27. MWC

71 3 0
                                    

Happy reading
🌹

Tuhan begitu tidak adil. Pertama ayahnya yang diambil, lalu ibunya dan sekarang ... mahkota yang selama ini ia jaga pun ikut direnggut paksa.

Hamil adalah hal yang saat ini ia pikirkan dan ia takuti. Bagaimana jika kejadian malam itu membuahkam hasil?

Tidak, ia tidak mau. Masa depannya masih panjang, cita-citanya belum ada yang tercapai.

"Argh!"

Stres, dirinya stres. Andai malam itu dia tidak ke sana, andai malam itu dia tidak meninggalkan ponselnya, andai malam itu dia bisa memberontak, andai ... andai.

Semua kata andai memenuhi ruang otaknya.

"AKU BENCI SAMA KAMU!!"

"Aku benci ... kenapa harus kamu? Kenapa kamu tidak mendengarkanku? Kenapa kamu tega sama aku? Selama ini aku sangat mencintaimu. Namun, kamu merusak cinta itu. Aku hancur, barang berhargaku sudah kamu ambil paksa."

Gadis itu terus menangis. Meratapi nasibnya yang malang.

Gadis itu tidak mampu menerima semua ini. Dia mengambil tali, lalu dia ikat pada tiang.

Lebih baik dia mati daripada hidup seperti ini. Tidak ada lagi alasan baginya untuk tetap bertahan di dunia yang kejam ini.

Kaki yang berpijak pada kursi perlahan tinggal. Sedikit lagi. Setelah ini hidupnya akan tenang. Tidak ada lagi sesak yang menggerogoti hatinya.

"Anes! Apa yang lo lakuin, Hah! Lo gak waras!"

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar menampakkan seorang pria tinggi yang seumuran dengannya.

"Pergi! Biarkan aku mati!" usir Anes.

Ya, gadis itu adalah Anes.

"Turun, Nes. Kalau ada masalah lo selesain baik-baik. Jangan kaya gini."

Anes tersenyum miris. Selesain baik-baik? Apa yang harus diselesaikan? Semua sudah selesai.

"Gue mohon, turun, Nes." Dia tidak akan membiarkan Anes mati bunuh diri.

Pria yang tidak lain teman satu sekolah Anes--Rakas--tidak sengaja lewat di depan rumah Anes dan mendengar teriakkan Anes. Karena itulah dia menerobos masuk ke dalam rumah.

"Jangan cegah aku, Kas. Aku gak pantas hidup di dunia ini. Aku gak sanggup menanggung semua ini!"

"Jangan gila lo, Nes! Cepat turun!" Rakas tidak mendengarkan ucapan Anes.

Mana mungkin dia membiarkan teman sekolahnya mati bunuh diri dihadapannya.

•••••

Setelah percobaan bunuh diri waktu itu, Anes lebih banyak diam. Raganya ada di tempat, tetapi nyawanya melayang entah kemana.

Dia tetap menjalani hari-harinya seperti sebelumnya. Setiap hari dia berangkat sekolah, belajar lalu pulang.

"Nes, punya pulpen dua, gak?" tanya Irfan.

"Sekalian sama tipex, Nes," sahut Fikra.

"Kamus juga sekalian, Nes," tambah Bowo.

Anes mengeluarkan semua benda yang disebutkan teman-temannya. Dia sudah biasa meminjamkan barangnya pada mereka, walau kadang dia kesal karena tidak dikembalikan.

"Makasih."

"Hmm."

"Huft, dari kemarin lo banyak diam. Kenapa?" tanya Irfan.

Married Whit ClassmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang