-II-094-36-

32 6 1
                                    

KARENA kami berpacu dengan waktu, kami buru-buru naik ke permukaan bongkahan es itu dan pergi meninggalkan pantai. Aku menikmati saat-saat itu terjadi. Immanuel membopongku naik ke atas sebelum berpakaian. Aku tidak banyak berbicara dan memilih menikmati setiap momen yang terjadi dengan pipi merona. Menatap perutnya, memperhatikan wajah dan rambutnya yang basah, dan merasakan setiap inci bagian tubuhnya yang bersentuhan denganku——meskipun tidak secara langsung bersentuhan, tapi itu cukup untuk membuat pikiranku agak kacau. Tubuhnya sekeras batu, membuat setiap inci tubuhnya bisa aku rasakan dengan jelas. Rasanya seperti dibopong oleh patung marmer hidup.

Immanuel menunduk ke arahku ketika kami sudah sampai di permukaan es. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya, sambil tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi, dan sepasang taring bagian atas.

Aku semakin merona dan memalingkan wajah. “Tidak ada.”

Dia tertawa kecil. “Kau membuatku malu,” katanya.

“Itu bagus.” Suaraku terdengar parau karena gugup, benar-benar sumbang dan jelek, padahal aku berharap suaraku terdengar merdu dan indah, genit seperti gadis malu-malu yang biasanya disukai oleh beberapa jenis laki-laki. “Agar aku tidak malu sendirian.”

Sekarang dia mengatupkan bibirnya. Masih ada senyuman tipis di bibirnya ketika dia menatapku dengan dalam. Kami saling menatap penuh arti. Matanya yang biru berkilauan menyihirku untuk tidak bergerak. Dorongan aneh tercipta untuk menatap bibirnya. Tidak tipis maupun tebal. Tidak bisa dibilang berwarna merah, tapi tetap kontras dengan kulitnya yang putih pucat.

“Oke, kita berangkat sekarang,” kata Ethan dan Ella. Mereka membawa ransel dan mantel semua orang.

Kami kembali ke dunia dan menatap mereka berdua. Perlahan-lahan Immanuel menurunkanku dari pangkuannya. Dia berjalan ke bibir bongkahan es dan menatap ke bawah. “Kau mau melakukannya lebih dulu?” tanya Immanuel.

“Ya!” balas Evan, dari bawah. “Nanti Ethan yang akan melakukannya ketika aku akan membuat makanan.” Lalu sebuah kantung kain berukuran besar melesat dari bawah dan ditangkap Immanuel dengan satu tangan. Dari suaranya yang bergemeletak, sepertinya kantung itu berisi bebatuan. Kemudian kantung kedua melesat mengikutinya, kutebak isinya adalah batang kayu. “Simpan untuk nanti aku membuat perapian,” ujar Evan.

Immanuel mengangguk. Sedangkan aku bertanya-tanya, kapan mereka menyiapkan dua kantung besar berisi batu dan kayu itu? Aku sama sekali tidak menyadarinya.

Immanuel berjalan ke tengah permukaan sambil membawa dua kantung kain besar itu di kedua bahunya. Aku bertanya ketika dia melintas. “Melakukan apa?” tanyaku, mempertanyakan apa maksud pertanyaan pertamanya kepada Evan.

“Berenang sambil mendorong bongkahan ini,” jawab Immanuel. “Kita tidak bisa mengandalkan arus laut. Dan jika ingin memanfaatkan angin, kita harus membuat dulu layar, yang mungkin memakan waktu lebih lama. Yang lebih mudah, cepat, dan efisien adalah dengan berenang sambil mendorongnya. Nanti kami akan bergantian melakukannya sampai ke seberang.”

Aku mengangguk mengerti, lalu kembali bertanya, “Apa tidak akan apa-apa kalian melakukan itu?”

Immanuel menjatuhkan dua benda itu, kemudian berjalan mendekat sambil memegang tanganku. Lalu ia menunduk menatapku. “Tenang saja. Suhu badan kami sama seperti suhu air es. Stamina kami jauh lebih besar dari yang kau kira. Dan kami bisa sambil berburu. Hewan-hewan laut lebih besar dari hewan darat, yang secara teknis lebih banyak mengandung darah.” Dia menutup kalimatnya dengan senyuman.

Aku balas tersenyum dan kembali mengangguk.

Bongkahan es bergerak dengan kecepatan delapan puluh kilometer per jam. Sedikit lebih cepat dari kapal feri besar yang biasanya digunakan orang-orang untuk membelah samudra dan sampai ke benua seberang; Kekaisaran Empiria. Bongkahan es ini cukup besar dan luas. Kira-kira luasnya sekitar lima sampai enam ratus meter persegi. Aku tidak bisa mengira-ngiranya karena permukaannya tidak beraturan. Tapi memang cukup luas, mungkin hampir sama seperti luas rumah dua lantai yang kami sewa di kota Sexo——tiga lantai jika dihitung dengan loteng tempat penyimpanan barang.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang