-II-092-34-

33 7 0
                                    

IMMANUEL tersenyum lebar, seolah dia baru saja mendengar sebuah lelucon yang paling lucu sedunia.

“Apa yang lucu?” tanyaku. “Aku serius.”

“Tidak mungkin aku mengajakmu berenang di samudra yang suhunya hampir mendekati titik beku dengan jarak ratusan kilometer,” jawab Immanuel, masih tersenyum. “Kau bisa mati terserang hipotermia dalam beberapa menit.”

“Lalu?” tanyaku. “Kalian akan pergi berenang dan meninggalkanku sendiri? Di sini.” Sambil melihat pemandangan sekitar. "Di tempat ini?"

“Tidak akan, Ella akan tetap bersamamu,” balas Immanuel. Dia melepaskan sepatu dan kaus kakinya sambil melirik Evan yang sudah kembali bertelanjang dada. “Evan.”

Evan berjalan mendekat sambil berkata pada Ethan, “Kenapa kau masih memainkan benda itu? Cepat buka bajumu.”

Ethan berdecak kesal. “Aku masih belum menyelesaikan permainanku.”

“Cepat simpan atau aku akan melemparkan benda itu ke wajahmu,” ancam Evan. Sekarang dia terlihat seperti seorang kakak laki-laki yang suka memerintah. Aku jadi teringat Nathan, meskipun dia adalah seorang adik, tapi dia yang lebih sering memerintah dibandingkan aku ... Sebenarnya Ayah yang lebih sering memerintahnya, terutama yang menyangkut soal diriku.

Ethan berdecak kesal sambil menyimpan konsol permainan video itu dan ikut bertelanjang dada.

Aku masih dilanda kebingungan. Aku sudah terbiasa dengan laki-laki telanjang, tapi melihat seseorang yang kau sukai telanjang cukup membuat otakku melambat. “Kalian pergi tanpa kami?” tanyaku, sedikit terbata karena jengah.

“Kau tidak mungkin ikut berenang, Nathalia,” jawab Evan.

“Di sebelah mana?” tanya Immanuel, pada Evan.

Evan menunjuk ke salah satu arah. “Agak jauh, tapi cukup tebal, umurnya sekitar dua ratus tahun, tidak akan mudah mencair.”

Immanuel mengangguk. “Oke, ayo pergi.” Lalu mereka bertiga melompat ke dalam air secara bersamaan dan tidak pernah muncul ke permukaan seperti layaknya manusia yang menyelam dan membutuhkan oksigen.

“Mereka pergi ke mana, Ella?” tanyaku, dengan ekspresi yang tidak dapat aku bayangkan. Aku terkejut, bingung, terkesima, dan sedikit kesal. Kenapa mereka pergi tanpa kami?

“Mencari gletser,” jawab Ella, dia membawa beberapa tas ke atas bebatuan yang lebih tinggi dengan sangat cepat.

“Gletser? Untuk apa?” Aku menanyakan itu ketika Ella sudah melesat pergi. Tapi dia mendengarnya dengan baik seolah-olah kami berjarak sangat dekat.

“Untuk dijadikan sebagai perahu,” jawab Ella, ketika kembali dan meraih beberapa ransel untuk kembali dia bawa. “Seperti yang Immanuel katakan, kau tidak mungkin menyeberangi samudra Arktik dengan berenang, kan? Jadi kita membutuhkan perahu.”

Wajahku melunak. “Kapan kalian membicarakan hal ini? Seingatku kita belum pernah membicarakannya?” Aku kembali menanyakan pertanyaan itu ketika Ella sudah berlari menghilang.

Ella kembali datang sambil berkata, “Sedari awal kami sudah merencanakan ini. Untuk sampai ke markas pamanku, Matthew, kami harus menyeberangi samudra Arktik. Dan karena kami membawamu, kami tidak mungkin berenang untuk sampai ke seberang. Kami membutuhkan perahu. Immanuel awalnya berniat membawa perahu kayu saja dari tempat Max, tapi aku pikir itu akan menghambat perjalanan yang akan kita tempuh. Dan Evan memiliki ide yang lebih baik. Dia pikir mungkin kita bisa memanfaatkan gletser yang kuat untuk dijadikan sebagai perahu. Jadi pendapatnya yang kami pilih.” Ella mengangkatku ke pangkuannya. Itu membuatku sedikit terkejut. “Pegangan,” ujarnya.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang