Gita - 2023

498 70 2
                                    

Hari ini gue menjemput Ale dan Leonor di kantornya untuk mengajak mereka makan malam bersama ibu. Waktu hari Sabtu kemarin, akhirnya kami muncul bersama di rumah Leonor setelah sparing basket. Ia begitu terkejut mengapa gue datang bersama Ale. Sampai akhirnya, kami bertiga pun duduk bersama di ruang keluarga untuk menjelaskan semuanya. Menjelaskan yang terjadi di antara gue dan Leonor meskipun Ale sudah tahu semuanya. Tapi, Ale belum mau cerita tentang cewek di kantor maminya yang ia taksir.

"Kenapa Tante Gita nggak tinggal aja sama kita, Mi? Kan seru Ale ada temennya main FIFA tiap hari jadinya hehe," celetuk Ale padahal ibunya masih blushing menceritakan hubungan kami dan berusaha memberi penjelasan sederhana kepada Ale. 

"Tuh, kamu mikirnya gitu sih, Le. Mau main FIFA doang lah, basket sama futsal lah, beli komik lah," balas Leonor yang semakin kesal dengan anaknya. 

"Lah, terus Ale harus mikir apa dong? Mami juga seneng kan kalo di rumah ada Tante Gita. Bisa ciuman tiap hariiiiii...," kata Ale dengan gelak tawanya yang langsung berlari masuk ke kamarnya. 

"Alejandra!!," teriak Leonor yang geram dengan Ale, but actually it is because she is very embarrassed

"Kenapa? Malu ya diledekin anak sendiri?," ledek gue kepada Leonor kemudian.

"Gita! Nggak usah ikut-ikutan deh," balasnya seraya memukul lengan gue dengan muka yang sedikit ditekuk. 

Itulah hari Sabtu kemarin yang berakhir dengan gue menghabiskan waktu seharian di rumah Leonor. Meskipun sudah mendapat lampu hijau dari Alejandra, I don't want to get on a rush untuk tinggal bersama Leonor. Lagian, gue juga harus memikirkan ibu gue yang nggak mungkin gue tinggal sendiri di apartemen. Apakah sudah saatnya gue mencari hunian yang cukup besar?

"Tante Gita, nanti Ale panggil ibunya Tante Gita apa dong? Tante juga gitu kaya mami?," tanya Ale tiba-tiba. Oh iya benar juga pertanyaan Ale. Anak pacar gue panggil ibu gue apa ya enaknya?

"Jujur Tante Gita juga bingung, Le," jawab gue yang tiba-tiba langsung pengin garuk-garuk kepala. 

"Ale, ngapain tanya gitu sih, mi amor. Panggilnya sama kaya mami aja," ucap Leonor berusaha menengahi.

"Coba nanti ditanyain aja ke ibunya Tante Gita ya, sayang, dia maunya dipanggil apa sama kamu," ujar gue menambahkan dengan senyum lebar. 

Kami pun sampai di restoran makanan China yang cukup terkenal di Jakarta. Mungkin karena sudah terbiasa aktif di Texas, meskipun sudah berusia di atas 65 tahun, ibu gue masih suka pergi ke tempat-tempat makan hidden gem atau ikut berbagai aktivitas sosial dengan para jemaat gereja. Bahkan beliau sengaja nggak mau gue jemput untuk pergi bareng ke restorannya karena sebelumnya berlatih yoga dulu dengan teman-teman lansia dari komunitas pecinta kucing yang belum lama dikenalnya.

"Ibu," gue langsung menyapa beliau dan mengecup pipinya karena ternyata ibu sampai terlebih dahulu.

"Halo, Tante. Apa kabar?" sapa Leonor kepada ibu. Sudah lebih dari 18 tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Bedanya, kali ini ibu sudah tahu yang sesungguhnya antara kami. Ibu pun langsung merengkuh Leonor ke dalam pelukannya dengan sangat erat. Gue hanya bisa memandang itu dengan terharu seraya merangkul Ale yang juga tampak terbawa suasana.

"It has been a long time," kata ibu. Ia lalu mengecup kening Leonor. Bener-bener nih full of garlic alias mengandung bawang. Padahal ke mantan-mantan pacar gue ibu nggak pernah kayak ini. "Maafin Tante yang waktu itu terpaksa membawa Gita pindah ke luar negeri ya, nak," tambah ibu. 

"Iya, Tante. Sudah, itu sudah berlalu. Yang penting hari ini kita bisa  kumpul sama-sama lagi dan Tante juga sehat," kata Leonor membalas ibu. 

"Cantikmu nggak berubah. Sifat dan sikap kamu juga nggak berubah. Pantas saja Gita nggak bisa move on," ujar ibu dengan meledek gue. 

"Leonor-nya juga sama, nggak mau move on, bu," balasku mencari pembenaran. "Ibu, kenalin juga anak manis ini. Namanya Alejandra. Dipanggilnya Ale," kata gue yang langsung mengenalkan Ale ke ibu. 

"Halo...mmm... panggilnya enaknya apa ya?," tanya Ale yang terlihat kebingungandan malu-malu ketika mencium tangan ibu. Ibu tertawa dan langsung memeluk Ale. 

"Panggil Oma saja, karena mulai hari ini, Ale adalah cucunya nenek," jawab ibu yang lalu mengecup kedua pipi dan kening Ale. 

"Tante, apa nggak berlebihan? Biar Ale panggilnya samaan aja kaya Leonor atau ibu kaya Gita," kata Leonor kemudian karena merasa nggak enak hati. 

"Lho, kan memang seharusnya seperti itu, bukan? Anaknya pacarnya anak Tante ya berarti cucunya Tante. Iya kan Ale?," kata ibu yang mencari pembelaan ke Ale. 

"Iya, Oma," balas Ale yang lalu memeluk ibu dengan erat. Nenek kandung Ale atau mamanya Leonor meninggal ketika Ale masih berusia tiga tahun. Tentu saja, ia tidak bisa mengingat nenek kandungnya dengan jelas. Setidaknya, dengan kehadiran Ale saat ini, sedikit mengobati keinginan ibu untuk punya cucu kandung yang mungkin nggak bisa gue lahirkan.

Makan malam kali ini penuh dengan nostalgia. Mulai dari cerita-cerita gue dan Leonor di masa SMA, cerita kelahiran dan masa kecil Ale, ibu yang sengaja meledek gue dengan menceritakan mantan-mantan pacar gue ke Leonor, dan juga melihat kehangatan dan kedekatan instan yang terjalin antara ibu dan Ale layaknya nenek dan cucu sendiri, membuat dada gue dipenuhi rasa syukur. Gue berterima kasih kepada diri gue sendiri yang selalu bisa bersabar hingga akhirnya gue berada di titik seperti saat ini. 

Gue dan ibu pun mengantar Leonor dan Ale pulang. Oleh karena sudah sangat mengantuk, Ale tertidur di pangkuan ibu. Pemandangan yang sangat indah. Gue pun berulang kali mengintip momen itu dari balik kaca depan mobil. Leonor pun ikut tersenyum melihat pemandangan itu.

"Seneng ya bu punya cucu beneran? Nggak yellow lagi, yellow lagi," kata gue kepada ibu. 

"Iya dong. Tapi ibu tetap sayang yellow juga karena selama ini selalu nemenin ibu," balas ibu yang membuat gue dan Leonor tertawa lirih karena takut membangunkan Ale yang kelihatan sangat lelah. "Pasti Ale lucu banget ya waktu kecil, Le? Sekarang aja tidur manis banget begini," tanya ibu. 

"Waktu kecil sama pas lagi tidur aja Tante manisnya. Kalo udah melek udah nggak bisa dikontrol. Sebelas dua belas bandelnya nih kaya sebelah Leonor," jawab Leonor sambil menunjuk ke arah gue. 

"Hahaha cari perhatian dia  sama kamu dulu, Le. Sok-sokan jadi kapten sama berantem dengan cowok-cowok," tambah ibu yang juga menyerang gue.

"Apa-apaan nih kenapa jadi keroyokan begini nyerang Gita," kata gue yang berusaha membela diri.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah Leonor, kami terus melempar canda dan tawa. Hingga tak terasa kami pun akhirnya sampai. Dengan susah payah, Leonor membangunkan Ale yang masih tampak nyaman merebahkan kepalanya di pangkuan ibu. 

"Mi amor, ayo bangun sudah sampai. Kasihan itu kaki Oma pegal. Pindah yuk ke kamar," ucap Leonor membangunkan Ale perlahan-lahan. Ale pun membuka matanya. Tak lupa sebelum keluar mobil, dia mencium pipi ibu. 

"Aku pulang ya, sayang," pamit gue kepada Leonor.

"Nanti kabarin kalo sudah sampai apartemen, amor," balasnya. Gue hanya mengangguk dan tak lupa mengecup bibirnya. 

"Mentang-mentang udah direstuin, main sosor aja depan Ale," protes Ale sambil mengucek-ucek matanya. Gue tertawa dan lalu memeluk Ale, tak lupa juga mengecup kepalanya. Leonor kemudian merangkul Ale seraya melambaikan tangan kepada gue dan ibu. 

"Jadi gimana? Mau nyari rumah yang lebih gede biar muat semuanya?," ledek ibu sepeninggal kami dari rumah Leonor. 

"Ibu tau aja apa yang dipikiran Gita," balas  gue.

"Ya sudah, besok ibu kontak semua teman-teman ibu yang di Jakarta buat tanya-tanya tentang rumah kosong yang di jual di Jakarta," kata ibu. 

Gue tidak bisa berkata-kata lagi punya ibu yang sungguh suportif. Mungkin kalo gue harus dilahirkan lagi di dunia ini kelak dan bisa memilih, gue mau yang jadi nyokap gue adalah ibu. Hari ini membuat gue percaya bahwa just be yourself and then the world will adjust. 

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang