“Si.”“SISI!”
Aku hampir tersungkur dari sofa ruang TV.
“Kenapa, Pa?” tanyaku sambil memperbaiki posisku dudukku. Papa mengerutkan dahinya dan melihatku dengan tatapan menyelidik.
“Kamu kenapa to? Perasaan tiap kali Papa lihatin kamu pasti lagi bengong sendiri.”
“Hah?” Aku mengusap leher bagian belakangku. “Emang iya?” Aku balik bertanya.
“Itu celana kena apa?” tunjuk Papa.
Aku melihat ke celana bagian depanku yang ternyata basah karena tadi aku minum es dan gelasnya sempat aku letakkan di pahaku sambil aku pegangi tentunya. Namun aku tidak sadar kalau sampai sebasah itu.
Papa berdecak sambil menggelengkan kepala. Berikutnya dia duduk di sampingku. Matanya menatapku seolah menunggungu untuk memberikan respon padanya.
“Kenapa, Pa?”
“Kemarin...”
“Hmmm?” Aku menunggunya karena dari wajahnya Papa terlihat begitu penasaran.
“Kemarin...”
“Kemarin apa?” tanyaku tidak sabaran.
“Kemarin, tumben kamu nggak marah-marah. Kamu nggak bikin ulah diem-diem kan?”
Aku terdiam sejenak sambil mengingat-ingat tentang kemarin. Betul. Setiap kali aku bertemu dan berinteraksi dengan Ayash, setelahnya aku akan marah-marah. Minimal wajahku menjadi masam dan ketus.
“Ada apa?” tanya Papa kemudian karena aku tak kunjung menjawab.
“Emang kenapa sih?” Aku sedikit sewot karena tidak ingin dikulik lebih dalam.
Papa membuang napas panjang. “Ya, Bapak sama Ibumu penasaran lah. Kamu nggak ngapa-ngapain Ayash kan?”
Hah!
“Ngapa-ngapain apaan! Enggak!” seruku.
“Kalau pun kamu ngapa-ngapain Ayash, Ayash juga pasti nggak cerita ke Bapak Ibumu.”
Aku mendesah pelan. Mungkin menurut Papa dan Mamaku Ayash itu must protect at all cost. Dan posisinya di sini aku adalah penjahatnya. Yaa... Tidak salah juga mereka curiga, karena memang aku jahat. Apalagi mulutku yang menjadi penyumbang terbesar kejahatanku.
“Enggak! Aku nggak ngapa-ngapain dia. Lagian khawatir banget. Harusnya Papa sama Mama itu lebih khawatir kalau anaknya itu dititipin ke Ayash. Ayash itu cowok loh, Pa! Emang Papa nggak takut aku diapa-apain sama Ayash?” cecarku.
“Papa lebih khawatir Ayash yang kamu apa-apain.”
Aku menatap Papa dengan ekspresi tidak percaya. Badanku sedikit melorot dari posisi dudukku. Sepertinya memang marahku kemarin kepada Ayash sangat menakutkan.
“Papa harus ngomong apalagi ya buat bujukin kamu?” gumam Papa sambil menatap ke arah TV yang sedari tadi memang menyala.
“Bujukin apa?” tanyaku setengah tidak peduli karena aku tidak paham konteksnya.
“Ya bujukin kamu biar sedikit nerima Ayash.”
Aku melirik Papa sekilas, kemudian aku pura-pura terlihat tidak peduli.
“Kalau Papa ngomong banyak-banyak pasti kamu marah, belum selesai bicara kamu udah emosi,” curhat Papa.
“Emang Papa mau bujukin gimana? Setuju nggak setuju, mau nggak mau. Akhirnya ya tetep sama, Papa bakal nikahin aku sama Ayash.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...