-II-072-14-

61 11 5
                                    

AWALNYA aku bingung harus menjawab pertanyaan Immanuel bagaimana. Aku tidak memikirkan pendapat dari sudut pandangku sebagai perempuan. Maksudku, sebenarnya dilihat dari sudut mana pun, aku akan jauh lebih setuju dengan pendapat Ethan tentang perempuan yang tidak pantas diperlakukan rendah dengan menjadikannya istri kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi itu juga bukan urusanku. Aku hanya tidak terima jika itu terjadi kepadaku dan kepada perempuan-perempuan lainnya yang memang tidak rela dan tidak menginginkan suaminya memilih lebih dari satu istri. Namun, di luar sana, pemikiran setiap perempuan kan berbeda. Aku tidak akan pernah menyalahkan perempuan yang memang membebaskan hal-hal semacam itu kepada suaminya, yang dapat berbesar hati terang-terangan menerima pembagian status ratu yang diberikan kepada orang lain selain dirinya. Menurutku mereka adalah perempuan hebat, sabar, atau bodoh.

Parahnya, aku tidak bisa mengatakan semua itu dengan lancar. Lidahku seperti kelu dan tubuhku serasa membeku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang keluar dari mulutku malah, “Manurutku?”

“Ya, aku ingin tahu bagaimana cara pandangmu akan hal itu?” Immanuel menyantap suapan terakhirnya.

“Aku pikir ...” Aku memilih meminum air mineral terlebih dahulu sebelum menjawab, tenggorokanku terasa kering. “Setiap perempuan boleh memilih apa pun, yang menurut mereka adalah tindakan yang baik dilakukan. Termasuk menjadi hanya satu-satunya istri, atau memberikan izin kepada suaminya untuk memiliki lebih dari satu istri, atau menjadi istri ke sekian dari seorang pria. Dan seorang pria atau suami, harus menghormati pilihan yang dipilih oleh si perempuan.”

Immanuel tersenyum, wajahnya seolah menunjukkan kepuasan. “Dan kau, perempuan yang seperti apa?”

“Aku?” tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.

Immanuel mengangguk-angguk kecil untuk mengiyakan.

Aku menarik napas dalam-dalam, tubuhku seperti limbung karena kekurangan oksigen. Rasanya pembicaraan ini masih terbilang cukup ringan untuk dijawab tanpa berpikir. Tapi untuk orang yang sering miliki pikiran berlebihan sepertiku, semua pertanyaan selalu terasa sulit aku jawab. “Hhhmmm ... mungkin—“ Aku menelan ludah dengan susah payah, tenggorokanku jadi mudah mengering, padahal aku baru saja minum. “—aku tipe perempuan yang hanya ingin menjadi satu-satunya istri.”

Syukurlah hanya itu yang keluar dari mulutku. Karena ada lanjutan dari kalimat itu yang berbunyi, “dari entah berapa suami.” Maksudku, aku belum benar-benar bisa memutuskan untuk saat ini. Bahkan aku belum berpikir untuk menikah dalam waktu dekat atau bahkan sampai tujuh sampai sepuluh tahun ke depan. Namun, aku juga takut menolak mereka berdua. Aku belum siap untuk kehilangan keduanya. Sangat sulit menemukan laki-laki seperti Gio atau Immanuel. Aku mulai lagi, padahal belum tentu mereka berdua menginginkan aku jadi istri mereka. Immanuel mungkin, tapi Gio ... sudahlah! Aku ingin membentak diriku sendiri karena pikiran-pikiran semacam ini.

Immanuel tersenyum. “Aku juga tipe laki-laki yang hanya ingin memiliki satu istri.” Immanuel terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan perkataannya tanpa senyuman. “Aku tidak mau kau termakan kata-kata Ethan. Apa yang terjadi dan yang dilakukan oleh kakekku, tidak harus selalu aku ikuti. Aku memiliki hak untuk memilih. Termasuk tidak menjadi seperti dirinya.“

Aku senang dia mengatakan itu.

“Maksudku, akan selalu ada kemungkinan.” Aku hampir tersedak karena kalimat tersebut. “Tapi aku sudah berkomitmen, dan aku tidak akan mencoreng komitmen yang aku buat.” Aku bernapas lega.

Heran, kenapa dia selalu membuatku naik turun seperti ini. Sejak kami bertemu dan berinteraksi, dia selalu membawaku terbang lalu terjatuh. Apa ini sebuah pertanda? Tidak, tidak mungkin, aku tidak mau menyangkut-pautkan semuanya dengan pertanda. Itu hanya akan membebani kami, khususnya aku.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang