-II-082-24-

50 9 2
                                    

LANGIT sedang dihiasi purnama ketika aku memilih berjalan mendekatinya yang berada di luar. Aku baru tahu jika ada sebuah kolam besar di halaman belakang rumah. Aku tidak menyebutnya danau karena tidak terlalu besar, kurang cocok disebut danau. Ketika langkahku tinggal beberapa meter dari dermaga kecil itu, dia berbalik ke arahku. Aku terkejut ketika menatapnya. Bukan karena dia yang mengetahui keberadaanku——aku sudah tahu dia pasti mendengar dan merasakan kehadiranku. Yang membuatku terkejut adalah iris matanya yang berwarna emas menyala, seolah ada cincin emas yang berkilauan di matanya. Seperti dejavu, aku pernah melihat mata itu sebelumnya.

“Em, boleh aku bergabung denganmu?” tanyaku, sedikit tergagap karena gugup.

Dia mengalihkan pandangannya dariku. Memilih menatap permukaan air yang tenang. Aku asumsikan bahwa dia memperbolehkanku mendekatinya. Aku pun naik ke dermaga dan bersandar di pagar, seperti dirinya. Jarak kami sekitar satu setengah meter.

Dia seperti sebuah patung. Tidak sedikit pun bergerak dari posisinya kaku. Kepalanya sedikit menunduk menatap air. Karena dia seperti tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara, aku berusaha membuat diriku sendiri berani untuk memulai percakapan. Mungkin kami bisa saling memahami jika kami mengobrol dari hati ke hati. Namun aku takut padanya. Dia memang sangat cantik, tapi aura yang terpancar dari dirinya memancarkan hal berbeda. Kakiku gemetar dan aku bisa merasakan setiap keringat yang mengucur di garis punggung dan pelipisku, padahal udara malam pedesaan seharusnya membuatku nyaman atau kedinginan, bukan berkeringat seperti sekarang ini. Aku mengumpulkan keberanianku untuk menghadapi rasa takut. Oke, sekarang atau tidak sama sekali.

“Em ... pemandangannya indah,” kataku. Suara yang keluar sedikit bergetar dan aku tercekat. Aku tidak tahu topik apa yang harus aku pilih untuk membuka obrolan dengannya.

Dia masih tidak bergerak.

Oke, Nathalia. Pikirkan topik obrolan yang lain. Aku memutar otak dan mencoba membuat kata pembuka yang baru. “W-wah, se-sekarang sedang bulan p-p-purnama.” Sial, aku malah gagap.

Dia masih tidak menghiraukan aku. Padahal seharusnya orang kebanyakan akan tertawa ketika mendengar kalimat lucu yang keluar dari orang lain. Aku benar-benar memalukan.

Sepertinya aku tidak akan bertahan lama jika seperti ini terus. Aku memutuskan untuk tetap diam dan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan. Aku menatap air danau, mencoba menemukan sesuatu yang menarik di sana. Sampai aku menemukan pantulan wajah kami. Aku menatap wajah Mariah yang diterpa sinar bulan dari pantulan air kolam yang gelap. Dia mungkin sedang bersamaku, di sini. Tapi dari sorot matanya yang berwarna emas, dia sedang berkelana jauh mengarungi pikirannya yang dalam. Dia sedang melamunkan sesuatu. Menyadari itu, aku ingin mengungkapkan sesuatu juga padanya. Aku menggigit bibir sambil meliriknya dari samping, berusaha mengumpulkan kembali keberanian untuk mengajaknya berbicara.

“Aku minta maaf, jika karena diriku kau jadi bertengkar dengan Immanuel dan Max,” kataku. “Aku tidak bermaksud tiba-tiba hadir di kehidupan tenang kalian. Aku juga tidak menginginkan hal ini tiba-tiba terjadi padaku. Tapi aku juga tidak akan mau mempertaruhkan kesedihan seseorang untuk membantu kepentinganku sendiri. Aku tidak berhak memaksamu untuk membantuku. Bahkan aku tidak berhak mendapatkan pengorbananmu. Tidak akan ada yang kau dapatkan juga karena telah membantuku. Itu hanya akan membuatku berhutang budi yang sangat besar, mungkin tidak akan pernah bisa aku bayar.” Aku berusaha mati-matian untuk tidak tercekat atau gagap, dan aku bersyukur karena aku berhasil mengatakan semua itu dengan sempurna.

Ketika aku akan pergi meninggalkannya, dia malah tersenyum miring. Seolah apa yang aku katakan adalah hal paling lucu sedunia, atau sebenarnya dia sedang meremehkan aku. Sontak aku berhenti dari apa yang aku lakukan dan menatapnya. “Apa ada yang salah?”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang