Gita - Affair

405 48 5
                                    

Sial, kenapa setiap berantem sama Leonor, gue selalu berakhir di tempat ini. Nanti gue akan ke kantor Leonor buat minta maaf karena semalem gue benar-benar gak bisa mengontrol diri.

"Udah bangun?" tanya Agnes yang sudah di duduk di tepi ranjang. Tubuh kami berdua terbalut selimut yang sama dan naked serta ia sedang menghisap sebatang rokok. Sudah pasti, semalam amarah gue, gue lampiaskan ke Agnes, di ranjang apartemen Agnes. Selalu seperti itu tiap gue tidak bisa mengontrol amarah.

"Nes, aku minta maaf," ucap gue kepada Agnes yang hanya terus menatap gue sambil menghisap rokoknya. Dia lalu memapatkan putung rokoknya ke asbak dan mengambil baju tidurnya yang jatuh di lantai untuk ia kenakan. 

"Aku udah bilang ke Kak Gita berkali-kali, gak usah minta maaf," ucap Agnes pelan.

"Nes, please look at me," ucap gue seraya meraih tubuh Agnes yang sudah selesai mengenakan baju. "You should resist me, you should stop me at the first place." Agnes menghela nafas dan lalu duduk di hadapan gue sambil mengusap pipi gue. 

"How many times I told you, I am happy being your second choice everytime you need a shelter to stay," kata Agnes dengan tatapan sayunya. 

"Maaf Nes, karena aku akan selalu memilih Leonor," ucap gue dengan rasa bersalah. I am such a coward.

"Aku nggak pernah meminta Kak Gita untuk meninggalkan Leonor. Aku tahu posisiku seperti apa sekarang and I am happy with that," ujar Agnes yang berusaha tersenyum.

"But I am not happy with that. Please, kita balik lagi sahabatan kaya awal aja ya, Nes?" pinta gue. Entah udah berapa kali gue mengatakan hal ini kepada Agnes dan hanya dijawab dengan gelengan kepala. Agnes lalu berdiri.

"Aku bikinin kita sarapan dulu, Kak," ucap Agnes yang kemudian berlalu ke dapur. 

Gue mengacak-acak rambut karena frustasi dengan kelakuan gue sendiri beberapa bulan terakhir. Gue juga tidak menyangka bahwa Agnes sudah lama menyimpan perasaan yang cukup dalam ke gue. Asli, gue merasa terkutuk sekarang. 

Setelah memakai baju, gue menyusul Agnes ke dapur. Gue hanya bisa duduk terdiam di meja makan sambil menatap Agnes yang begitu serius menyiapkan sarapan kami. Dia memang selalu membuatkan gue sarapan spesial setiap kali gue ada di apartemen ini. Hal yang sama yang selalu gue lakukan untuk Leonor di rumah. 

"Full English breakfast and double shot Americano," ucap Agnes seraya meletakkan sarapan kami ke atas meja. Gue hanya bisa menghela nafas dengan semua perlakuan manis Agnes.

"Makasih, Nes," ucap gue singkat sebelum menyeruput kopi.

"Sama-sama," balas Agnes dengan senyumnya yang sumringah. Gue gak habis pikir dengan Agnes yang bisa menahan rasa sakit sebegitunya. I hurt her so much and she still treats me like this.

"Hari ini kamu mau ke mana?" tanya gue.

"Mau belanja beberapa kebutuhan resto yang habis sama nge-gym mungkin. Kak Gita hari ini mau ngapain?" jawab Agnes sambil balik bertanya. Gue hanya menggelengkan kepala. "Mau stay di sini lagi?" tanya Agnes dipenuhi rasa harap. 

"Mungkin pulang ke rumah dulu," jawab gue. Agnes lalu meletakkan sendok dan garpunya serta lalu menggenggam tangan gue.

"Everything will be okay. Gak akan ada yang tahu tentang kita. Tapi please, izinin aku tetep kaya gini ke Kak Gita," ucap Agnes. Gue lalu menarik tangan gue dari Agnes. 

"Kita lanjutin sarapannya ya? Aku lagi gak pengin ngebahas apapun tentang kita," ujar gue yang langsung dengan cepat menghabiskan sarapan supaya bisa segera menghampiri Leonor di kantor. Sudah gue putuskan bahwa hari ini gue mau minta maaf ke Leonor.

Maka, di sinilah gue sekarang sambil membawa buket bunga. Gue pun masuk ke ruangan Leonor dengan perlahan setelah mengetuk pintu dan mendapatkan izin untuk masuk. Leonor masih belum sadar sampai akhirnya ia sedikit terkejut melihat kedatangan gue. 

"Kok kamu gak bilang-bilang mau ke sini?" ujar Leonor yang kaget dan langsung beranjak dari kursi kerjanya menghampiri gue. 

"I am so sorry, sayang. Aku minta maaf karena gak bisa mengontrol diri semalem," ucap gue seraya berlutut di hadapan Leonor. Tapi, doi langsung menuntun gue untuk berdiri. "For you," ujar gue seraya menyerahkan buket bunga lili berwarna putih kepada Leonor. 

Ia menerimanya dan meletakannya di atas meja. Leonor kembali menatap gue dan sekarang ia meletakkan kedua tangannya di pipi gue seraya membelainya dengan lembut. Gue hanya bisa menangis sambil mencium kedua telapak tangan doi yang ada di pipi gue. Ada kehangatan di sana, ada kenyamanan di sana, dan selalu ada ketenangan. Gue merasa menjadi orang paling brengsek di dunia, mengingat begitu kasarnya perkataan gue ke Leonor tadi malam serta dengan apa yang terjadi di antara gue dan Agnes selama dua bulan terakhir.

"Aku yang seharusnya minta maaf ke kamu, amor," ucap Leonor. Gue lalu menariknya ke dalam pelukan gue. 

"Aku minta maaf semalam udah ngomong kasar banget ke kamu, sayang. Maaf maaf, aku nyesel," ucap gue yang gak bisa menahan air mata.

"Hei hei, amor, lihat aku," ujar Leonor sambil menangkup wajah gue di antara kedua telapak tangannya. "Kita lupain aja yang semalam, oke? Kita gak usah bahas itu lagi sekarang," lanjutnya.

"Aku janji aku gak akan mengungkit-ngungkit masalah pernikahan lagi. Aku bakal nunggu sampai kapanpun kamu siap, sayang," ujar gue yang masih menunduk dalam penyesalan. Leonor tersenyum dan lalu mengecup bibirku erat.

"Terima kasih, amor. Aku janji, kita akan ada di sana suatu hari nanti. Tapi, masih banyak hal yang harus kita luruskan dan selesaikan," kata Leonor mencoba menenangkan gue. Entahlah, kedua bola mata Leonor seperti dua sisi mata uang. Yang sebelah seperti mengatakan keyakinan, tapi yang lainnya seperti mengatakan keraguan. "Kamu udah sarapan belum, amor?" tanya Leonor sembari melepaskan pelukan kami namun tangannya masih menggandeng tanganku untuk duduk di sofa. 

"Belum, sayang," ujar gue berbohong. Gue sedikit menghela nafas tanpa ketahuan oleh Leonor. 

"Oke, aku panggil OB dulu buat beliin kita sarapan," kata Leonor. Dia langsung memesan roti dan kopi untuk kami berdua melalui telepon. Setelah itu, Leonor kembali duduk di sebelah gue. "Kamu semalam tidur di mana, amor?" tanyanya sambil membelai kepala gue. Tanpa basa basi, gue langsung mendaratkan ciuman penuh hasrat ke bibir Leonor supaya ia tak banyak bertanya lagi. 

"I miss you so bad, sayang. You didn't allow me to touch you for the past few weeks. That was hurt," ucap gue berbisik seraya terus menelusuri setiap jengkal isi mulut Leonor dengan lidah gue. I know that this is so wrong, but I have to do this because I don't want to tell her where I stayed last night.

Leonor yang sudah hilang kendali naik ke pangkuan gue dan melingkarkan tangannya di leher gue. Menyambut hasrat Leonor yang sama menggebunya, gue pun berusaha membuka kancing baju Leonor satu persatu. Baru akan membuka ikat pinggangnya, tiba-tiba pintu ruangan Leonor diketuk oleh OB. Sial, kenapa harus sekarang sih.  Leonor yang juga frustasi hanya bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala sebelum mengecup kening gue. Dia lalu menutup kembali kancing bajunya dan merapikannya. Gue pun melakukan hal yang sama. Leonor hanya membuka sedikit pintu ruangannya untuk menerima sarapan yang ia pesan sehingga si OB tidak bisa melihat kekacauan yang kami perbuat. 

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang