-II-103-45-

31 6 0
                                    

“NATHALIA, bernapas,” ujar Immanuel, suaranya lembut dan terdengar khawatir.

Aku terbangun sambil menggigil padahal keringat membasahi wajahku. Dadaku turun naik, mencoba memasukkan oksigen ke dalam paru-paru. Aku terasa seperti baru saja diselamatkan oleh seseorang karena hampir mati tenggelam.

“Diminum dulu, ini air hangat,” ujar Immanuel, dia mendekatkan cangkir stainles berisi air hangat padaku.

Aku menyeruputnya beberapa teguk, lalu bertanya, “Apa yang terjadi padaku?”

“Kau tertidur,” jawabnya. “Kupikir kau mimpi buruk lagi.” Matanya kembali bersinar seperti semalam. “Tekanan darahmu naik dan otot tubuhmu tegang. Pasti karena suhu yang dingin, mimpi burukmu jadi terasa lebih menyiksa.”

Padahal aku hampir tidak ingat apa yang aku alami sampai menjadi seperti ini. Tapi berkat penjelasannya, aku ingat aku baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi yang terasa nyata karena berupa ketakutanku berdasarkan fakta sesungguhnya. Aku membohongi semua orang, dan ada kemungkinan aku akan mendapatkan hasil semacam itu, seperti yang digambarkan alam bawah sadarku. Kejadian yang paling tidak aku inginkan. Tapi aku tidak mengerti apa arti dari adegan Nathan. Aku hanya berusaha menyelamatkannya sekarang, aku tidak melakukan hal lain. Apa dia marah karena diselamatkan oleh musuh alaminya? Tapi seharusnya itu tidak menjadi masalah yang sangat serius. Toh jika dia diselamatkan dan berhasil hidup, dia memiliki kesempatan untuk mematahkan leher Immanuel seperti keinginannya ... apa yang baru saja aku pikirkan?

Aku kembali menyeruput air hangat yang dipegang Immanuel. Berusaha membuat tubuhku rileks oleh air hangat yang melebarkan pembuluh darah.

“Mimpi buruknya kembali lagi,” kata Immanuel. “Tapi sepertinya kau cukup berhasil mengendalikan diri karena tidak menangis.”

“Aku tidak merasa bahwa ini adalah kemajuan,” balasku. “Poinnya tetap aku bermimpi buruk.”

“Menghilangkan mimpi buruk tidak semudah menghilangkan jerawat yang bisa sembuh dengan salep, bisa dicegah dengan menjaga kebersihan dan merawat kulit, juga memperhatikan apa yang kau makan,” jelas Immanuel. “Semuanya perlu waktu. Dan setelah pergi, mimpi buruk itu bisa kembali sewaktu-waktu tanpa peringatan. Kau hanya harus tahu bagaimana mengambil sikap ketika menghadapinya.”

Aku menatap dulu air hangat yang sedang mengepulkan asap sebelum menatapnya dan bertanya, “Sikap seperti apa yang seharusnya aku ambil untuk menghadapinya?”

“Sikap tenang,” jawab Immanuel, tersenyum manis sekali menyemangatiku. “Kau hanya perlu menanamkan kembali rasa percaya bahwa itu hanya mimpi, bunga tidur, tidak memiliki hubungan secara langsung terhadap apa yang terjadi di alam sadar. Mimpi adalah hal yang abstrak, tidak bisa dijabarkan hanya dengan melihat satu potongan adegan yang muncul.”

Aku menganggukkan kepala, berusaha mencerna setiap penjelasan yang dia utarakan di tengah-tengah pikiranku yang belum sepenuhnya utuh. Aku menghabiskan air hangat yang terasa menyegarkan tubuhku yang kaku. Sebenarnya tenda tidak terasa seperti bisa membuatku kaku akibat suhu dingin karena di dalam sini terasa hangat. Namun aku berani bertaruh, udara di luar tenda pasti bisa membekukanku.

Aku baru menyadari jika aku tidur di dalam kantong tidur di dalam sebuah tenda, padahal aku tidak ingat mereka mendirikan sebuah tenda semalam. Aku jadi teringat akan sesuatu yang mengejutkan sebelum aku jatuh terlelap. Sebuah fakta baru yang tidak aku ketahui sebelumnya.

“Kau ingat apa yang pernah aku katakan saat di rumah Max dan Mariah soal kemampuan kami dan Immanuel yang tidak bisa menembus katedral?” tanya Evan.

Aku mengangguk, aku mengingat itu. Mereka tidak bisa mengetahui apa yang ada di dalam katedral karena penglihatan mereka seperti terhalang sesuatu. Katanya itu disebabkan oleh salah satu bahan yang digunakan oleh Matthew ketika membangun katedral, yang katanya berasal dari sebuah komet yang menghantam bumi. “Kemampuan kalian yang mirip seperti kemampuan kelelawar dan paus beluga?”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang