Leonor - 2023

481 57 0
                                    

"Angkat dong Ale, ayo angkat," kataku dalam isak tangis. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00, tapi sedari tadi Ale tidak mau mengangkat panggilan teleponku. Aku dan Gita sudah mencari Ale ke semua sudut yang selalu dikunjunginya. Tapi nihil. Luisa dan Letty juga ikut mencari Ale. Hasilnya pun sama, masih nihil. Aku berusaha mengubunginya lagi. Tapi kali ini, tidak bisa tersambung.

"Amor, sekarang nggak mau nyambung," kataku yang semakin panik karena aku yakin sekarang handphone Ale sudah mati.

"Oke, kita langsung lapor ke kantor polisi aja, sayang. Ini Luisa dan Letty juga baru ngabarin kalo hasilnya masih nihil," kata Gita yang sambil terus berusaha menenangkanku. Tangisku semakin pecah.

"Kalo sampe Ale kenapa-kenapa, aku nggak akan mungkin maafin diriku sendiri, amor," kataku.

"Ssst, pasti kita bawa Ale pulang lagi, sayang. Sekarang ayo kita ke kantor polisi ya buat minta bantuan," kata Gita. Ia lalu mengecup kepalaku yang bersandar di pundaknya untuk menangis.

Aku, Gita, Letty, dan Luisa bertemu di kantor polisi. Letty langsung memelukku erat begitu melihatku keluar dari mobil. Oleh karena tak mampu berbicara, Luisa dan Gitalah yang melaporkan dan menjelaskan kronologi kejadian hilangnya Alejandra. Oleh karena laporannya baru masuk dan belum 24 jam, polisi baru akan memprosesnya besok pagi. Setelah semua berkas selesai, kami pun pulang ke rumah.

Letty kembali ke rumahnya, sedangkan Luisa dan Gita menemaniku di rumah malam ini. Aku sudah tidak menangis, tapi aku masih terus menyalahkan diriku sendiri. Pikiranku terlalu kacau, dihantui rasa bersalah dan ketakutan jika Alejandra tidak mau kembali lagi ke rumah ini.

"Harusnya kita jujur ke Ale sebelum semuanya terlambat," kataku kepada Luisa. Gita yang sedang berada di dapur, tak lama datang sambil membawakan tiga gelas susu cokelat hangat.

"Aku rasa yang bikin Ale kecewa karena kita selama ini bohong sama Ale," ujar Luisa.

"Aku rasa juga begitu," balasku. Gita duduk di sebelahku dan menggenggam tanganku. Tiba-tiba ada nyala dari pesan notifikasi yang masuk ke ponselku. "Apa Alejandra sudah ketemu, Leonor?"

"Dari Rudi, tanya Ale udah ketemu apa belum," ucapku. Perlahan, Gita melepaskan genggaman tangannya dan membenarkan posisi duduknya. Tapi, aku lalu meraih tangannya kembali dan menggenggamnya.

"Hijo de puta!," umpat Luisa yang memang memiliki dendam kesumat kepada Rudi.

Tak lama kemudian, ada panggilan telepon masuk ke ponselku. Tampaknya, ini dari nomor telepon rumah di area Jakarta. Dengan harap-harap cemas, aku pun mengangkatnya.

"Good evening. Am I speaking to Mrs. Leonor from Jakarta News?," sapa seseorang di dalam panggilan itu dengan menggunakan Bahasa Inggris.

"Yes, sir. Who am I speaking to?," jawabku yang kemudian balik bertanya.

"I am Dira's father, one of your employees. I just want to inform you that your daughter, Alejandra, has been at my home since a few hours ago. She seemed sad and devastated. She didn't want me to call you, but since she is still underage, I have to call you for her safety. Could you please just pick her up tomorrow morning? Let her rest here tonight. We will take care of her," ujar orang asing yang ternyata adalah ayahnya Dira. Kabar ini sungguh melegakanku. Setidaknya, Alejandra memiliki tempat untuk bernaung untuk malam ini dan tidak terjadi hal-hal buruk kepadanya.

"Sure, sir. Thankyou so much for your kindness. I will pick her up tomorrow morning. Please, share me your address," balasku dengan mata yang berkaca-kaca. Ekspresi Luisa dan Gita pun ikut berubah.

"No worries, Mrs. I will send the address by message. Thankyou so much and have a good rest," ucapnya.

"Likewise, sir. Once again, thankyou so much," balasku kembali sebelum memutuskan panggilan teleponnya. Setelah panggilan ditutup, ayahnya Dira mengirim alamat rumahnya melalui WhatsApp. "Yang barusan telepon ayahnya Dira, salah satu karyawan di kantor. Katanya sekarang Ale ada di rumahnya. Tapi minta aku jemputnya besok pagi, biar Ale istirahat di sana aja dulu," kataku menjelaskan kepada Luisa dan Gita.

"Dios mio, por fin," ungkap Luisa yang juga sangat lega mendengar kabar ini. "Ya udah, aku mau istirahat dulu di kamar depan," ujar Luisa.

"Descansa bien," kataku mengucapkan selamat beristirahat kepada Luisa.

"Sayang, aku pulang ya...," ucap Gita yang langsung kubungkam dengan ciuman. Ia pun kaget dengan perlakuanku.

"Please, stay," bisikku di sela-sela ciuman kami. Aku pun mendorongnya hingga ke kamar dengan tetap mencium bibirnya.

"Wait,wait, are you sure?," kata Gita dengan menahan aksiku yang mulai perlahan membuka kancing kemejanya. Aku hanya mengangguk dan lalu kembali mendaratkan bibirku di bibirnya. Malam ini, aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku kepada Gita dan sekaligus membukitkan bahwa apa pun yang terjadi, aku akan selalu memilih dia karena aku tahu, kehadiran Rudi tentu membuatnya sangat tidak nyaman.

Aku bercinta dengan Gita untuk pertama kalinya setelah kembali bersama, setelah delapan belas tahun lamanya. Kulitnya, belaiannya, aroma tubuhnya, tidak berubah sama sekali. Tidak ada yang tahu cara menyentuhku seperti Gita menyentuhku. Tidak ada yang bisa membuatku tenang dan nyaman seperti Gita membuatku tenang dan nyaman.

"I love you so so much," ucap Gita yang lalu mengecup kepalaku erat. Tubuh kami berdua hanya tertutup selimut dan saling berpelukan.

"I love you endlessly," balasku yang lalu mengecup pipi Gita erat. Kami berdua saling menatap dan tersenyum dalam temaramnya lampu tidur.

"Aku udah beli rumah untuk kita tinggal bareng," kata Gita yang membuatku terkejut. "Tenang, lokasinya nggak terlalu jauh dari sini kok karena aku tahu, kamu nggak mau jauh-jauh dari Letty dan Luisa pasti," ucap Gita. Dia lalu mengambil ponselnya dan menunjukkan foto-fotonya kepadaku. Saat ini, rumah itu sedang direnovasi terlebih dahulu. "Gimana?," tanyanya kemudian.

"Speechless, amor," balasku.

"Kita pindah kalo semua udah siap aja, mentally and physically. Yang penting semua masalah selesai dulu," kata Gita seraya mengusap pipiku.

"Maafin aku ya, amor. Harusnya aku nggak pernah bohongin Ale tentang bapaknya," kataku.

"Kok kamu minta maafnya ke aku? Kan aku juga dateng lagi di hidup kamu baru-baru ini," ujar Gita.

"Tapi aku tahu kehadiran Rudi bikin kamu nggak nyaman," balasku.

"Oh," ucapnya. "Dikit," imbuhnya sambil tersenyum tipis. Aku lalu mengecup bibir Gita.

"Aku harus mikirin cara buat ngomong ke Ale besok," kataku.

"Pasti Ale maafin kamu, sayang. Mungkin sekarang dia belum bisa menerima kenyataan karena merasa dibohongi. Tapi pasti dia akan kembali semula setelah bisa memproses semuanya," ujar Gita.

"Aku juga berharap demikian, amor," balasku.

"Yuk tidur, udah jam 3 pagi. Seenggaknya, masih ada beberapa jam lagi sampai kita jemput Ale," ajak Gita.

Aku pun semakin mengeratkan pelukanku kepada Gita yang memang sudah sangat mengantuk dan lelah. Tidak seharusnya ia juga ikut bersusah-susah dalam masalah keluargaku. Tapi di sisi lain, aku melihat dia bersungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Apa yang sudah aku lakukan di kehidupan sebelumnya hingga di kehidupan saat ini aku memiliki seseorang seperti Gita? Aku pun memejamkan mata dalam dekapan dan deru nafas Gita yang membuatku tenang. 

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang