-II-112-54-

14 5 1
                                    

DI tempat inilah berbagai macam emosi yang aku rasakan pecah sampai aku tidak bisa berkata-kata dalam beberapa saat. Jarum jam terasa berhenti berdetak. Aku merasa berada di alam yang berbeda. Perasaan dan otakku mencoba memproses semuanya untuk memberitahuku kebenaran. Aku menatap sesuatu di tengah-tengah ruangan. Mirip bangsal rumah sakit, tapi miring delapan puluh derajat. Nathan terbaring di atas tempat tidur tersebut. Kedua tangannya terentang, diikat oleh sesuatu yang mirip borgol yang menempel pada ranjang, begitu pula dengan kedua kakinya yang dibuka dan juga terborgol. Tubuhnya dipenuhi oleh bekas tusukan. Dan celana bagian atasnya terbuka sampai bagian paha.

Aku tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan dari wajah atau sorot matanya yang setengah terbuka. Dada dan perutnya saja tidak bergerak naik turun layaknya seseorang yang bernapas.

Apa ini?

Apa yang terjadi pada diriku?

Aku merasa separuh dari jiwaku telah pergi. Tubuhku terasa kosong. Aku merasa seperti kerajinan keramik yang memiliki ruang kosong di bagian dalam. Aku merasa kedinginan. Aku merasa ... matahari tidak akan pernah terbit lagi. Kegelapan akan menyelimuti bumi untuk selamanya. Semuanya akan membeku dalam musim dingin yang tak berujung. Tidak akan ada lagi pelangi. Tidak akan ada lagi cahaya hangat dari mentari pagi. Semua kupu-kupu telah mati. Tidak akan pernah ada lagi bunga yang akan mekar. Tidak akan ada lagi tempat untuk menanti. Zaman kegelapan akan kembali hadir. Napasku menghilang. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menggambarkan kehilangan yang memenuhi ruang kosong di suatu tempat di dalam tubuhku. Aku tidak ingin memandangi diriku sendiri. Aku bahkan tidak ingin lagi melihat hari esok.

Aku hampir terjatuh karena terkejut jika Immanuel tidak sigap menangkapku. Ella mendekat dan ikut menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ethan dan Evan pun terlihat sama terkejutnya. Waktu benar-benar terasa melambat karena kesedihan yang aku rasakan.

Memori tentang Nathan bermunculan silih berganti dalam benakku. Rekaman dari deretan kejadian hadir dalam penglihatanku silih berganti. Dimulai dari saat dia kecil, anak-anak, remaja, dan sekarang. Aku telah menjalani seumur hidup bersamanya. Kami bertengkar layaknya musuh bebuyutan, kami tertawa bersama seperti sahabat yang sedang menikmati hari, tidur bersama, makan bersama, tumbuh bersama. Kami suka sekali berselisih pendapat dan berdebat, tapi kami selalu berbaikan. Bahkan beberapa waktu yang lalu juga seperti itu. Dia memang anak yang rewel dan jarang tersenyum, tapi aku sering melihat dia tersenyum meskipun lebih sering bukan denganku. Versi laki-laki dari wajahku. Semua kenangan itu membuat hatiku semakin sakit. Aku melihat Nathan pergi dalam rintik-rintik hujan dengan kilat dan suara guntur yang menggelar di langit, kejadian itu terjadi ketika dia meninggalkanku di perpustakaan kota. Dia berjalan tanpa adanya satu pun niatan untuk melirikku. Dia menaikkan tudung Hoodie yang dia kenakan di bagian dalam lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket bagian luar untuk meredakan rasa dingin. Aku ingin mengejarnya dan membentaknya untuk tidak pernah meninggalkanku.

Aku merasa seperti ditendang sekuat tenaga oleh seseorang tepat di ulu hati. Aku sampai membungkuk karena merasakan sakit itu. Tangis yang dipenuhi rasa perih, pecah dari mulutku. Tangisan putus asa dan perasaan kehilangan tidak bisa digambarkan dengan jelas. Perasaan itu terlalu gelap untuk dijabarkan.

“Benar-benar keparat,” umpat Evan.

“Apa mereka benar-benar membuatnya membuahi seratus sel telur?” tanya Ethan, ngeri sendiri.

“Tutup mulutmu Evan!” kata Ella.

Aku berlari mendekat ke ranjang itu dan berteriak di wajah Nathan. “Nathan!! Bangun!! Aku di sini!! Nathan!!” Tenggorokanku sampai terasa sakit karena aku berteriak dengan keras. Aku seperti orang bodoh yang berharap orang mati dapat hidup dan berjalan kembali. “Nathan!!”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang