Happy reading
🌹Malam ini begitu tenang, bintang dan bulan bersinar terang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Anes yang sedang berdiri di depan jendela.
Suasana hatinya begitu bahagia. Entah apa sebabnya, yang pasti senyumnya tak pernah pudar.
Namun, dibalik itu semua ada sedikit kegelisahan dalam dirinya. Pikirannya tak tenang memikirkan sikap Lesni yang akhir-akhir ini nampak berbeda.
Akan tetapi, sepertinya bukan hanya itu penyebab kegelisahannya."Lesni kenapa, ya? Kok dia berubah gitu. Lebih banyak diam," monolognya.
Anes sempat melihat Lesni menangis di toilet sekolah, tapi pas ditanya dia menjawab tidak kenapa-kenapa. Hal itu membuat Anes semakin penasaran.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membuat Anes keluar dari lamunannya. Dia berjalan membuka pintu kamarnya.
"Eh, Ibu belum tidur?" tanya Anes.
"Belum. Ibu mau bicara sama Anes, bisa ikut Ibu ke depan?"
Tentu saja boleh. Anes berjalan mengikuti ibunya dari belakang. Netranya meredup kala melihat dua buah koper berdiri disamping sofa.
Semoga yang dia pikirkan tidak terjadi.
"Bu, ini koper siapa?" tanyanya ragu.
"Duduk dulu." Anes ikut duduk disamping ibunya.
Ibu Anes meraih tangan Anes menggenggamnya lembut. "Sebelumnya maafkan Ibu atas semua yang sudah Ibu perbuat. Maafkan Ibu yang tidak bisa membahagiakan Anes selama ini."
Anes menggeleng kuat. "Nggak, Bu. Ibu selalu membahagiakan Anes, kok."
"Dengarin Ibu baik-baik. Anes harus menjadi anak yang baik, rajin belajar dan harus sukses jangan kaya Ibu yang harus putus sekolah."
"Ibu kenapa ngomong gitu? Ibu gak akan ninggalin Anes, 'kan?"
Tanpa diminta air mata Anes jatuh membasahi pipi cabinya. Dadanya terasa sesak. Dia berharap jawabannya tidak.
"Maafkan Ibu, tapi ini yang tebaik buat kamu dan Ibu."
"Nggak! Ibu gak boleh pergi. Kalau Ibu pergi Anes tinggal dengan siapa? Anes cuman punya Ibu." Anes memeluk Ibunya erat, tak ingin melepaskan.
"Ibu harus pergi Anes. Ibu sudah gak tahan tinggal di rumah ini. Setiap Ibu di sini, bayang-bayang Ayahmu selalu menghantui tidur Ibu. Dan Ibu gak bisa begini terus," jelas Ibu Anes.
Dia mencoba melepaskan pelukan sang anak.
Anes menggeleng kuat. "Kalau gitu ajak Anes, Bu. Anes mau ikut sama Ibu. Anes gak mau sendirian. Anes gak mau jauh dari Ibu. Hanya Ibu yang Anes punya," ucapnya sesegukan.
"Kamu harus belajar di sini. Ibu janji kalau keadaan Ibu sudah membaik, Ibu akan kembali. Kalau Anes pergi gimana dengan sekolahnya?"
"Tapi Anes gak mau Ibu pergi." Anes menatap ibunya sendu.
Kenapa harus pergi? Jika karna bayang-bayang sang Ayah, kenapa tidak sekalian dirinya ikut?
Anes tak ingin sendirian. Cukup ayahnya yang pergi darinya, ibunya jangan. Sungguh, Anes tak mampu jika sendiri.
Ibu Anes berdiri dari duduknya, meraih pegangan koper. "Ibu harus pergi. Kamu jaga diri baik-baik. Masalah uang, akan Ibu transfer tiap bulannya."
Setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja tanpa memperdulikan panggilan Anes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Whit Classmate
Teen FictionFOLLOW SEBELUM BACA ••••• Apa jadinya jika cowok yang selama ini kamu cintai secara diam-diam mengambil barang berharga yang kamu miliki? Gadis manis yang memiliki paras cantik harus kehilangan mahkota dalam dirinya di m...