Gue menatap Dira yang udah tidur pules. Dengkuran-dengkuran kecilnya adalah simfoni yang selalu gue rindukan pas kemaren kita LDR. Tiap hari, makin-makin gue bucin sama cewek ini. Gue gak bisa memprediksi masa depan, tapi kalo memang gue gak berjodoh lama sama Dira, mungkin gue gak akan bisa jatuh cinta lagi atau sesayang itu sama orang lain.
"Babe, tidur," kata doi yang buka satu matanya karena masih ngantuk banget dan kayaknya gak sengaja kebangun.
"Sebentar, lima menit. Masih mau liat bidadari cantik di hadapanku dulu," balas gue yang membuat Dira tersenyum.
"Such a sweet talker,"ucapnya. Gue lalu membelai rambutnya pelan-pelan.
"Babe, kalo pada akhirnya Daddy maksa aku jalan sama Gerald gimana?" tanyanya dengan muka yang ngantuk banget tapi juga khawatir. Gue menghela nafas dulu sebelum jawab sambil mikir.
"Udah ada tanda-tanda ke arah situ emang?" tanya gue.
"Tadi sebelum tidur, aku ditegur Daddy lagi karena gak bales WA Gerald tapi bisa ada waktu pergi sama kalian," jawab Dira yang udah ngebuka matanya. Tapi gue gak berhenti membelai rambut dia sih. Kayak, sayang banget gue sama doi dan gak peduli sama orang-orang yang rusuh sama kita.
"Aku coba ngomong pelan-pelan sama Daddy kamu boleh, baby?" tanya gue yang memang udah siap lahir batin nanggung resiko. Kalo emang gue gak berjodoh lebih lama sama Dira, seenggaknya gue gak liat Dira kepikiran terus.
"Kamu tau kan resiko terburuknya?" kata Dira yang kali ini memposisikan diri lebih mendekat ke gue. Gue pun mengecup bibir Dira dengan segala rasa yang ada di hati gue, erat dan lekat.
"Aku gak mau liat kamu kepikiran masalah ini terus," ucap gue yang lalu menarik tubuh Dira untuk gue peluk.
"Babe, I will never stop loving you even if the world is not kind to us at the end of the day," kata Dira yang tiba-tiba banget. Gue langsung menatap matanya dengan rasa haru dan membelai pipinya dengan lembut.
"We will find a way, baby. We will," balas gue dengan setengah melow sampai gue yang gak pernah nangis di depan Dira, akhirnya gak bisa menahan air mata lagi.
"Babe, jangan nangis. Aku gak mau liat kamu nangis," katanya sambil ngusap air mata gue pake jempolnya. Mata doi ikut berkaca-kaca.
"Cemen ya nangis begini aku, baby," ucap gue yang sekarang justru berbalik dipeluk Dira.
"Babe, I love you," kata Dira dan abis itu langsung nyium kening gue.
"I love you more, baby," balas gue.
Malam yang cukup melankolis, sampai akhirnya gue dan Dira pun tidur karena capek tangis-tangisan. Gila, kayaknya gue gak bisa sama orang lain selain Dira. Hati gue udah mentok banget di doi.
Keesokan harinya tanpa ragu-ragu, gue memutuskan untuk mencoba ngomong ke Daddy-nya Dira. Kebetulan juga di hari Minggu ini, kita disuruh makan siang di sana. Tapi pas begitu masuk ke rumah Dira, ada si anjing lagi ngeteh bareng Daddy Dira. Kaya setan aja doi ada di mana-mana.
"Hello, my two sweeties," sapa Daddy Dira begitu liat gue dan Dira dateng sambil bergantian cium pipi kita berdua.
"Hai Dira, Hai Ale," sapa Gerald yang mukanya pengin gue tonjok saat itu juga. Caper parah ke Daddy Dira.
"Come and sit down. Dira, please bring another cup for Ale and you," kata Daddy Dira. Cepet-cepet doi masuk buat ambil cangkir.
"How's work life, Ale? Did you enjoy your job?" tanya Daddy Dira ke gue.
"I still learn a lot of stuff, Uncle. But so far, I enjoy the environment there" jawab gue.
"How about the salary, Ale? Is it worth it?" tanya Gerald yang ikut-ikutan nimbrung aje.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Generasi
RomanceSelama 17 tahun, Eleonora menjadi orang tua tunggal bagi putrinya, Alejandra yang saat ini sudah beranjak remaja. Tidak mudah memang menjadi wanita karier dan menjadi seorang ibu. Apalagi sang putri susah diatur dan cenderung memberontak. Namun, di...