-II-073-15-

59 11 0
                                    

SEHARIAN penuh mobil hening. Tidak ada satu pun yang memulai obrolan kecuali permintaan berhenti untuk ke toilet, dan Immanuel yang beberapa kali meminta Evan untuk mampir ke layanan tanpa turun di beberapa restoran untuk mengganjal perut——perutku, tepatnya. Mereka harus puasa dulu meminum darah sampai kami sampai di tujuan; tempat tinggal sepupu Immanuel dan Ella yang bernama Max dan Mariah.

Ella memandang ke luar jendela. Sekarang sudah malam, tidak banyak pemandangan indah yang dapat dilihat. Sedangkan tadi siang, aku disuguhi banyak pemandangan dari padang rerumputan luas, kandang peternakan domba atau sapi, rumah-rumah tradisional warga yang terbuat dari pohon pinus, beberapa kali melintasi pemandangan kota yang cukup besar dan canggih di beberapa distrik, keluar masuk cincin benteng. Kekuasaan kerajaan Kandania memang cukup luas. Jika dilihat dari peta dunia, bentengnya berbentuk seperti huruf L besar terbalik dengan sisi panjangnya menunjuk ke arah barat. Dengan total penduduk kurang dari lima belas juta, kerajaan Kandania terbilang terlalu luas untuk digarap oleh penduduknya, itu sebabnya jalanan di sini terbilang sepi. Kerajaan Wesfiw saja memiliki lebih dari sepuluh juta penduduk, dari delapan kota penyangga ibukota kerajaan. Luas kerajaan kami terbilang pas untuk dimanfaatkan penduduk sebanyak itu——yang tepatnya sepertiga dari luas kerajaan Kandania. 

Sejak tadi Ella duduk tanpa banyak bergerak, bahkan tarikan napasnya pun tidak terlihat. Aku sempat berpikir dia membatu. Evan sibuk menyetir, dan Ethan masih sibuk dengan konsol permainan video. Beberapa kali dia mendesah kalah dan kesempatan lainnya berkata “yes” dengan penuh semangat. Beberapa kali yang lainnya dia berdecak kesal lalu mengganti baterai konsol permainan video itu sambil menggerutu. Sedangkan Immanuel sesekali tersenyum dan memintaku untuk tidur saja, perjalanan kami masih tersisa sekitar 30 jam, katanya. Sebenarnya bisa lebih cepat jika kami menggunakan kereta bawah tanah, tapi Evan khawatir jika ayahku sudah menyebar fotoku ke kerajaan Kandania, untuk memperkuat pencariannya. Cukup berisiko untuk berada di tempat umum. Aku sudah merasa menjadi buronan. Jadi kami pun memutuskan untuk menggunakan mobil pribadi dan tidak sering-sering mampir ke tempat-tempat ramai.

Meskipun Immanuel menyuruhku tidur, tapi aku belum begitu mengantuk. Apalagi tidur selalu menyuguhkan mimpi-mimpi buruk yang membuat jantungku selalu berdegup kencang ketika bangun. Sudah dua kali berturut-turut aku terbangun dari tidur dengan perasaan tegang. Itu tidak membuatku tidak terlalu merasa nyaman ketika jatuh terlelap.

Aku teringat sesuatu. “Evan.”

Ia melirikku dari kaca spion tengah. “Kau ingin buang air?” Lalu ia melihat ke layar kecil yang menunjukkan peta. “Tahan dulu, toilet terdekat jaraknya masih satu setengah kilometer.”

“Atau kau lapar?” tanya Immanuel, sambil  menunduk ke arahku mendekatkan wajahnya.

“Tidak,” kataku, untuk menjawab kedua tuduhan mereka. “Waktu itu Evan pernah bilang, jika saat itu belum gilirannya bercerita. Apa sekarang aku boleh mendengar ceritanya?”

Evan beralih melirik Immanuel dari kaca spion tengah. Aku tidak dapat melihat sorot matanya karena terhalang kacamata hitam ——aneh bukan? Manusia mana yang mengenakan kacamata hitam di malam hari seperti sekarang? Namun aku mengartikan lirikannya itu, yang mengarah kepada Immanuel, sebagai tanda apakah dia boleh menceritakan kisahnya?

Aku mendongak menatap Immanuel untuk melihat reaksinya, tapi dia sedang melirikku, sehingga pandangan kami saling bertemu. Lalu Evan berkata, “Baiklah.” Seraya mengembuskan napasnya dengan panjang. “Kau mau tahu tentang yang mana?”

Aku memutar otak untuk menjawab pertanyaannya, Immanuel belum pernah bercerita tentang latar belakang Evan selain dia adalah sepupunya, anak dari adik ibunya. Tapi aku teringat jika Ethan pernah menyinggungnya sebagai prajurit, jadi itu saja yang aku katakan. “Apakah kau benar-benar pernah menjadi seorang prajurit?”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang