Aku terdiam menatap jendela. Di ruangan yang serba putih ini aku merasa terasingkan. Kulihat Luisa tertidur dengan nyenyak di sofa dan Leticia sepertinya sedang sibuk mencatat sesuatu, mungkin tugas akhir kuliahnya. Ia menargetkan tahun ini bisa lulus kuliah dan diwisuda supaya bisa segera bekerja seperti mama dan Luisa. Luisa, Leticia, dan aku dibesarkan oleh mama seorang diri semenjak ia bercerai dengan papa yang berasal dari Sevilla, Spanyol, 10 tahun silam. Mama lalu membawa kami bertiga pulang ke Indonesia dan memulai semuanya dari nol. Awalnya, aku sungguh membenci tempat di mana aku tinggal, yaitu Jakarta. Namun semuanya berubah saat aku mengenal seseorang lima tahun lalu, saat aku masuk SMA. Perempuan itu sudah mengubah hidupku dan membuatku mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Aku akan menceritakan lebih banyak tentang perempuan itu nanti, karena terlalu banyak kenangan yang ditorehkan olehnya.
Tapi keberadaanku di ranjang ini dan saat ini merupakan murni perbuatan bodoh dan kesalahanku. Hingga akhirnya di usiaku yang baru memasuki 20 tahun, aku melahirkan seorang bayi perempuan berparas cantik. Aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan menjadi seorang ibu di usia yang sangat muda ini. Kutengok sosok bayi mungil yang sedang tertidur pulas di boks. Aku harap, dia lebih banyak mewarisi genetik keluargaku daripada ayahnya, yang bahkan sampai hari ini belum mau menemuinya. Si bayi lalu bergerak-gerak, bibirnya tampak mencari-cari sesuatu. Ia pun mulai menangis, mungkin ia lapar dan mencari puting susuku.
"Sayang... sayang," ucap Leticia dengan sigap menghampiri bayiku. Ia lalu menggendongnya dan lalu meletakannya di pangkuanku. Aku pun mulai menyusuinya. Ini kali kedua aku menyodorkan payudaraku kepadanya dan aku sudah mulai terbiasa. Padahal beberapa jam yang lalu, aku sampai menangis saat si bayi perempuan ini mulai menghisap cairan putih dari putingku. Tapi kali ini, aku justru memandang takjub bayi perempuan yang berada di dalam pelukanku. Aku memang mengutuk perbuatan bodohku, tapi aku tidak menyesal sudah melahirkan bayi perempuan secantik ini.
"Muy bien," kata Leticia memuji si bayi perempuan yang mulai terampil menyusu seraya mengelus-elus pipinya dan tak sedetikpun melepaskan pandangannya. Dari kedua kakak perempuanku, memang Leticia-lah yang sangat suka dengan anak kecil. Bahkan sebenarnya yang ingin menikah muda adalah dia. "Kamu mau menamakan dia siapa?," tanyanya kemudian. Aku menggelengkan kepala. Aku memang sudah memikirkan nama untuk putri kecilku ini, namun aku akan mengatakannya jika Luisa bangun dan mama datang.
"Masa kamu belum kepikiran sama sekali, Leonor?" suara Luisa yang tiba-tiba memecahkan keheningan di antara aku dan Leiticia. "Kamu masih berharap Rudi datang dan menemui anak ini?," sindirnya kemudian. Ya, nama ayah dari putri kecilku adalah Rudi, pria yang terpaksa aku nikahi dan sampai detik ini bahkan ia tidak menanyakan kabar kami. Aku, Luisa, dan Leticia bersama-sama menengok ke arah pintu kamar yang dibuka. Seperti dugaan kami, mama datang dengan membawa banyak kudapan untuk makan siang.
"Kalian pasti lapar dan mama sudah tidak sabar untuk menggendong cucu mama lagi," ucapnya yang langsung meletakan satu kantong plastik besar di atas meja. Ia lalu menghampiriku dan putri kecilku yang tampaknya sudah cukup kenyang. Mama langsung menggendongnya dan mengecup pipinya bertubi-tubi. Meskipun awalnya dia sempat marah besar mengetahui bahwa aku hamil di luar nikah, namun akhirnya dia memaafkanku dan menerima keadaanku setelah berhasil memaksa Rudi untuk menikahiku.
"Kalau tahu bapaknya tidak bertanggung jawab seperti ini, mama tidak akan rela menikahkanmu dengan dia, Leonor," ucap mama yang membuatku terkejut. "Maafkan mama ya, nak," ungkap mama dengan mata yang berkaca-kaca namun tidak berani menatapku sambil terus mengayun-ayun cucu pertamanya.
"Ésta bien, mama," balasku yang mengatakan bahwa tidak apa-apa, apa yang sudah berlalu biarlah berlalu. Lagipula, yang terpenting saat ini mama menerima putri kecilku sebagai cucunya. Begitu juga dengan Luisa dan Leticia yang tampak sangat antusias menjadi las tías/titas atau tante dalam Bahasa Spanyol bagi putri kecilku ini.
"Lalu, si kecil ini akan kamu beri nama siapa, Leonor?," tanya mama yang kemudian mendekatkan si kecil kepadaku. Aku tersenyum seraya mengusap-usap kepala mungilnya dengan rambut lebat yang berwarna cokelat terang. Apakah anak ini nantinya akan memiliki warna rambut yang sama seperti papa? Tapi kulitnya tidak seterang kulitku dan Luisa. Warna kulitnya sedikit kecokelatan mirip Leticia serta telinga dan bentuk bibirnya mewarisi Rudi.
"Alejandra Rosa," kataku kepada mama. Ia tersenyum dan menganggukan kepala. Leticia tampak menepuk kedua tangannya dengan senyuman yang sangat lebar.
"Hola, Alejandra. Soy tu tita, Tita Letty," kata Leticia yang memperkenalkan diri sebagai Tita Letty atau Tante Letty dengan suara yang dibuat-buat seperti anak kecil.
"Martinez," kata Luisa kemudian yang membuat kami bertiga terkejut. "Alejandra Rosa Martinez."
"Kenapa harus menggunakan Martinez?," tanya mama dengan geram.
"Karena bagaimanapun, dia sama sepertiku, Letty, dan Leonor, membawa darah Martinez. Aku tidak sudi kalau dia menyandang nama belakang bapaknya yang tidak bertanggung jawab itu. Aku ingin dia menjadi seorang Martinez," jawab Luisa. Dari ketiga anak mama, Luisa lah yang memang paling tegas dan penuh rasa bangga menjadi seorang Martinez. Aku tahu, dari kami bertiga, memang Luisa lah yang paling dekat dengan papa dan mewarisi sifat-sifat papa, termasuk kemampuannya dalam bekerja. Tak heran, di usianya saat ini, ia tergolong cukup mapan dan sangat independen.
"Dia juga sama brengseknya seperti Rudi," umpat mama kepada papa, dengan sengaja melirik Luisa.
"Setidaknya bagi kami, dia adalah ayah yang baik dan bertanggung jawab," balas Luisa. Pada saat itu, aku memang masih terlalu dini untuk memahami apa yang terjadi di antara mama dan papa. Aku hanya mendengar dari mama bahwa papa selingkuh dengan wanita lain, sehingga mama memutuskan untuk bercerai dengan papa dan membawa kami bertiga pulang ke Indonesia. Tapi apa yang dikatakan oleh Luisa tidaklah salah. Mungkin memang bagi mama papa bukanlah sosok suami yang baik, namun aku tidak pernah mengingat satu keburukan pun tentang peran papa sebagai seorang bapak. Bahkan, mamalah yang memutuskan hubungan kami bertiga dengan papa. Sampai pada akhirnya Luisa memberontak dan menginisiasi untuk kembali berkomunikasi dengan papa. Bahkan papa juga sudah mengetahui kelahiran cucu pertamanya dan melakukan panggilan lewat telepon selular Luisa sewaktu mama tidak berada di sini tadi. Betapa ia sangat bahagia dalam suaranya hingga menitihkan air mata mendengarkan cerita dariku tentang sosok Alejandra yang begitu cantik serta memiliki warna rambut dan bola mata yang mirip dengannya, hal yang tidak diwariskan kepadaku.
"Aku setuju dengan Luisa, Ma. Biarkan Alejandra menyandang nama Martinez. Setidaknya dia tidak akan bertanya tentang asal-usulnya karena dia memiliki nama belakang yang sama denganku, Letty, dan Luisa," kataku berusaha membela Luisa.
Di tengah suasana bangsalku yang cukup dingin, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Leticia lalu bergegas membukakan pintu. Terlihat seorang kurir toko bunga datang ditemani oleh petugas rumah sakit. Ia lalu memberikan satu buket bunga berukuran sedang kepada Leticia dan bergegas pamit meninggalkan ruangan.
"Dari siapa, Letty?" tanya mama.
"Gita Ayunda?," jawab Leticia dengan tanda tanya. "Congratulations for your first newborn. Gita Ayunda. Cuma gitu aja yang tertulis di kartu ucapannya. Gita itu bukannya temenmu dulu yang suka main ke rumah, Leonor?" tanya Leticia kemudian.
Aku tertegun sesaat. Irama jantungku berdetak dengan kacau mendengar nama itu. "Dari mana ia tahu kalau aku melahirkan seorang bayi?" tanyaku di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Generasi
RomanceSelama 17 tahun, Eleonora menjadi orang tua tunggal bagi putrinya, Alejandra yang saat ini sudah beranjak remaja. Tidak mudah memang menjadi wanita karier dan menjadi seorang ibu. Apalagi sang putri susah diatur dan cenderung memberontak. Namun, di...