Pecahan uang dibawah dua puluh ribuan kini berhamburan di kasur. Tidak berantakan, hanya tertata rapi dengan sejenisnya. Karena aku sedang menghitung uang yang diberikan Kai sore tadi.
Hari sudah menjelang malam saat ini. Tapi rasa kantukku tak kunjung datang karena bersemangat untuk menghitung uang. Menyegarkan mata maksudku. namanya juga perempuan, pasti sangat suka dengan hal berbau seperti ini.
Setelah kemarin aku berdiskusi tentang usulan Nenek May, Kai menyetujuinya. Ia juga mengusahakan akan mencari dana untuk menggelar acara syukuran kehamilanku. Hanya saja aku masih awam hal seperti itu.
Niatku ingin mengajak Nenek May membantuku. Dan juga Lauda yang akan datang besok pagi. Tapi kurasa aku tidak bisa mengundang banyak orang. Karena uang yang diberikan Kai hanya dua ratus lima puluh enam ribu. Memikirkan biaya ini itu pastilah kurang.
"Ada berapa?"
Aku tersentak ketika Kau tiba tiba masuk dengan handuk basah di kepalanya "256.000 Kai" kuserahkan kembali uang itu padanya.
Kau mengernyit kebingungan "kenapa dikembalikan padaku?"
"Aku tidak tahu cara memakainya"
"Maksudmu?"
Bukannya aku tidak bersyukur, "besok kita belanja bersama di pasar" tapi memang uang itu kurang. Biarkan Kai juga mengetahuinya bersama.
Kai tidak banyak bertanya lagi. Ia menyimpan uang itu di kantong plastik yang baru aku sadar adalah dompetnya. Aku ingin kasihan, tapi keadaan kita memang begini. Apalagi perutku sudah membesar dan perlengkapan bayipun kamu belum membeli apa apa.
Dan malam itu aku tidur dengan keadaan tidak tenang. Uang yang kami miliki mungkin hanya cukup untuk membeli lauk pauk saja. Belum cukup untuk membeli makanan untuk jamuan.
Kira kira apa saja yang akan aku dapatkan besok?
Nyatanya, dunia tidak seperti yang aku bayangkan. Uang dua ratus itu sudah bisa membuat dua tangan Kai menenteng penuh kresek belanja. Ada dua ekor ayam sayur dan tetek bengeknya untuk membuat isian nasi kotak untuk dibawa pulang.
Ditambah beberapa buah buahan yang diberikan penjual secara cuma cuma. Kai-lah alasannya, karena mereka mengenal baik Kai. Terlebih katanya sawah yang Kai garap sedang tidak baik baik saja. Aku hanya bisa memahami bahasa mereka sedikit.
Kami, aku dan Kai, berjalan menuruni jalan bebatuan dengan pelan. Jarak angkot yang kami tumpangi dengan rumah tidak terlalu jauh. Tapi tidak terlalu dekat juga. Dan uang kami tidak cukup untuk menyewa angkot sampai rumah.
"Pegang lenganku"
Lengan kekar Kai berada di hadapanku sekarang. Dengan ragu aku mulai memegang lengan itu sebagai tumpuan berjalan. Perut besar ini sudah sedikit membuatku susah berjalan. Rasanya tidak bisa cepat cepat. Jadi sering kali aku meminta Kai berisitirahat dan duduk di pinggir jalan.
Seharusnya Lauda sudah sampai di rumah Nenek May sekarang. Rasa kangen dengan gadis itu menambah semangatku berjalan lagi. Padahal tadinya aku ingin menyerah dan memaksa Kai untuk pulang lebih dulu kemudian menjemputku dengan motor bebeknya.
Mungkin Tuhan sedang berbaik hti dengan wanita hamil ini. Tiba tiba mobil yang aku hapal di luar kepala berhenti di depan kami. Kepala Lauda tak lama menyembul dari jok tengah. Dibarengi dengan supirnya, Pak Karno, di balik kemudi.
"Haii....." Lauda menyapa dengan riang. Ia kemudian turun dan memelukku "bagaimana kabarmu Anne?"
Aku menahan haru tangisku "sehat La.. sehat sekali" balasku sembari memeluknya erat.
"Non Anne...."
Sapaan dari Pak Karno melepaskan pelukan kami. Aku balik menyapa supir yang sering mengantar jemput Lauda. Pria paruh baya itu juga menyapa Kai, suamiku, tegas pria yang sekarang menarik lenganku agar mendekat dengannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/248833006-288-k500222.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Ficción GeneralAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...