Ruangan ini mengingatkanku pada ruangan bersalinku sewaktu melahirkan Ale tujuh belas tahun yang lalu. Serba putih, terang, namun menenangkan. Satu hal yang tidak membuatku tenang pada saat itu adalah karena aku harus melewati proses melahirkan seorang diri. Maksudku, tidak ada Gita yang menemaniku. Namun kali ini, meskipun aku terbaring di kursi panjang bersama psikiater seorang diri, aku tahu ada Gita yang sedang menantiku di luar sana. Bohong jika aku tidak memiliki pemikiran bahwa Gita tidak akan meninggalkanku lagi. Ketakutan itu selalu ada, tapi setidaknya untuk saat ini, aku tahu Gita ada di sisiku dan kami sudah sama-sama cukup dewasa untuk memperjuangkan hubungan kami.
Awalnya, aku sungguh tidak nyaman menjawab pertanyaan-pertanyaan sang psikiater. Namun katanya, aku harus menjawab semua dengan jujur dan sesuai dengan apa yang ada di kepalaku supaya ia bisa membantu mengurai benang kusut yang sudah mengendap selama bertahun-tahun di dalam diriku. Terkadang aku menjawab pertanyaannya sambil menangis, terkadang sambil tertawa terbahak-bahak, namun lebih banyak aku menjawabnya dengan amarah yang menggebu. Hampir satu jam lamanya aku terbaring di ruangan ini. Ketika keluar, aku melihat Gita sedang memakai earphone dan tampak serius sedang memandangi ipad-nya.
"Eh, udah selesai," ujarnya ketika melihatku mendekatinya di ruang tunggu. "Sayang, sebentar ya. Aku tutup dulu meeting-nya." Aku hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi Gita. Semakin hari, aku semakin mengagumi perempuan ini. Aku pernah berbuat apa di kehidupan sebelumnya sampai ada sosok seperti Gita yang sangat tulus mencintaiku, bahkan mencintai anakku seperti anaknya sendiri.
"Yuk, udah lewat jam makan siang. Kita cari makan deket-deket sini aja kali ya?," ujar Gita seraya memasukan ipad-nya ke dalam tas.
"Amor, kayaknya sesi tadi cukup bikin aku capek. Aku mau pulang aja," kataku yang memang benar-benar sudah terkuras energinya. Ternyata berusaha jujur dengan diri sendiri memang sangat melelahkan.
"Oke, nanti aku masakin aja di rumah ya sayang," balasnya.
"Iya boleh," kataku seadanya. Satu-satunya hal yang saat ini ingin aku lakukan adalah segera bertemu Alejandra dan memeluknya dengan erat. Semoga anak itu ada di rumah.
Selama perjalanan pulang ke rumah aku hanya terdiam. Aku tak begitu menghiraukan Gita yang menyetir. Sesekali aku memandang jalanan Jakarta yang belum terlalu macet. Ketika mobil kami berhenti di lampu merah, di depan kami ada seorang perempuan yang kira-kira seumuran denganku membawa banyak barang sambil memboncengkan anaknya yang mungkin masih berusia lima tahun di atas motor. Aku bertanya-tanya, apakah perempuan ini seorang orang tua tunggal yang juga harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya? Di manakah suami dan keluarganya yang lain? Apakah tidak ada anggota keluarganya yang lain yang bisa dimintai pertolongan untuk menjaga sang anak? Tanpa disadari, mataku menjadi berkaca-kaca.
"Sayang, hey, are you okay?," tanya Gita seraya mengusap pipiku karena melihat mataku sudah mulai merah.
"Kasian perempuan itu, amor. Apa mungkin dia orang tua tunggal juga dan harus mencari nfkah sendiri?," ujarku yang lalu menggenggam tangan Gita.
"Entahlah, sayang. Tapi sepertinya beban hidupnya cukup berat," balas Gita.
"Aku beruntung masih punya Letty dan Luisa," ucapku.
"And now you have me as well," kata Gita yang lalu kembali mengusap pipiku.
Sesampainya di rumah, aku langsung buru-buru masuk. Bahkan aku tidak menunggu Gita yang masih memarkirkan mobil. Aku pun langsung membuka pintu tanpa menutupnya kembali. Setelah melempar tas ke sofa, aku lalu berjalan cepat menuju kamar Alejandra. Terlihat ia sedang tidur siang seraya memeluk boneka teddy bear besar kesayangannya. Aku lalu mendekati ranjangnya dan membaringkan tubuhku di sebelahnya. Wajahnya terlihat lebih tegas dan pipi chubby-nya sudah mulai menyusut. Namun aku selalu suka melihat Ale tidur, wajahnya begitu polos dan manis, tanpa beban. Aku lalu menarik Alejandra ke dalam pelukanku. Ya Tuhan, sudah lama sekali aku tidak memeluk Ale seperti ini. Aku tak bisa menahan tangisku, menyadari bahwa ternyata aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Ale.
"Mami?," panggilnya seraya membuka satu matanya.
"Hola mi amor," jawabku.
"Mami kenapa nangis?," tanyanya keheranan.
"Te echo mucho de menos, mi amor," jawabku yang mengatakan bahwa aku sangat merindukannya.
"Kan tiap hari kita ketemu," ujarnya.
"Iya, tapi Mami kangen peluk kamu gini, mi amor. Kamu udah jadi jagoan, udah nggak pernah lagi tiba-tiba tengah malem kebangun terus nyusup ke kamar Mami buat minta peluk kaya gini," ungkapku yang membuat Ale tersenyum. Ia justru semakin mengeratkan pelukannya. "Maafin Mami ya, mi amor," aku tidak bisa mengendalikan diri lagi.
"Para qué?," tanya Ale yang tidak paham.
"Selalu sibuk," jawabku. Tetap saja, aku belum bisa berkata jujur kepada Ale.
"Udah biasa. Sibuk is my mom's middle name," katanya. Aku hanya tertawa sambil mencium pipinya bertubi-tubi.
Setelah puas saling berpelukan, aku pun menyuruh Ale segera mandi. Sambil menunggu Ale, aku pun menghampiri Gita yang sudah mulai memasak. Tampaknya, ia semakin terbiasa dengan dapurku. Bahkan mungkin, lebih cocok dia yang lebih banyak menghabiskan waktu di dapurku.
"Mana Ale?," tanya Gita.
"Lagi mandi dulu. Kamu mau masak apa amor?," jawabku sambil balik bertanya.
"Shrimp pasta aglio olio aja, kesukaannya Ale. Sama banana smoothies karena aku liat pisangmu udah terlalu matang," jawab Gita. Aku selalu suka caranya mengolah makanan-makanan di dapurku yang terkadang aku abaikan. Sejujurnya, aku ingin sekali ia berada di sini setiap hari. Tapi aku tidak boleh egois, terlebih aku juga belum membicarakan hal ini dengan Ale.
"Hei sayang," panggil Gita begitu melihat Ale mendekati kami. Ia lalu membuka tangannya lebar sebagai tanda ingin memeluk Ale. Mereka berpelukan cukup erat. Terkadang, aku membayangkan jika Gita benar-benar ada bersama kami sejak Ale bayi. Hal itu pasti sangat menggemaskan, melihat Gita ikut mengganti popok Ale, ikut begadang kalau Ale kecil terbangun tengah malam, ikut menggandeng tangan Ale kecil yang baru mulai belajar berjalan, ikut mengawasi Ale kecil yang baru mulai belajar sepeda, ikut mengantar Ale kecil masuk sekolah untuk pertama kali, ikut menonton Ale bertanding futsal dan basket. Tanpa disadari, mataku kembali berkaca-kaca.
"Mami?," panggil Ale karena dia melihat mataku menjadi berkaca-kaca.
"Nggak papa, Mami cuma terharu liat bonding kalian," ucapku seraya tersenyum. Gita pun ikut tersenyum.
"Ya udah, kalian tunggu di meja ya. Sebentar lagi pastanya matang," ujar Gita. Ale pun dengan sigap mengambil peralatan makan untuk kami bertiga.
"Sayang, handphone kamu bunyi. Sepertinya ada panggilan masuk," kata Gita. Aku pun menuju sofa ruang tengah untuk melihat siapa yang meneleponku. Tidak ada nama kontak yang tertera di sana. Tapi aku tetap mengangkatnya karena takut panggilan mendadak terkait pekerjaan.
"Halo, ini dengan siapa ya maaf?," ujarku mengawali percakapan dengan sopan.
"Eleonora," jawab orang itu. Deg, seketika jantungku serasa berhenti sepersekian detik mendengar suara itu. Semoga suara ini bukan suara orang yang aku kira, semoga hanya mirip. "Ini Rudi."
Aku diam tak berkutik mendengar nama itu disebut. Amarahku memuncak. Ingin rasanya saat itu juga menghujaninya dengan tusukan pisau. Tapi, aku juga merasa bersalah karena bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran dari Alejandra.
"Mau apa kamu menghubungiku setelah bertahun-tahun?," hanya itu pertanyaan yang terucap dari mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Generasi
RomanceSelama 17 tahun, Eleonora menjadi orang tua tunggal bagi putrinya, Alejandra yang saat ini sudah beranjak remaja. Tidak mudah memang menjadi wanita karier dan menjadi seorang ibu. Apalagi sang putri susah diatur dan cenderung memberontak. Namun, di...