-II-079-21-

52 10 1
                                    

SUASANA di dalam rumah benar-benar nyaman dan hangat. Semua perabotan terbuat dari kayu yang menampilkan serat dan motif-motif khas. Aku dan Immanuel duduk di set sofa kayu pinus yang dilapisi berbagai bulu tebal yang empuk. Ruang tamunya sangat luas dan langsung menyatu dengan meja makan besar juga dapur bersih. Berbagai macam alat bermain kucing berada hampir di semua sudut ruangan. Tangga menuju lantai dua berada di sisi lain dinding. Aku tidak tahu ruangan apa lagi yang ada di lantai satu, aku merasa tidak sopan jika berkeliling, hanya saja rumahnya dipenuhi kucing besar persilangan dari dua ras. Aku hitung-hitungan, jumlahnya mencapai dua puluh lima, yang aku lihat. Cukup sulit membedakan mereka di tengah-tengah warna mereka yang hampir serupa. Ada yang sedang berguling-guling, tidur di sofa, duduk menatap kami, berjalan-jalan sambil menggesek-gesekkan tubuh mereka ke barang atau kaki kami, ada yang sedang mengasah kuku di kayu yang sudah disediakan, dan ada juga yang sedang bermain saling gigit.

Seperti menyadari arah tatapan mataku, Immanuel berkata, “Max sangat menyukai kucing.”

“Dan karena kami tidak memiliki anak, kami bisa mengurus kucing sampai puas,” lanjut Mariah, yang berjalan mendekat sambil membawa teh hangat dengan madu. “Atau, mungkin mereka bisa kami jadikan camilan.”

“Bukan tidak memiliki anak, tapi belum,” balas Immanuel. “Ayahku berkata jika kalian akan memiliki anak kan, tapi waktunya belum bisa ditentukan. Mungkin butuh lebih banyak kesabaran.” Seperti biasanya, Immanuel selalu bersikap positif dan ramah.

Mariah tidak menghiraukan kata-katanya. “Silakan diminum.” Lalu duduk di kursi lain. Wajah dan nada suaranya masih tidak menunjukkan empati padaku. Ngomong-ngomong dia hanya membawa satu gelas teh saja.

Aku melirik Immanuel.

“Aku hanya membuatkannya untukmu karena mereka semua tidak membutuhkan minuman semacam ini,” katanya, seperti dapat menangkap apa yang ingin aku tanyakan. “Tenang saja, aku tidak menambahkan darah ke dalam minumanmu.”

Aku mengambil teh tersebut dan mulai menyeruputnya. Rasanya enak dan membuatku ingin terus meminumnya sampai habis.

Mungkin karena wajahku sedikit agak pucat ketika mendengar kata-katanya yang mengatakan jika mereka kadang menyantap kucing peliharaan mereka sendiri untuk camilan, Immanuel langsung memberikan penjelasan, “Tadi Mariah hanya bercanda soal menyantap kucing peliharaan mereka sendiri untuk camilan. Mereka lebih penyayang dari kelihatannya.”

Aku baru bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasannya. Kemudian mengangguk-angguk.

Immanuel pun kembali menjelaskan tentang mereka, “Karena sebenarnya Max memang menyukai hewan-hewan semacam kucing dan semacamnya, dia bahkan pernah memelihara harimau, singa, dan macan tutul salju. Tapi setelah itu Mariah melarangnya karena mereka ingin tinggal di permukiman manusia.” Sambil tersenyum ramah meskipun Mariah masih memperlihatkan wajah masam.

“Tidak baik jika makhluk buas memelihara hewan buas di tengah-tengah masyarakat. Kami sudah cukup buas untuk manusia.” Kata-katanya seperti sebuah sarkasme akan sesuatu.

“Mariah dan Max sama seperti kami yang tinggal berpindah-pindah. Terhitung mereka sudah pindah sepuluh kali selama seratus tahun terakhir ini di tiga kerajaan,” jelas Immanuel, lagi.

“Dia tidak bisa bicara atau kalian berkomunikasi dengan telepati?” tanya Mariah.

“Dia mungkin masih kelelahan karena sudah menempuh perjalanan cukup panjang dua hari terakhir ini.” Immanuel melirikku dan mengusap tanganku yang dia pegang.

Mariah menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kau benar-benar mengalami zing dengan gadis ini?”

Immanuel mengangguk senang. “Kami bertemu pertama kali di perpustakaan.”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang