-II-095-37-

40 8 1
                                    

EVAN naik ke permukaan dan mendekati kami. Aku dan Immanuel sedang duduk di ujung gletser, menatap hamparan lautan dingin. Ella sedang menggambar di buku sketsanya, dan Ethan sedang memainkan lagi konsol permainan video sambil terlentang.

“Giliranmu,” kata Evan. Tubuhnya basah dan berkilauan, dua kali lebih indah dari jutaan permata kecil yang diterpa cahaya matahari.

Ethan berdecak. “Sebentar lagi.”

“Kau tidak akan mendapatkan makan siang.”

Ethan menggeram marah. “Perusak kesenangan orang.” Sambil menyimpan konsol permainan video dan membuka pakaiannya dengan kesal.

Aku ingin mendekatinya dan meminta maaf karena aku telah mengganggunya dalam misi ini. Namun sebelum mengatakan itu, Ethan tidak sengaja melirikku yang sedang berbalik menatapnya.

Ekspresi wajahnya yang terlihat kesal berubah melunak. “Maaf Nathalia. Aku tidak bermaksud menyinggung ...” Dia melirik Evan yang sedang melotot untuk meminta bantuan. “Pokoknya aku minta maaf atas kelakuanku. Aku berharap kau mengerti dan tidak memasukkan segala yang aku katakan ke dalam hati. Maaf.” Lalu dia berjalan ke bibir bongkahan es dan melompat turun.

“Maaf Evan, membuatmu harus memaksa Ethan. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan tapi——“

Evan memotong kata-kataku. “Nathalia, sudah berkali-kali aku mengatakan jika tidak apa-apa. Kau tidak perlu menyalahkan dirimu terus menerus. Kami senang berada di sini untuk membantumu. Begitu pula dengan Ethan. Dia seperti itu hanya karena aku mengganggu permainannya. Itu bukan masalah besar. Mulai dari sekarang, jangan buat dirimu sendiri dipenuhi perasaan negatif yang kau buat sendiri. Kau sudah cukup mendapatkan perasaan negatif dari kehilangan saudara dan meninggalkan keluarga. Tapi, kau juga bisa membuat itu sebagai bahan bakar agar kau tetap optimis. Mengerti?” Seraya tersenyum memberikan semangat.

Ella tersenyum riang sambil memperlihatkan sketsa barunya, berupa gambar diriku dan Immanuel yang sedang duduk di bibir bongkahan es dari arah belakang. Lalu gambar keduanya, kami berbalik sambil tersenyum bahagia. Dalam sketsa itu, aku dan Immanuel terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati waktu bersama.

“Jangan khawatirkan itu,” ujar Immanuel. “Ethan adalah tipe orang yang tahu keinginannya. Dia tidak akan melakukan sesuatu jika tidak menginginkannya. Dan berada di sini untuk membantu kita adalah kemauannya sendiri. Dia hanya seperti itu karena konsol permainan video.”

Aku mengangguk mengiyakan. Berada di situasi semacam ini membuatku menjadi sering terbawa perasaan atas perilaku orang-orang. Aku juga kadang tidak mengerti kenapa aku terus menerus merasa telah merepotkan mereka. Mungkin karena aku merasa tidak berguna di sini. Aku merasa seperti beban bagi mereka.

Bongkahan es yang berhenti kembali melaju dengan kecepatan yang sama. Evan langsung sibuk dengan kegiatannya untuk membuat dapur dadakan dan membuka masakan makan siang. Langit masih cerah ketika mendekati tengah hari meskipun tidak memberikan kehangatan.

Menu makan siang kali ini tidak berbeda jauh dari menu sarapan. Berupa daging ikan salmon yang sedikit dipanaskan dan dimakan bersama kecap asin. Katanya, Evan memilih memasaknya untuk memberikan sensasi hangat. Dan lagi, di cuaca seperti ini, bukan ide bagus memakan masakan mentah dengan suhu yang renda.

Setelah selesai, Evan membersihkan semua alat makan lalu kembali turun ke bawah untuk menggantikan Ethan. Dia mungkin terlihat keras dan cuek, tapi Evan tetap terlihat seperti seorang kakak laki-laki yang tidak ingin merepotkan adiknya. Dia menjadi orang terlama yang mendorong bongkahan ini. Hanya berhenti mendorong ketika akan memasak dan Ethan yang akan menggantikannya selama itu, tidak lama, paling sembilan puluh menit. Immanuel pernah mengajukan diri untuk menjadi pendorong, menggantikan mereka berdua, tapi Evan berkata, “Tidak apa-apa, aku bisa. Nathalia lebih membutuhkanmu di atas sini.”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang