Malapetaka

30.1K 4K 149
                                    

Sudah tiga hari sejak kejadian aku kabur dari rumah. Sekarang rumah menjadi makin sepi. Aku tidak ingin bicara dengan orangtuaku, dan Mama juga tidak terlihat membujukku untuk sekedar basa-basi dengannya. Hanya Papa yang kadang masih berbasa-basi.

Tiga hari ini aku hanya mondar-mandir di dalam rumah saja. Aku tidak punya hiburan selain televisi, bahkan laptopku pun juga tidak terlihat di mejaku. Kamar Mama dan Papa selalu dikunci, pernah aku mencoba masuk, tapi ternyata dalam keadaan terkunci.

Aku tidak lagi pergi ke peternakan untuk bantu-bantu di sana, dan orangtuaku pun tidak terlihat memaksaku. Tapi aku yakin, cepat atau lambat mereka akan menyeretku kembali ke sana untuk belajar mengelola peternakan.

Angin terlihat bertiup cukup kencang di luar. Aku melihat dedaunan di halaman rumah berterbangan ditiup angin. Rasanya aku juga butuh melangkahkan kaki keluar dari rumah untuk merasakan kencangnya angin menerpa wajahku.

Akhirnya aku keluar berjalan menuju pendopo depan rumah. Dugaanku benar, angin bertiup lumayan kencang. Yang aku suka di sini adalah angin yang bertiup di sini rasanya segar. Berbeda dengan angin kota yang kadang rasanya malah menjadi angin panas.

Aku duduk di pinggir penpodo sambil bersandar di tiang kayu. Aku mirip seperti seseorang nggak punya kehidupan. Kalau kata anak jaman sekarang 'nolep' alias 'no life'.

"Mbak!" suara teriakan membuatku menjauhkan kepalaku dari tiang pendopo. Ternyata Dani lewat depan rumah.

Aku hanya tersenyum kecut melihatnya berlalu begitu saja. Mataku mengekori sosoknya yang kemudian memasuki pekarangan rumahnya. Pagar pemabatas rumahnya dengan rumahku hanya setinggi satu meter, jadi aku bisa melihat Dani dan motornya yang memasuki pekarangan rumahnya.

Dani tahu nggak ya kalau aku beberapa hari yang lalu kabur dari rumah?

Aku buru-buru menggelengkan kepalaku. Kejadian itu sangat tidak menyenangkan kalau diingat-ingat. Aku tidak mau mengingatnya lagi.

"Mbak nggak ke peternakan?" tanya Dani dengan suara kerasnya supaya aku bisa mendengarnya.

"Enggak," balasku keras juga supaya dia bisa mendengar.

Dani keluar dari rumahnya sambil membawa ember dan alat pancing. Kemudian dia kembali menaiki motornya.

"Mau mancing?" tanyaku.

"Ho'oh..." jawabnya mulai menyalakan motor. Dia kembali melewati rumahku, tapi kali ini berhenti.

"Ikut piye, Mbak?" tawarnya.

(Ikut gimana, Mbak?)

"Kamu nggak tahu apa?" selidikku.

"Apa?" Dia balas bertanya.

"Aku habis kabur."

"Oh... Tahu, Mbak."

"Hp aku disita. Kalau aku ikut kamu, orangtuaku nggak tahu, bisa dikira aku kabur lagi."

"Lha piye, arep melu gak?"

(*Lha gimana, mau ikut nggak?)

Ya sebenarnya mau.

"Nanti aku kabarin Pakde kamu ikut aku mancing."

Mataku langsung melebar. Aku segera berlari ke arah Dani.

"Ikut! Ikut!"

Aku dengan gembira naik ke motor Dani. Lumayan, hari ini aku bisa dapat sedikit hiburan selain menonton TV di rumah.

Dani melajukan motornya dengan santai, melewati rumah-rumah warga, kemudian kebun-kebun rimbun, hingga akhirnya sampai di sebuah embung. Terlihat beberapa orang sedang duduk dipinggir embung sembari menunggu pancingan.

Clumsy SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang