Rumah baru.
Tempat tinggal baru.
Suasana baru.
Memikirkan hal itu saja sudah bisa membuatku pening dua hari ini. Kai belum membalas permintaanku mengenai usulan pindah ke Jakarta. Sedangkan waktu terus berputar. Aku tidak mau pindah saat kandunganku sudah mulai tua.
Hal tetek bengek sebagai seorang ibu muda pasti sangat mengagetkanku. Banyak perintilan dan suasana yang harus aku adaptasi dalam waktu dekat. Tidak mungkin aku melakukan itu semua bersamaan dengan kelahiran bayi ini.
Harapku, aku akan pindah sebelum melahirkan. Sehingga ada jeda waktu Akau beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun, Kai sepertinya tidak memikirkan hal itu.
Sudah dua hari juga ia tidak mengobrol banyak tentang ini. Ia sibuk dengan sawahnya. Musim panen ini harus ia awasi betul betul katanya. Aku tidak paham harus bagaimana. Tugasku hanya di rumah menyajikan makanan.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Yang sedang dipikirkan akhirnya datang juga. Aku melihat jam dinding bulat di atas pintu. Masih jam dua siang, tumben sekali Kai sudah pulang.
"Tumben pulang cepat, Kai?"
Kai tidak menjawab. Ia meneguk segelas air dari teko bergambar bunga mawar itu dengan rakus "panennya sudah selesai"
"Ooh begitu"
Aku hanya diam melihat Kai merapikan barang yang dia bawa. Karung berisi perlengkapan sawahnya ia keluarkan dan menaruhnya di pojok belakang pintu. Kemudian laki laki itu masuk kedalam kamar untuk mengambil baju ganti.
Selesai mandi, dengan rambut yang masih basah Kai duduk di hadapanku. Aku memang belum beranjak sedari tadi. Kepalaku pening memikirkan nasib tempat tinggal kami nanti. Bagaimanapun rumah dan lingkungan adalah hal penting yang harus dipikirkan matang matang.
"Mengenai rencanamu, apa kau mau memberitahuku sejujurnya?"
Pertanyaan Kai, sejenak membuatku ragu. Aku memang belum menceritakan tentang beasiswa universitas itu. Baru rencana, tapi rasanya aku sudah berbohong.
"Aku... Aku hanya bingung. Aku tidak tahu daerah apapun, yang aku kenal sedari kecil adalah Jakarta"
Kai hanya mengangguk sebagai responnya "apa kau rindu dengan Mama dan Papa?"
Rindu?
Rasanya memang rindu. Tidak ada anak yang tidak rindu dengan orang tuanya walaupun seburuk apapun mereka. Aku hanya bisa diam sebagai jawaban atas pertanyaan Kai.
"Baiklah, kita bisa pindah ke Jakarta sesuai keinginanmu"
"Benarkah?" Aku mengangkat kepalaku. Benarkah Kai menyetujui usulan pindah ke Jakarta?
Senyum Kai menjadi jawaban yang dapat aku simpulkan sebagai tanda 'ya'. Aku ikut tersenyum. Setidaknya nanti saat aku lahiran, masih satu kota dengan Mama dan Papa walaupun entah mereka akan mengunjungiku atau tidak.
"Ini hasil panen padi tadi"
Kai mengeluarkan kresek hitam dari karung yang selalu dia bawa. Kresek hitam yang setahuku biasanya untuk sampah, malah berisi gepokan uang berwarna merah. Lucu sekali pria desa yang menjadi suamiku ini.
Dengan teliti Kai menghitung lembar demi lembar uang yang sudah dikaret itu. Aku tidak tahu jumlah keseluruhannya, tapi aku rasa itu cukup banyak. Apakah hasil panen memang sebanyak itu?
Aku menunggu dengan sabar. Kecepatan menghitung uang Kai terbilang rapi. Ia mengelompokkan uangnya kalau sudah mencapai satu juta. Total sudah ada dua puluh kelompok yang ia hitung. Masih ada setengahnya lagi.
"Apakah hasil panen memang sebanyak itu, Kai?" Jujur aku penasaran. "Aku kira sawah yang kau punya tidak terlalu besar"
"Aku menjual semua hasil panen Anne. Biasanya hanya setengah, setengah lagi aku simpan untuk cadangan makanan selagi menunggu hasil panen selanjutnya"
"Disimpan?"
"Iya, kami para petani biasanya menyimpannya di gudang. Atau di gudang desa yang di sediakan Pak Kades"
Aku mendengarkan dengan seksama tentang penjelasan dimana padi padi itu disimpan. Fakta baru yang aku dapatkan dari Kai, ternyata tidak semua hasil bumi mereka jual untuk khalayak umum.
Mereka menyisihkan sebagian padi untuk disimpan apabila sedang masa Paceklik. Entah hal itu karena hama atau musim yang tidak bagus sehingga menghasilkan gagal panen. Beberapa orang juga ada yang memilih tidak menjual hasil panen mereka untuk disimpan pribadi.
Kebanyakan yang memilih opsi terakhir adalah keluarga dengan jumlah anggota yang lumayan banyak. Tidak heran aku sering mendapati beberapa anak kecil yang menggendong adik mereka sembari bermain. Ternyata hidup di desa memang tidak terduga sama sekali.
Dulu, aku kira semua hasil panen itu akan digiling dan dipasarkan seluruh indonesia. Saat beras langka, aku kira memang benar benar gagal panen. Ternyata ada juga campur tangan oknum yang memanfaatkan hal itu untuk menjual beras dengan harga yang mahal.
Para petani tidak bisa mengajukan nilai tinggi dengan hasil panen mereka. Kebanyakan para pemasok beras tidak mau menaikkan dengan harga tinggi apabila hasil panen tidak sesuai. Mereka hanya menaikan sedikit saja, mau tidak mau para petani juga menyetujuinya. Karena masa sulit itu juga berdampak ke bahan pangan yang lain. Satu satunya pendapatan mereka hanya bergantung padi itu.
"Bukankah berat padi akan menyusut kalau sudah digiling?" Pertanyaan yang baru aku terpikirkan. Petani akan rugi kalau hanya menjual dalam bentuk beras, bukan?
"Ya. Tapi kulit padi itu juga dimanfaatkan lagi"
"Dengan cara?"
"Aku biasa menggunakannya untuk bahan bakar di dapur. Agar memudahkan untuk menyalakan api sat hujan"
Oh, ternyata butiran butiran berwarna kuning kecoklatan itunadalah kulit padi.
"Kalau terlalu banyak aku jual ke peternak untuk dijadikan bahan makanan ternak mereka. Sebagian juga aku jadikan pupuk agat tanah lebih subur"
"Aku tidak menyangka, ternyata hasil bumi bisa menjadi sebanyak itu manfaatnya"
"Maka dari itu aku lebih suka di desa"
Kai dan desanya.
Aku dan kotanya.
Dua hal yang memang sangat bertolak belakang. Aku menyukai kesimple-an hidup dengan serba ada dan serba cepat. Berbeda dengan Kai yang menikmati setiap proses untuk menghasilkan sesuatu.
Aku terbiasa dengan hal yang sudah ada di depan mata. Makanan yang aku bisa pesan kapanpun aku mau dengan aplikasi. Tidak perlu jauh jauh untuk mencari hal yang aku ingin tahu. Mengandalkan handphone dan signal sudah sangat cukup.
Sedangkan Kai lebih menyukai memasak di Pawon sederhana. Menikmati setiap kepulan asap dan keringat saat menyalakan api. Menggelung diri di atas kasur kapuk sembari mendengarkan suara rintik hujan yang tembus dari genteng.
Sejenak aku ragu, apakah keputusanku mengajak Kai ke Jakarta adalah benar? Tapi aku lebih ragu lagi kalau harus berpindah di desa lain. Apakah persalinanku nanti lancar? Bukankah rumah sakit sangat jauh? Rumah bidanpun rasanya lima kilometer dari rumah ini. Bagaimana kalau di desa lain lebih susah ternyata?
Tapi, bisakah Kai ikut masuk ke duniaku? Aku sudah berusaha masuk ke dunianya. Dunia sederhana yang menurutku sulit. Jadi adilkah kalau Kai juga mengikuti cara kehidupanku?
-Kopi Susu-
To be continued
Salam hangat, Fi ❤️
Jakarta,17 januari 25

KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Ficção GeralAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...