BAB 15

409 67 92
                                    

Nesha buru-buru mematikan ponselnya. "Nanti kutelepon lagi." Ia lalu membuka pintu. "Ada apa, Ra?"

"Tadi aku dengar kakak tertawa."

"Oh, itu." Nesha tersenyum. "Di dalam kamar aku memang tertawa. Aku teringat saat-saat kebersamaan dengan Yasmin. Walau aku kurang akur dengannya, percayalah aku sangat menyayanginya. Aku tak menyangka sekarang dia telah tiada," ucapnya sedih.

Nesha mencoba merasa sedih agar air matanya keluar. "Aku bahkan belum meminta maaf padanya, Ra."

Zahira ikut menangis. "Sudah, Kak Nesh. Kita harus sabar dengan semua ini." Ia memeluk Nesha.

"Sekarang tidurlah. Kau tidak boleh cuti lama dari kuliahmu," ujar Nesha seraya melepas pelukan Zahira.

Zahira patuh, segera ia meninggalkan Nesha dan pergi ke kamarnya. Nesha lantas mengunci pintu.

"Untung aku pandai berakting." Nesha membanggakan diri.

"Cepatlah pergi dari sini Zahira! Sehingga aku akan lebih leluasa menguasai harta Yasmin." Gadis itu tersenyum menang karena berhasil menyingkirkan saudari angkatnya. Dia lega, tak perlu membagi warisan mendiang orang tuanya dengan Yasmin. Justru, ia akan mendapatkan lebih dari penjualanan butik serta desain gambar milik Yasmin. Tak luput tabungan kakaknya itu juga ingin ia kuras.



***

Meika menggedor pintu sembari berteriak. Sejak sadar dia sudah berulangkali melakukannya.

"Zea! Buka pintunya! Buka ...!"

"Jika kau tidak membukanya, lihat saja apa yang akan kulakukan padamu nanti. Kau akan menyesal!" Ancaman Meika terdengar nyaring.

"Aku yakin kau mendengarku. Berhenti mengurungku seperti ini! Aku bukan boneka atau pun sanderamu. Cepat buka!" teriaknya kuat sekali sampai ia merasa sakit di tenggorokan.

"Diamlah! Aku sedang tidak ingin berdebat, terlebih lagi disibukkan olehmu. Simpan saja energimu untuk besok! Sia-sia saja kau terus berteriak, kau akan kehabisan suara. Ini sudah malam, aku mau istirahat. Jangan ganggu aku dengan suara cemprengmu!" sergah Zea dari balik pintu.

"Dasar payah! Kau bilang suaraku cempreng, hah?! Suaraku ini termasuk indah. Apa kau tahu? aku pemenang juara pertama vokal solo tingkat provinsi," tegasnya.

"Apa? Tingkat provinsi? Hanya tingkat provinsi saja bangga!" ejek Zea, terkesan sekali ia merendahkan Meika.

"Jangan meremehkanku! Azkara sangat menyukai suaraku. Kurasa kau tidak mungkin lupa hari di mana aku dan dia bernyanyi bersama di acara pertunangan kami. Ketika itu wajahmu terlihat tidak senang. Aku tahu kau iri padaku."

"Berhenti!" Zea menendang pintu lantaran kesal. Ia ingat ketika Azkara dan Meika berduet dengan mesra menyanyikan berbagai macam lagu. Banyak para tamu yang memuji mereka. Suara mereka terdengar merdu dan cocok. Tentu hal itu membuatnya semakin muak pada Meika.

"Simpan saja kejadian manis dan romantismu bersama Azkara sebanyak yang kau mau! Semua itu hanya tinggal kenangan. Kau tidak akan bisa kembali padanya. Mungkin, sekarang dia sudah mencari panggantimu." Setelah berkata demikian, Zea sungguh puas. Ia lalu melenggang pergi.

"Bohong! Dia setia dan mencintaiku, tidak mungkin Azkara mengkhianatiku. Aku yakin saat ini suamiku pasti sedang mencariku. Kau telah menculikku, Zea! Kupastikan Azkara tidak akan mengampunimu, meski kau adalah sepupunya!"

"Zea, kau dengar aku?"

"Zea!" Meika meringis, dielusnya telapak tangannya yang memerah akibat memukul pintu terlalu kuat.

Perlahan dia merosotkan diri lalu terduduk membelakangi pintu. Ia menitikkan air mata. "Aku di sini, Azkara. Aku sungguh merindukanmu. Seharusnya kita bersama detik ini. Kau berjanji akan mengajakku ke tempat mana pun yang kumau. Azkara, bawa aku pulang dari sini." Meika menangis, rasanya ingin sekali memeluk sang suami yang sedang tak ada di sisinya.




Terjebak Asmara Tuan Muda Posesif Where stories live. Discover now