Sudah satu minggu Irene terbaring di ranjang pesakitan itu dengan selang dihidungnya masih tertancap sebagai alat bantu pernafasan. Sejak boleh di dampingi, tidak sekalipun Timy meninggalkan Irene dari sisinya. Bahkan ia tidak menengok bayinya yang baru lahir dan meminta perawat untuk mengurus new born nya itu. Karena Barbara sibuk mengurus si kembar di rumah.
"Sayang, bayi laki-laki kita berparas tampan tapi memiliki raut wajah persis dirimu. Apa kau tidak ingin melihatnya sejenak? Apa kau tidak ingin memberinya asi? Sejak pertama lahir, ia distimulasi, itu terakhir kalinya ia meminum asi. Sekarang gizinya dipenuhi oleh susu formula" ya, mencoba memompa asi Irene malah menghasilkan susu bercampur darah, dan berakhir sejak itu Timy tidak mengizinkan hal itu lagi.
"Sayang, kalau kau ingin melihat bayi kita bagaimana kalau nanti setelah ia mandi sore aku meminta perawat untuk mengantar dia ke sini? Ah, aku juga sudah menyiapkannya nama. Kau yang menyiapkan nama si kembar dan aku yang menyiapkan nama baby boy, begitu kan perjanjian kita? Tapi aku akan memberitahu semua orang apa nama yang ku pilihkan untuk bayi laki-laki kita nanti, setelah kau bangun dan menyetujuinya. Tentu saja kau ibunya dan kau yang berhak mendengar nama indah itu untuk pertama kali bukan?" Timy memang selalu mengajak Irene berbicara karena percaya bahwa Irene akan mendengar suaranya dan membuat Irene berkeinginan untuk sadar.
"Aku jamin kau akan meminta satu anak laki-laki lagi setelah lihat wajah bayi kita. Tapi aku tidak akan membiarkanmu untuk hamil lagi. Maaf ya, saat itu aku egois. Padahal kau sudah menolak untuk memiliki anak lagi dan aku sudah menyaksikan bagaimana perjuanganmu melahirkan si kembar. Tapi aku malah mencobaimu lagi dan berakhir seperti ini" Timy menangis di sisi kasur menumpukan matanya di atas tangan Irene.
"Aku menyesal memaksamu untuk hamil lagi. Apa kau juga menyesal melahirkan bayi kita?" Timy sibuk menangis membayangkan bagaimana harinya tanpa Irene jika ia harus kehilangan.
Tapi perasaan geli tiba-tiba muncul di atas kepalanya ketika sentuhan jari lemah itu perlahan mengusap kepalanya. Siapa lagi kalau bukan istrinya?
"Siapa bilang aku menyesal? Aku bahagia hidup bersamamu dan melahirkan anak-anak kita. Kau tidak memaksaku, ini kesepakatan kita bersama" itu Irene, yang tangan kirinya menjadi tumpuan Timy dan tangan kanannya mengusap kepala Timy untuk meyakinkan suaminya.
Seketika Timy tersadar dan terlonjak kaget. Irene? Istrinya? Sudah siuman? Ia segera memencet tombol agar dokter datang ke kamar Irene dan Timy segera memeluk sayang istrinya itu dengan tatapan kagum, haru, sedih, bangga, bercampus semua. Tak lupa Timy mencium seluruh bagian wajah Irene sambil mengucap terima kasih, entah pada Irene dan juga pada pencipta semesta yang sudah memberinya kesempatan entah keberapa kali untuk kembali melihat mata indah milik istrinya dan untuk menjaga hidup malaikat tak bersayap miliknya ini.
"Terima kasih, terima kasih sudah kembali sayang" tidak lama setelah itu, dokter sudah datang dan mengecek keadaan Irene.
"Selamat Bu Irene sudah bangun dari tidur panjangnya, mungkin badan anda akan terasa pegal atau bahkan sulit digerakkan. Nanti kita akan bantu untuk fisioterapi jika memang dibutuhkan. Baby akan segera datang ke sini untuk bertemu dengan mommy nya" jelas dokter yang diangguki Irene dan sekarang oksigen di hidungnya sudah resmi di lepas.
Setelah dokter dan perawat keluar dari kamar Irene. Ia kembalj memusatkan perhatiannya pada sang suami.
"Jadi siapa nama bayi tampan kita?" Tanya Irene antusias.
"Kau bisa menggantinya jika tidak suka, aku hanya mengusulkan" ujar Timy ragu-ragu.
"Tidak apa sayang beritahu aku" Irene terdengar tidak sabaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Liar
Fiksi PenggemarThere is no different, when lie or the truth come out.