jalannya untuk pulang buntu. Ia tidak menemukan penjelasan ilmiah dari hal-hal supranatural yang membawanya ke dunia ini. Padahal dulu ia hanya tidak sengaja terperosok ke dalam sumur kering yang terbuat dari beton, tapi ia malah terdampar di sebuah dunia dengan cahaya matahari sebagai sumber kematian. Sudah ribuan kali ia membaca dan mempelajari teks kuno tentang sihir dan ritual yang mungkin bisa membawanya pulang. Dan semua itu tidak ada gunanya, penyihir yang membuatnya terdampar seperti mendapatkan keajaiban... atau kebalikan dari keajaiban. Ia pun memilih membuat berbagai kemungkinan untuk menjalani kehidupan layaknya manusia, tapi hasilnya juga tetap nihil. Ia tidak memiliki kemungkinan untuk diterima oleh manusia dan dunia baru ini. Apalagi ia sempat berpikir jika manusia hanyalah sekedar galon darah untuk mengembalikan staminanya. Ia juga sempat berpikir untuk menyerahkan diri kepada manusia. Memberikan rasa sakit kepada tubuhnya sebelum kematian, dari api yang dipergunakan manusia untuk membakarnya hidup-hidup. Ia hanya berpikir seperti itu, manusia akan selalu membakar hal-hal yang dianggap anti kesucian, seperti penyihir dan dirinya——karena meminum darah, dan hanya iblis yang melakukan itu.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang