Gita - 2023

622 70 1
                                    


Gue dan Leonor saling menatap satu sama lain begitu Ale membanting pintu kamarnya keras - keras karena nggak sengaja melihat gue dan ibunya berciuman di ruang makan. Shit, disaster will happen soon! Leonor yang tadinya udah sedikit tenang pun kembali merasa cemas melihat Ale yang tampak sangat marah kepadanya. Gue nggak tahu apakah Ale marah karena melihat kami berciuman atau karena ibunya yang nggak jujur sama dia. Yang jelas, gue nggak tega melihat hubungan ibu dan anak yang semakin dingin itu. 

"Mending kamu pulang aja, Git," pinta Leonor mengubah pikirannya. 

"No, we should talk to her, Le," ucapku kepadanya, karena nggak mungkin gue nggak ikut bertanggung jawab atas kejadian yang baru saja terjadi.

"Iya, tapi nggak sekarang juga waktunya, Git," kata Leonor. "Please...," tambahnya. Gue pun mengangguk dan tak bisa mengelak lagi. But really, I want to hug her tightly tonight

"I really love you, sayang. I really do," ucap gue sebelum meninggalkan Leonor.

"I know, mi amor,"  balasnya seraya mengusap pipi gue dengan lembut dan senyuman, meskipun ia sedang tidak baik-baik saja. And finally, she calls me 'amor' again. I have been waiting this moment for a long time. I kiss her again before I go, softly and deeply, to express how much I love her. 

Di sepanjang perjalanan pulang, pikiran gue melambung jauh ke masa 18  tahun lalu. Tepatnya ketika seorang teman lama di sekolah mengabarkan lewat pesan di Facebook tentang pernikahan Leonor dan bapaknya Ale. At that time, I was really broken. Gue nggak menyangka secepat itu Leonor melupakan gue. Tapi kemudian, teman lama kami itu mengabarkan lagi kalo mereka terpaksa menikah karena Leonor hamil di luar nikah. Again, I was really shocked. Gue lalu membayar si teman gue untuk selalu memberi gue kabar tentang Leonor dan apa pun yang terjadi sama dia. 

Hingga kelahiran Ale akhirnya menyadarkan gue bahwa tidak seharusnya gue berlarut-larut memikirkan kehidupan orang lain dan harus lebih fokus dengan diri gue sendiri. Sebagai tanda perpisahan dengan masa lalu bersama Leonor, gue pun mengirimkan bunga kepadanya lewat kurir. Agar gue tidak memikirkan Leonor terus menerus, maka gue pun menenggelamkan diri dalam kesibukan bekerja di restoran El Sabor. Bahkan di awal-awal gue bekerja, gue mengambil shift-shift tambahan sampai akhirnya gue dan ibu bisa sedikit settle untuk hidup di Texas karena gue tidak tega melihat ibu bekerja terlalu keras. Baru setelah kami punya apartemen yang cukup lega, gue memutuskan untuk melanjutkan kuliah. 

Di masa-masa sulit itu, gue juga dekat dengan seorang cewek yang juga bekerja di El Sabor. Cewek Meksiko yang cukup manis dan begitu baik. Tapi sayang, hubungan kami cuma bertahan dua tahun karena gue menyadari bahwa gue belum bisa melupakan Leonor. Diam-diam, gue pun kembali menghubungi teman lama dan membayarnya buat stalking tentang Leonor. Apa salahnya gue tetap tahu kabar tentang dia meskipun gue nggak bisa berbuat apa-apa. Sejak saat itu, pekerjaan gue di malam hari adalah menunggu email kabar dan foto-foto terbaru Leonor yang dikirim oleh si teman lama yang gue bayar. Salah satu foto favorit gue adalah ketika Leonor dan Alejandra sedang menghabiskan waktu di taman bersama Leticia dan Luisa. Mungkin waktu itu usia Alejandra baru satu tahun. Sejak saat itu gue bertekad, bahwa gue harus kembali berkumpul bersama Leonor dan Alejandra suatu hari nanti. 

Tekad itulah yang kemudian mendorong gue untuk coming out kepada ibu dan menceritakan hubungan gue dengan Leonor. Awalnya ibu marah-marah dan menangis sejadi-jadinya. Hampir seminggu lamanya kami saling diam meskipun tinggal satu atap. Akan tetapi melihat gue yang bekerja dari pagi sampai malam dan masih harus berkuliah di kelas khusus karyawan, hati ibu pun luluh. Kata beliau, lakukan apa pun yang membuatmu bahagia, Git, selama kamu masih memiliki kesempatan. Sejak saat itu, gue pun selalu mengenalkan pacar-pacar gue ke ibu. Tapi insting seorang ibu memanglah kuat. Suatu malam saat gue pulang mengantar pacar gue yang terakhir, mungkin sekitar tiga tahun yang lalu, ibu bilang begini:

"Git, apa kamu nggak capek pacaran buat main-main terus dan nggak pernah serius? Kamu dan ibu sekarang hidup di negara liberal, di mana kamu bisa bebas hidup dengan pacar kamu tanpa ikatan pernikahan atau bahkan bisa menikah. Tapi, paling lama kamu pacaran setahun dua tahun, bahkan kamu nggak mengizinkan mereka nginep di sini, selalu kamu yang menginap di tempat mereka. Bahkan, ibu belum pernah mendengarkan kamu cerita mantan-mantan kamu seantusias kamu menceritakan Leonor. Apa nggak sebaiknya kita pulang saja ke Indonesia? Sebentar lagi ibu juga pensiun. Jadi mungkin kita bisa memulai kehidupan yang lebih baik di tanah kelahiran kita, Git."

Tentu saja, gue menyambut baik keinginan ibu. Sudah mulai dari tiga tahun yang lalu gue mengurus kepindahan gue dan ibu ke Jakarta. Gue juga sudah mulai berkonsultasi dengan beberapa teman lama yang juga punya bisnis untuk nantinya gue membuka usaha gue sendiri ketika pulang ke Jakarta. Oleh karena gue masih ada kontrak dengan El Sabor sampai akhir tahun 2022, maka gue pun baru bisa merealisasikan untuk pindah ke Jakarta awal tahun 2023. Cukup berat gue meninggalkan Texas yang sudah menjadi rumah kedua gue sekaligus tempat gue belajar banyak hal. Tapi, gue juga sangat antusias pindah ke Jakarta dan memulai kehidupan yang baru lagi di sini. 

"Ibu kira kamu menginap di rumah Leonor, Git?," ucap ibu tiba-tiba yang muncul dari balik pintu kamarnya. Kemudian gue melihat jam dan ternyata sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi. 

"Ibu kok bangun jam segini?," tanya gue kemudian.

"Iya, ibu haus dan lupa taruh air di nakas. Kamu kok belum tidur?," jawab ibu seraya bertanya dan kemudian duduk di samping gue. 

"Belum ngantuk, bu," jawab gue.

"Kenapa? Berantem dengan Leonor?," goda ibu. Gue hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. 

"Enggak, bu. Memang belum ngantuk aja sih dan nggak tau aja sekarang ternyata udah jam segini," jawab gue.

"Jadi, kapan kamu mau kenalin ibu ke calon menantu dan calon cucu ibu?," goda ibu lagi yang kali ini sukses membuat pipi gue merah dan malu. 

"Apaan sih ibu, kan ini bukan Texas," jawab gue yang terus terang salah tingkah digodain oleh ibu sendiri. 

"Ya nggak papa dong. Ibu kan juga pengin dekat dengan Leonor, pengin kenal dengan Alejandra juga. Pengin punya cucu yang bisa ibu manja-manjain, Git," ujar ibu yang kali ini membuat gue tertawa lebar. 

"Kan ada si yellow," balas gue kepada ibu. Yellow adalah nama kucing persia yang baru-baru ini diadopsi oleh gue. Tapi, justru ibulah yang lebih banyak mengurusnya.

"Ah, yellow mah cuma bisa ngeong-ngeong doang, nggak bisa manggil nenek," gerutu ibu yang semakin membuat gue tertawa dan kemudian mencubit ibu. 

"Iya iya, nanti Gita kenalin ke ibu ya calon menantu dan calon cucunya," ujar gue seraya berdiri dan masuk kamar, meninggalkan ibu yang masih senyum-senyum sendiri dengan percakapan kami.

Gue bersyukur karena memiliki ibu yang seperti ibu. Hubungan kami sangat dekat. Namun, baru kali ini ibu mengutarakan keinginannya untuk punya cucu. Perasaan waktu di Texas nggak pernah sekalipun bercanda kaya gitu.

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang