-II-065-07-

72 15 3
                                    

AKU bersandar di dada Immanuel, dan ia balas memelukku. Aku tidak langsung bersentuhan dengan tubuhnya yang sekeras batu. Dia membuat kantung tidur menjadi semacam penghalang di antara kami, agar badanku tidak sakit ketika berbaring di depan dadanya. Aku menatap api unggun di hadapan kami. Ella dan yang lainnya berada di api unggun kedua, mereka sedang memasak sup ayam hutan yang berhasil Ethan tangkap ketika kami sedang berlari.

Immanuel memecah keheningan dengan berkata, “Aku ingin bertanya. Boleh?”

Aku mengiyakan. "Kau tidak perlu meminta izin."

Immanuel tertawa. "Aku tidak ingin kau merasa terganggu. Aku mengerti jika kau menginginkan suasana yang hening."

Aku tidak merespons, membiarkannya untuk menanyakan apa yang ingin dia tanyakan. “Ada apa antara matahari terbenam dan dirimu?”

Aku ingin meliriknya dengan tatapan penuh ejekan sambil berkata, “Kau cemburu?” tapi yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan, “Memangnya kenapa? Apa kau melihat ada yang aneh soal aku dan matahari terbenam?”

Aku merasakan jika Immanuel mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku hanya merasa ada sesuatu yang dalam. Soal perasaan. Sorot matamu aneh ketika melihat matahari terbenam. Ada sebuah emosi terpendam yang aku rasakan dari matamu.”

Di situlah aku ingat, aku belum menceritakan perasaan aneh yang sering aku rasakan setiap kali melihat matahari terbenam kepadanya. Kami pernah menyinggungnya dulu, saat tidak sengaja membahas soal ibuku di depan perpustakaan, tapi tidak sedetail itu.

“Sejak ibuku pergi, aku selalu merasakan sesuatu yang aneh ketika memandangi matahari terbenam. Seolah ada sesuatu di sana, di timur. Sesuatu yang mengawasi dan menarikku untuk datang ke sana. Aku tidak tahu kenapa. Dan kadang-kadang aku sering tidak sengaja melihat ayahku menatap matahari terbenam dengan sorot mata yang sama sepertiku. Aku pernah bertanya kenapa dia melihat matahari terbenam seperti itu, dan dia hanya menjawab, tidak ada apa-apa, hanya saja timur adalah tempat asal ibuku. Dulu ada sebuah negeri yang dijuluki negeri matahari terbit di timur, dan ibuku berasal dari sekitar daerah itu. Tapi julukan itu sepertinya tidak lagi ada mengingat matahari sekarang terbenam di timur, bukan terbit.”

Immanuel mengangguk-angguk untuk merespons. “Kalian pasti sangat merindukannya.”

“Selalu.”

“Aku yakin dia juga merindukan kalian, dan aku yakin kalian pasti bertemu kembali. Suatu hari nanti.”

“Semoga saja, jika dia benar-benar masih hidup.”

“Belum ada bukti dia sudah meninggal, kan? Harapan masih ada. Kau tidak boleh putus asa. Harapan adalah cahaya kehidupan. Sama seperti besarnya harapanmu untuk membawa Nathan pulang. Selama kau masih memiliki harapan, kau tidak akan tersesat.”

“Bagaimana jika aku tetap tersesat?”

“Aku akan selalu ada untuk menuntunmu ke jalan yang benar.”

“Caranya?”

“Kau akan tahu tanda yang aku berikan.”

Kami saling menatap dan dia melemparkan senyumannya yang sempurna itu. Aku tidak dapat berkata-kata. Setiap perempuan yang diberikan senyuman seperti itu oleh laki-laki yang mereka sukai, pasti hanya bisa merasakan pipi memanas dengan sentuhan kemerahan di pipi, tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Tidak berdaya melakukan apa pun. Begitu pula dengan aku. Aku hanya bisa menyandarkan tubuh dan kepalaku dengan manja, lalu setelah beberapa, aku mengalihkan pandangan dari wajahnya. Emosi yang aku rasakan bercampur-campur. Aku merasa sensasi kebahagiaan dalam perut, juga desiran kesedihan aneh di dada. Semakin lama emosi semacam ini semakin sering terjadi. Apa ini tanda kedewasaan? Perpindahan dari akhir masa remaja ke awal masa dewasa muda. Perasaan yang tercampur-campur?

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang