Leonor - 2023

434 56 0
                                    

"Lo lamento, mi amor," hanya itu kata pembuka yang bisa aku katakan kepada Alejandra. Gita sudah pulang ke apartemennya. Kini, tinggal aku dan Alejandra yang berusaha menyelesaikan semuanya.

"Basta, no me digas nada, ¿vale? Estoy harta de escucharte. Necesito tiempo para digerirlo, por favor. Es tan dura para mí. Puedo ir a mi cama?," ujar Ale mengatakan jika dia sudah terlalu muak mendengarkanku terus meminta maaf dan meminta waktu untuk berpikir.

"Sì, mi vida. Te quiero mucho," ucapku mengatakan betapa besar rasa sayangku yang tentu saja, tidak digubris oleh Alejandra yang langsung berjalan menuju kamarnya.

"Apa Alejandra sudah pulang ke rumah?" Rudi kembali mengirim pesan kepadaku sedari semalam.

"Sudah," balasku singkat. Aku pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Sebenarnya, aku ingin istirahat saja, tapi rasa-rasanya itu bukan pilihan yang tepat.

Ketika hendak berjalan menuju ruanganku, aku melihat Dira sudah berada di kubikelnya. Mungkin aku perlu berbicara dengannya karena dia sudah menyelamatkan Ale semalam.

"Dira, bisa ke ruangan saya sebentar?," panggilku kepadanya. Dia langsung mengangguk dan berdiri, lalu masuk ke ruanganku.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu Leonor?," tanya Dira dengan sopan.

"Duduk dulu saja, Dir. Kamu mau kopi? Saya pesenin ya," kataku menawarkan minuman kepada Dira. Tanpa menunggu jawaban dari Dira, aku langsung memesankan minuman melalui telepon.

"Terima kasih banyak, Bu Leonor," balas Dira.

"Dir, terima kasih banyak ya semalem Ale sudah boleh menumpang di rumah kamu," ucapku.

"Iya Bu, sama-sama," kata Dira.

"Meskipun agak kaget juga ketika Papa kamu telepon dan bilang kalo Ale ada di rumah kamu. Saya kira Ale akan ke rumah Quinza atau Kayla, sahabat-sahabat dekat mereka di sekolah," kataku.

"Sebenarnya Ale tidak ingin Daddy menghubungi Bu Leonor. Tapi Daddy saya orangnya cukup strict dan membayangkan ada di posisi Bu Leonor saat itu, jadi ya akhirnya saya memberikan nomor Bu Leonor ke Daddy," ujar Dira. 

"Apa Ale cerita banyak hal ke kamu, Dira?," tanyaku kemudian.

"Waktu kemarin datang, Ale lebih banyak menangis, Bu. Saya jadi membatasi diri, takut Alejandra nggak nyaman saya tanya banyak hal. Tapi yang jelas, Ale sangat kecewa dan tidak tahu harus bersikap seperti apa," jawab Dira. 

"Iya, dia belum mau bicara dengan saya tadi di rumah dan saya nggak tahu sampai kapan dia akan seperti itu," kataku. "Saya ibu paling buruk di dunia, Dir," lanjutku. Aku lalu memalingkan mukaku dan menatap ke arah jendela. 

"Saya tidak percaya jika ada orang tua yang buruk di dunia ini. Setiap orang tua pasti mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya," ujar Dira. Aku tidak menyangka Dira cukup bijaksana dan dewasa dalam pemikiran. "Mungkin hanya caranya saja yang salah atau tidak sesuai seperti ekspektasi atau harapan si anak," imbuhnya. 

"Tidak seharusnya saya berbohong dengan Alejandra seumur hidupnya, Dir. Dari dulu seharusnya saya mengatakan yang sejujurnya tentang papinya," kataku. Dira hanya mendengarkanku dan mengangguk. 

"Pasti jika Bu Leonor sampai berbohong seperti itu, semua itu demi kebaikan Alejandra," balas Dira. Tak lama kemudian, ada OB yang membawakan dua gelas es kopi ke ruanganku. Aku pun mempersilakan Dira untuk meminumnya terlebih dahulu. 

"Seharusnya saya menceritakan fakta yang sesungguhnya ketika Alejandra sudah bisa membedakan hal yang baik dan buruk. Tapi saya perlu kekuatan besar sebelum menceritakannya, Dir. Saya nggak tahu kalo bapaknya Alejandra ternyata akan kembali sebelum saya jujur ke Ale," kataku kepada Dira. "Maaf ya Dir, saya jadi curhat begini ke kamu. Mungkin karena sekarang kamu juga dekat dengan Ale, saya nggak mau kamu salah sangka dengan saya," tambahku.

"Nggak papa, Bu Leonor. Tapi mungkin Bu Leonor bisa memberikan waktu ke Alejandra untuk memproses ini semua. Dia juga pasti masih sangat syok. Ditambah dia juga harus fokus ujian akhir dan ujian masuk universitas. Jika saya ada di posisi Alejandra, pasti akan melakukan hal yang sama, Bu," kata Dira dengan tersenyum. 

"Dir, tolong temenin Alejandra ya jika dia butuh teman ngobrol atau curhat. Sekali lagi saya berterima kasih sama kamu karena semalam sudah memberi tumpangan kepada Ale," kataku kepada Dira. 

"Sama-sama Bu Leonor. Terima kasih juga untuk kopinya. Apa saya sudah boleh kembali ke ruangan?" kata Dira.

"Silakan Dira," kataku. Setelah Dira keluar dari ruanganku, tiba-tiba ada sebuah panggilan tanpa kontak nama masuk. Meskipun tak bernama, aku tahu siapa yang meneleponku karena orang ini sudah membuat hubunganku dan Alejandra menjadi berantakan. 

"Mau apa lagi kamu?," tanyaku dengan geram. 

"Apa aku boleh sekali lagi bertemu dengan Alejandra?," jawab Rudi. 

"Untuk apa Rudi? Kamu mau menjelaskan apalagi?," tanyaku.

"Aku cuma ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Ale sebelum kembali ke Brazil. Aku ingin memiliki foto bersamanya untuk aku tunjukkan kepada Cassandra. Aku sudah berjanji kepada Cassandra untuk membawakan foto kakak perempuannya. Please, Leonor," kata Rudi. 

"Ale sekarang marah besar ke aku, Rudi. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu," ucapku.

"Please, Leonor. Please," pintanya lagi. Kali ini, aku langsung mematikan panggilan teleponnya. Tepat setelah aku memutuskan panggilan telepon dari Rudi, Gita melakukan panggilan video. 

"Halo, sayang," ucap Gita menyapaku terlebih dahulu. 

"Iya, amor," jawabku singkat sambil kembali memeriksa beberapa dokumen yang harus aku tandatangani. 

"Aku kirim makan siang ya lewat ojek online. Kebetulan aku lagi makan siang di sini, terus inget pasti kamu belum makan siang," ujar Gita sambil memamerkan sekilas tempat yang sedang ia kunjungi. Aku lalu menengok ke arah jam dinding. Iya benar, ini sudah jam makan siang dan aku tidak sadar. 

"Makasih, amor. Kamu makan sendirian?," tanyaku kepada Gita. 

"Oh enggak, aku lagi ketemu owner-nya. Dia sahabatnya sahabatku di Texas. Eh, kebetulan dia dateng ini," jawab Gita yang lalu mengajak seorang perempuan yang kira-kira berusia 20-an akhir untuk masuk ke video. "Halo Kak Leonor. Aku Agnes. Kapan-kapan mampir ke sini ya," ucap perempuan itu. Muda, smart, cantik, dan ramah. Gita lalu menggeser kamera ke wajahnya kembali. "Nanti kamu cobain ya sayang makanannya, enak banget," kata Gita sambil bersemangat mengunyah makanannya sampai bibirnya belepotan. Tiba - tiba, aku melihat tangan Agnes mengambil tisu dan hampir ia mengusapkannya ke bibir Gita. Namun dengan sigap Gita langsung mengambil tisu yang ada di tangan Agnes untuk mengelap bibirnya sendiri. Momen ini membuatku tersadar bahwa Gita memang memiliki kharisma yang masih bisa memikat orang yang umurnya jauh lebih muda. 

"Nanti malam kamu nginep rumah lagi ya," kataku dengan suara yang sedikit dibuat manja dan sedikit keras agar Agnes bisa mendengar. 

"Iya, sayang. Ya udah aku, mau lanjut makan dan meeting. Nanti balik dari resto aku langsung ke rumah kamu," kata Gita. 

"Okay, amor. I love you," ucapku sebelum menutup panggilan video dari Gita.

"I love you more, sayang," balasnya. 

Aku terdiam untuk beberapa saat. Selama ini, aku tidak pernah ragu kepada Gita. Namun aku lupa bahwa di luar sana, pasti banyak laki-laki atau perempuan lain yang bisa saja suka atau jatuh cinta kepada Gita. Aku lalu menatap ke arah cermin yang ada di hadapanku. Beberapa kerutan sudah tampak di wajahku. Dibandingkan dengan Agnes, dia terlihat lebih enerjik dan atraktif. Aku hanya bisa menghela nafas. Mungkin, aku tidak usah berekspektasi terlalu tinggi kepada Gita. 

Dua GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang