Leonor - Find Out

185 23 3
                                    

Aku terbangun setelah baru tidur sekitar satu jam karena tak sengaja  mendengar suara handphone bergetar. Gita masih memelukku dengan erat. Perlahan aku pun meraih handphone-ku yang ada di meja lampu tidur. Tapi setelah kucek, tidak ada pesan notifikasi yang masuk. Aku pun meraih handphone Gita. Ketika aku akan membangunkan Gita untuk memberitahunya bahwa ada pesan WhatsApp yang masuk, aku tak sengaja melihat di pop up notifkasi yang menunjukkan pesan itu dari Agnes. 

"Please, don't ever say those words again, Kak Gita. Please, I love you even if you won't never love me like you love Leonor. But please, stay." 

Aku langsung meletakkan kembali handphone Gita ke meja tanpa membangunkannya. Jantungku berdegup kencang. Dadaku terasa sesak. Aku menatap Gita yang tersenyum dalam tidurnya. Semoga ini tidak seperti apa yang aku bayangkan. Aku lalu merebahkan tubuhku membelakangi Gita. Tanpa sadar, satu air mataku menetes di pipi. Aku pun mencoba memejamkan mataku kembali.

Hingga akhirnya aku terbangun saat fajar belum muncul. Oleh karena pikiranku sedang kacau karena pesan dari Agnes untuk Gita, maka aku pun memutuskan untuk jogging. Pelan-pelan kuganti pakaianku agar tidak membangunkan Gita. 

"Leonor, pagi sekali kamu mau jogging, nak," suara Ibu Gita sedikit mengejutkanku. Tapi aku tidak heran karena beliau memang selalu bangun sepagi ini. 

"Iya, Bu. Lagi pengin langsung jogging aja," kataku sedikit berbohong. 

"Ya udah, hati-hati kamu. Ibu lagi pengin buatin sarapan buat kamu,Gita, dan cucu Ibu," ucapnya dengan senyuman lebar seraya membelai pipiku.

"Makasih, Bu. Leonor jalan dulu ya," balasku yang lalu mengecup kedua pipinya. 

Sepanjang lari, pikiranku melayang kepada Gita, kepada semua kenangan yang sudah kami lewati berdua sedari kami remaja, ketika kami berpisah, ketika Ale lahir, dan ketika tiba-tiba semesta mempertemukan kami kembali. Sekarang aku dan dia sudah menjadi keluarga meskipun tanpa ikatan yang resmi. Kami sudah membangun rumah tangga bersama dan dia sudah menjadi sosok ibu kedua bagi Ale. Seharusnya aku tidak melihat notifikasi di layar Gita. Itu bukan hakku! Tapi, tapi, ah, pikiranku terlalu dihantui banyak pertanyaan dan prasangka. 

"Good morning, sayang," ucap Gita begitu melihatku datang sehabis jogging. Iya lalu mengecup keningku di depan ibunya. Ibu Gita hanya tersenyum melihat kami berdua.

"Ale udah bangun belum, Bu?" tanyaku kepada Ibu Gita.

"Belum," jawab Ibu.

"Biar aku yang bangunin, sayang," ucap Gita yang langsung berjalan ke lantai dua untuk membangunkan Ale. 

"Nak, kamu gak papa?" tanya Ibu Gita kepadaku. Aku tersenyum simpul sambil menggelengkan kepala. 

Tak lama kemudian, Gita turun sambil merangkul Ale yang masih tampak ngantuk-ngantuk. Anak ini memang paling susah bangun pagi. 

"Selamat pagi, Oma," ujar Ale sembari mengecup pipi Ibu Gita. Bagaimana dadaku tidak semakin sesak melihat Ale yang sangat dekat dengan Ibu Gita layaknya nenek sendiri?

"Masih ngantuk ya? Sini sarapan dulu, Oma bikin bubur Manado. Habis itu mandi dan berangkat kerja," kata Ibu Gita yang sungguh perhatian kepada Ale seperti cucunya sendiri.

"Semalam pas kebangun, aku gak sengaja lihat WA dari Agnes," ucapku. Gita yang sedang meneguk air tiba-tiba menjadi tersedak.

"Siapa Agnes, Git?" tanya Ibu Gita dengan muka polos. Namun raut wajah Ale juga menanti-nanti jawaban dari mulut Gita. Tampaknya ia penasaran dengan satu hal.

"Ditanya Ibu siapa Agnes, Git," ujarku semakin mendesak Gita yang terdiam.

"Kak Agnes sepupunya Gerald?" tambah Ale.

"¿De dondé lo supiste?" tanyaku kepada Ale darimana ia tahu tentang Agnes. Ekspresi Ale sedikit terkejut ketika aku bertanya menggunakan bahasa ibuku.

"Ayer, me dijo Gerald cuando tuvemos una conversación. Ella tambien es lesbiana, ¿no?" jawab Ale bahwa kemarin Gerald memberitahunya tentang Agnes.

"Siapa Agnes, Gita?" tanya Ibu Gita yang semakin mendesak putrinya yang masih terdiam.

"Rekan kerja," jawab Gita dengan datar.

"Kamu gak lagi bohong sama ibu kamu sendiri kan?" ucapku yang semakin membuat dahi Ibu Gita berkerut.

"Aku mau siap-siap dulu," ucap Gita beranjak dari tempat duduk. Aku lalu menarik tangannya dan memaksanya duduk kembali.

"Kamu gak lagi bohong sama ibu kamu sendiri kan, Git?" tanyaku kembali mendesak Gita.

"Gita," ucap Ibu Gita yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Aku bilang rekan kerja ya rekan kerja!" jawab Gita dengan nada tinggi sambil memukul meja.

"Pantes kamu seenggak suka itu sama Gerald. Sekarang kamu jujur di depan Ibu kamu dan Ale, siapa Agnes sebenernya!" tantangku kepada Gita. 

"Gita, Ibu gak pernah ngajarin kamu buat bohong, nak," kata Ibu Gita dengan suaranya yang serak. Gita lalu menunduk dan menangis.

"Gita selingkuh sama Agnes," ucapnya pelan. Ibu Gita ikut menangis. Ale kemudian memeluk Ibu Gita dengan tatapan penuh amarah ke arah Gita. Aku yang kesal kemudian meninggalkan meja dan pergi ke kamar. Setelah itu aku mendengar Ibu Gita memarahi anaknya.

"¿Mami, estas bien?" tanya Ale memastikan keadaanku ketika aku masuk ke mobil untuk pergi ke kantor sekaligus mengantar Ale ke kantornya.

"Hari ini kamu mau temenin mami gak nak?" tanyaku kepadanya.

"Mau kemana emang?" jawab Ale yang bertanya balik.

"Jalan-jalan aja," jawabku.

"Ya udah nanti Ale bilang ke bos Ale kalo Ale lagi nemenin mami yang lagi sakit," kata Ale sembari tersenyum. Aku hanya tertawa, tapi memang betul aku sedang sakit, sakit hati.

Kami mengelilingi kota Jakarta. Dari mulai masih macet hingga jalanan menjadi sepi karena jam kerja perkantoran sudah dimulai. Terkadang sesekali Ale masih memeriksa pekerjaan lewat tabletnya. Anak ini memang cukup gila kerja seperti maminya. Apalagi pekerjaannya adalah hobi dan passion-nya. Aku jadi merasa bernostalgia bersama Ale kecil. Dulu, jika aku sangat penat dengan pekerjaan atau masalah di kantor, aku selalu mengajak Ale bolos sekolah dan hanya berjalan-jalan mengelilingi Jakarta dengan menggunakan mobil. Sesering apapun kita berantem, sesering apapun kita berselisih pendapat, hanya Ale yang tidak pernah menyakiti hatiku. Meskipun dulu aku sempat menolak kehadiran Ale di dunia, tapi justru sekarang ialah satu-satunya harta yang aku miliki. 

"Sakit banget ya Mi?" tanya Ale kepadaku. Aku hanya tersenyum sambil membelai rambutnya.

"Poquitito," jawabku seraya membuat tanda bulat dengan jariku yang menandakan sedikit saja. Apa yang aku alami hari ini memang tidak ada apa-apanya dibanding ujian hidup yang sudah aku lewati dari mulai aku mengandung Ale. Hanya saja, aku memang sangat membenci pengkhianatan sekecil apapun itu.

"Ale gak papa kalo Mami gak sama Tante Gita lagi," ucapnya. 

"Beneran?" tanyaku meyakinkan dia. Bagaimanapun Ale sudah sangat dekat dengan Gita dan ibunya.

"Kan dari dulu kita juga cuma berdua aja. Paling mentok sama Tita Luisa dan Tita Letty," jawabnya.

"Maaf ya mi amor. Seharusnya Mami gak tergesa-gesa memutuskan untuk tinggal bareng dengan Tante Gita atau menerima dia kembali," ucapku.

"Esta bien. Gak ada yang tahu kalo endingnya bakal kaya gini juga," kata Ale. Sudah cukup dewasa dan bijaksana ternyata putriku. 

"Gimana kalo kita ajak Tita Luisa dan Tita Letty makan bareng?" tanyaku. Ale mengangguk dengan senyuman lebar.

Kami pun meneruskan perjalanan ke restoran favorit keluarga kami. 


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang