BAB 2

1.4K 76 53
                                    

Arland menoleh ke arah kamar mandi. Ia teringat menemukan paperbag di dalamnya. Belum sempat ia cek apa isinya karena itu termasuk hal privasi Meika dan akan lebih baik jika Azkara yang membukanya.

"Maaf sebelumnya, Tuan Muda. Saat Anda pingsan tadi, saya mencoba mencari keberadaan Nyonya Meika. Saat saya mengetuk pintu kamar mandi tidak ada respon sama sekali dari dalam. Maaf sekali lagi atas kelancangan saya, Tuan, saya membuka pintunya karena saat itu saya berpikir sedang terjadi sesuatu yang buruk pada Nyonya di dalam, mengingat Anda tadi pingsan. Namun, begitu saya masuk, Nyonya tidak ada. Saya malah menemukan satu paperbag yang teronggok di dekat wastafel," ungkap Arland panjang lebar.

"Baiklah, saya mengerti. Berikan paperbag yang kau maksud itu," pinta Azkara yang masih agak pusing kepalanya.

Arland mengambil paperbag yang terletak di atas sofa berwarna krim di sudut kamar lalu memberikannya pada Azkara. Di paperbag itu terdapat tulisan kata "Maaf" dalam bahasa Jerman "Verzeihen" yang dicetak tebal.

Pria yang masih terbaring itu dengan cekatan membukanya. Tangannya mengeluarkan sebuah gaun pengantin.

"Arland! Ini gaun pengantin istri saya. Dia tidak jadi memakainya lalu kemana dia?" tanya Azkara yang panik.

"Saya dan anak buah masih mencari keberadaan Nyonya Meika, Tuan Muda," jawab Arland.

"Apa sudah kau coba hubungi Meika?"

"Sudah, Tuan. Tetapi, nomornya tidak aktif."

Azkara tampak berpikir mengapa istrinya tidak jadi memakai gaun pengantin yang kini ia pegang, padahal dia sendiri melihat bahwa Meika masuk ke dalam kamar mandi sambil menenteng gaun tersebut. Meika sendiri yang mengatakan bahwa dia akan berganti pakaian setelah istirahat.

Sebelum ke kamar mandi, istrinya memberinya teh hangat. Setelah meminum teh tersebut mendadak kepala Azkara terasa pusing dan rasa kantuk menyerangnya. Matanya lambat laun terasa berat untuk terbuka, perlahan ia pun tertidur.

Tidak mungkin Meika memberiku obat tidur, batin Azkara.

"Arland, selidiki siapa yang telah mencampur obat tidur dalam minuman saya. Gelasnya ada di atas nakas," perintahnya.

"Baik, Tuan Muda! Bagaimana dengan para tamu Tuan?  Mereka sudah lama menunggu bahkan beberapa dari mereka sudah ada yang pulang terlebih dahulu."

"Sebentar lagi saya akan turun untuk meminta mereka pulang saja. Percuma untuk melanjutkan resepsi," jawab Tuan Muda. Ada rasa kecewa, sakit dan sesak serta bingung menjadi satu dalam dirinya.

"Saya permisi, Tuan Muda! CCTV di gedung ini harus saya cek," pamit Arland pada Azkara.

"Untuk CCTV di kamar ini hanya saya saja yang boleh melihatnya. Kirim salinan rekamannya ke laptop saya dan antarkan kepada saya segera," perintah Azkara.

"Baik, Tuan! Segera saya antar secepatnya. Saya undur diri," pamit Arland.

Di mana kamu sayang? gumam Azkara.

Wajah sendunya semakin bertambah gusar. Ia lalu mengambil ponsel dan melacak posisi Meika melalui GPS ponselnya yang dihubungkan ke ponsel Meika.

"Tidak terhubung! GPS-nya mati? Astaga!" teriaknya. Ia sungguh kesal.

"Ini tidak beres. Apa kamu diculik Mei? Tapi selama ini tidak ada musuh yang mengintaimu. Penjagaan di sini juga ada. Lalu? Apa kau sengaja meninggalkanku?" gumamnya masih dengan wajah yang gusar.

Beralih pada Arland yang sedang berkutat di depan layar monitor CCTV dan juga laptop bosnya. Ia menonton satu video rekaman sebelum listrik padam.

Ada pesan masuk dari Gio.

[Siap laksanakan, Pak! Gelas akan segera dikirim untuk diperiksa lebih lanjut.]

[Bapak masih di ruang pemantauan CCTV? Tadi saat mengambil gelas di kamar Tuan Muda Azkara, beliau bilang untuk segera membawakan laptop kerjanya. Beliau sekarang menunggu di lantai bawah bersama para tamu.]

Arland membaca pesan tersebut langsung membalas, [Baik, terima kasih. Lanjutkan kerjamu.]

Saat ia tengah berberes, anak buahnya datang berlari tergesa-gesa.

"Pak! Pak Arland! Ada bom di dalam gedung, Pak!" teriak anak buahnya yang ngos-ngosan.

"Astaghfirullah!" pekiknya. Matanya membulat, jantungnya berpacu kencang, Arland kaget setengah mati. Ditambah lagi ia melihat apa yang ada dalam genggaman Vyan.

Dia bergidik ngeri. Berani sekali anak ini, batinnya.

"Saya berusaha mengutak-atik kabel bomnya. Akan tetapi, nihil. Waktunya terus berjalan, Pak. Tersisa dua menit lebih 40 detik lagi. Kita harus cepat keluar dari sini! Serahkan saja semua pada saya," sergah Vyan, anak buahnya yang berkompeten di bidang khusus itu.

Arland mengangguk cepat meski rasa khawatir menjalari perasaannya. Ia berkata, "Baiklah, berhati-hatilah, Vyan."

Arland kemudian berlari menuju aula di mana para tamu berada.

"Tuan! Kita semua harus segera keluar dari sini!" bisik Arland yang sudah panik. "Telah ditemukan bom di dalam gedung!" sambungnya lagi.

Sementara itu, Vyan meletakkan bom yang waktunya tersisa 2 menit 30 detik di area belakang gedung. Lokasinya cukup jauh dari gedung. Hanya terlihat pepohonan lebat serta banyak semak belukar. Ia ditemani oleh dua anak buah lainnya. Mereka pun berlari sekencang mungkin meninggalkan bom.

"Para Hadirin! Segera tinggalkan gedung ini! Karena akan ada ledakan yang terjadi. Segera keluar!" jerit Azkara menggunakan microphone.

Sontak para tamu berhamburan keluar meninggalkan gedung sejauh mungkin. Para anak buah lain pun menjerit memperingati melalui toak dan microphone bahwa semua yang ada di dalam gedung harus segera keluar.

Azkara menaiki tangga dengan cepat.

"Tuan Muda Azkara! Ledakan sebentar lagi akan terjadi untuk apa Anda naik kembali?" teriak Arland sambil mengejar bosnya, tapi tidak dihiraukan Azkara.

Azkara mengambil paperbag di atas kasur lalu bergegas lari.

"Ayo cepat turun dan keluar dari sini!" teriaknya pada Arland.

Arland pun berbalik memutar arah larinya. Mereka berlari sangat kencang hingga terguling-guling saat menuruni tangga lalu bangkit dan berlari kembali.

Waktu bom yang tersisa sekitar sepuluh detik saat semuanya berhasil keluar dan menjauh termasuk Azkara dan Arland.

Tanpa mereka sadari terdapat bom lain di area depan gedung, tepatnya di tanaman pagar berbunga dekat jendela. Waktu di bom tersebut tersisa lima detik lagi hingga ledakan pun terjadi. Beberapa anak buah yang belum keluar dari gerbang akhirnya terkena ledakan.

Sekitar beberapa detik kemudian, ledakan kembali terjadi dari arah belakang. Gedung pun hancur luluh lantah dan sekitarnya juga berimbas terkena ledakan.

Malam telah berlalu.

"Akhirnya kita bersama Mei," ucap lirih pria berwajah blasteran Indonesia-Korea berkulit putih. Ia duduk di samping Meika yang tengah tidur.

Dia tersenyum sembari membelai pucuk kepala Meika dengan lembut. Sorot mata yang dipancarkan pada Meika begitu hangat dan mesra.

Pria itu adalah Malvin. Lelaki yang amat mencintai Meika jauh sebelum Meika mengenal Azkara.

"Rupanya bius itu sangat ampuh hingga kau tertidur selama ini," gumamnya. Ia tak menyangka sekarang bisa bersama dengan wanita pujaannya.

Terjebak Asmara Tuan Muda Posesif Where stories live. Discover now