-II-110-52-

20 6 1
                                    

AKU, yang sedang berada di pangkuan Immanuel, tiba-tiba terkulai lemas. Immanuel terkejut dan langsung membawaku ke dalam pelukannya. Di ujung lorong, Ella tiba-tiba berlari mendekati kami. Aku, yang merasa seperti baru saja terbangun dari tidur, langsung menatap sekitar. Prajurit berambut merah itu mengerumuni sesuatu dan tidak menghiraukan kami, seolah ada sesuatu yang lebih penting dari menangkap penyusup. Ethan mendekati kami dengan Evan di bahunya.

“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Ethan, wajahnya terlihat kebingungan.

Ella menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah, tiba-tiba tubuhnya mengejang dan dia terjatuh ke lantai. Lalu asap mulai keluar dari tubuhnya seolah-olah dia terbakar.”

“Apa dia terkena guna-guna?” tanya Ethan.

Immanuel langsung melirikku lagi. “Nathalia, hei.” Matanya bersinar ketika menatapku. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dia cari tahu dari kepalaku?

“El, kenapa hidungnya mengeluarkan darah?” tanya Ella, wajahnya terlihat khawatir.

“Ada trauma di dekat pangkal hidungnya,” balas Immanuel. Dia berusaha agar tubuhku tegak dan merobek celemek di bagian depan tubuhku untuk menutup sebelah hidungku agar tidak mengeluarkan lebih banyak darah.

“Apa mungkin itu efek dari benturan tadi?” tanya Ethan. “Dia tidak mengalami pendarahan otak atau sesuatu yang membahayakan, kan?”

Immanuel menggelengkan kepalanya. “Tadi aku sudah melihatnya, dia tidak mendapatkan trauma yang berarti di kepala. Hanya di beberapa tempat di bagian punggungnya. Tapi seharusnya trauma itu tidak membuatnya sampai mimisan ...” Lalu Immanuel terdiam seolah menyadari sesuatu.

Ella seperti mengetahui apa yang Immanuel pikirkan. Dia melirik ke arah kerumunan vampir dan aku silih berganti. “Apa Nathalia yang telah melakukan itu pada Paman Matthew?”

Immanuel tidak menjawabnya, dia memilih memanggil-manggil namaku dan mengusap pipiku. Tapi aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku untuk merespons tindakannya. Apa aku lumpuh mendadak?

“Sebaiknya kita memanfaatkan kejadian ini dan pergi,” ujar Ethan.

Namun ketika kami bersiap-siap untuk pergi. Mendadak gerombolan prajurit Matthew datang dari segala arah. Jumlahnya tidak bisa aku hitung. Sangat banyak. Semua lorong dipenuhi mereka. Ethan berdecak kesal. Immanuel mengatupkan rahangnya. Mereka mendesis ke arah kami seperti puma. Immanuel, Ella, dan Ethan balas mengeluarkan suara itu. Kami benar-benar terjebak. Tidak ada celah untuk melarikan diri. Kami sudah putus asa.

Cahaya terang menyilaukan muncul dari arah lift. Sedikit demi sedikit aku bisa menggerakkan tubuhku. Dua orang yang aku kira tidak akan pernah membantu kami tiba-tiba berdiri di depan kami. Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka datang, tapi mereka seperti malaikat penyelamat. Mereka berbalik, satu di antaranya tersenyum hangat.

“Yeah!” kata Ethan, berseru senang.

Ella langsung memeluk salah satu dari mereka. “Kukira kalian benar-benar tidak akan membantu kami,” katanya.

“Kami harus membuat persiapan,” kata Max, balas memeluk Ella penuh kasih sayang. Lalu dia menggerakkan pedangnya seolah memberi isyarat bahwa dia harus mengambil benda itu terlihat dahulu, lalu dia melirik Mariah.

“Excalibur!” kata Ethan, semakin antusias.

Dua orang itu adalah Max dan Mariah. Mereka membawa senjata-senjata yang tidak aku kenal. Max membawa pedang yang panjang dan besar, bilahnya bersinar terang seperti cahaya matahari. Ethan mengatakan Excalibur, apa mungkin itu adalah pedang legendaris dari Britania raya? Sedangkan Mariah membawa sesuatu yang mirip senter besar, tapi bentuknya lebih rumit.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang