-II-077-19-

53 11 0
                                    

IMMANUEL masih memelukku yang bersandar sambil meringkuk di dadanya. Suasana mobil hening seolah semua orang tidur, kecuali si pengendara dan seseorang yang duduk di sampingnya. Suara kecil dari konsol permainan video itu tidak menggangguku, Ethan menyetel suara itu sangat kecil, aku hanya merasa ada seorang anak remaja yang suka bermain game di dekatku. Pandanganku hanya menatap kosong ke luar jendela, melamunkan segala hal yang terlintas dan aku rasakan. Air mata sudah berhenti keluar dan pipiku sudah kering.

“Kau lapar?” tanya Immanuel, sambil menunduk dan mengelus rambutnya dengan sentuhan lembut. Gerakannya terasa sangat hati-hati seolah aku adalah benda yang berharga sekaligus rapuh. 

Sekaranglah waktunya untuk tegar dan menyongsong masa depan. Aku berdiri tegak dan mengangguk kepadanya. Immanuel tersenyum memperlihatkan senyum menyemangati. Dia meminta Evan untuk berhenti di layanan tanpa turun berikutnya di salah satu restoran. Sebelum kami sampai, mood Ella sudah kembali normal seperti biasa. Dia ceria dan mulai bertanya segala hal padaku. Mungkin setiap seniman memang memiliki mood yang suka berubah-ubah.

“Nathalia, apa warna yang kau suka?” tanyanya, dengan nada jenaka dan senyuman manis.

Aku mencoba menjawabnya dengan nada yang ceria juga. “Aku tidak yakin memiliki warna kesukaan. Aku tidak memiliki warna baju yang itu-itu saja atau barang-barang dengan warna serupa, yang menandakan aku menyukai warna tertentu. Aku memiliki pakaian dan barang-barang berbagai warna.”

“Aku juga begitu,” balasnya, dengan suara melengking yang menandakan dia sangat bersemangat. “Aku tidak memiliki pakaian dengan hanya satu warna saja seperti El, Evan, atau Ethan.”

Aku melihat dahi Evan mengerut dan Ethan berkata, “Kenapa aku?”

“Karena kalian hanya memiliki pakaian dengan warna yang itu-itu saja,” kata Ella. “El hanya memiliki pakaian dengan warna semacam biru tua, hijau tua, berbagai macam warna cokelat dan krem, lalu monokrom. Sangat-sangat membosankan. Dan kau.” Sambil menatap Ethan di depannya. “Kau selalu mengenakan pakaian bernuansa putih, padahal kau adalah tipe orang yang sangat ceroboh. Bajumu selalu dipenuhi bercak darah atau makanan yang kau makan.”

“Hei!” Ethan tidak terima. “Aku tidak seperti itu.”

“Kau lihat saja pakaianmu sendiri,” ujar Ella. Meskipun kata-katanya seperti orang yang sedang marah, tapi nada suaranya masih cerita dan melengking.

Ethan langsung menunduk menatap pakaiannya sendiri, dan tanpa diminta, Evan pun melakukan hal yang sama. Cowok berambut cepak itu seperti akan tertawa menyembur tapi sengaja ditahan. Sedangkan Ethan melirik Ella dengan wajah kesal. “Kau benar-benar seperti anak lima tahun.” Sambil tertawa.

“Kau juga, Evan,” ujar Ella. “Kau selalu mengenakan pakaian gelap seolah kehidupanmu begitu kelam dan gelap.”

Evan mengangkat bahunya. “Aku terlihat keren dengan warna pakaian gelap seperti ini.”

“Dari pada kau,” tuduh Ethan. “Kadang-kadang kau menggunakan warna pakaian yang bisa membutakan mata seseorang.”

“Kau lihat, kan? Hidupku penuh dengan orang-orang pembenci,” kata Ella, padaku. Meskipun itu sebuah ironi, tapi dia tersenyum seolah hal itu adalah sesuatu yang dapat dibanggakan.

Aku tersenyum, sedangkan otakku sibuk membuat obrolan ini agar tetap terjalin sebelum sampai di restoran. “Ella, kenapa kau menyukai hal-hal yang berbau seni?”

“Aku suka keindahan dan aku suka meluapkan perasaanku kepada sebuah objek. Entah itu lukisan, pakaian, atau karya seni yang lain,” jawabnya, masih dengan keceriaannya.

“Itu artinya, misalkan kau sedang marah, kau bukan melempar, atau merusak barang, atau uring-uringan tidak jelas, tapi membuat karya seni?” tanyaku.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang