BAB 13

388 79 115
                                    

Orang yang menghubunginya malah menjawab dengan bahasa korea.

Astaga! Mau apa orang ini, aku tidak bisa bahasa Korea, batin Liza. Walau tidak bisa, tapi dia sedikit tahu beberapa kata dan logat Korea.

Liza bertanya dalam bahasa Inggris, "Who are you? Do you know me?" (Siapa kau? Apa kau mengenalku?)

"Hhmm," balas pria yang meneleponnya.

Respon penelepon misterius itu berhasil membuat Liza geram. Bisa dipastikan tensinya naik sekarang.

"If nothing is important, you better not call!" (Jika tidak ada yang penting, Anda sebaiknya tidak menelepon!) hardik Liza yang sudah kesal.

Sebelum Liza memutus panggilan, penelepon itu berkata, "Kim Malvin!"

"What? Malvin, is that you?" (Apa? Malvin, Kaukah itu?) tanya Liza tak percaya.

"Menurutmu siapa lagi? Sorry, aku baru bisa menghubungimu karena pagi tadi aku baru saja tiba di Seoul." Malvin berdiri dekat jendela, melihat pemandangan kota sembari meneguk teh favoritnya.

"Thanks, Liz. Berkat bantuanmu aku bisa membawa Meika ke sini. Tenang saja! Aku akan segera menikahinya. Dia tidak akan bisa bersatu dengan adikmu lagi." Terdengar gelak tawa Malvin.

"Berarti Meika sedang bersamamu? Dia tidak di Indonesia?"

"Iya. Memangnya kenapa? Sengaja aku tidak memberi tahu rencana ini padamu. Setidaknya aku dan Meika bisa menjauh dari Azkara."

"Secepatnya kau nikahi dia. Ingat! Jangan sebut namaku dalam hal ini. Apa Zea juga di sana?"

"Iya, dia ikut untuk membantuku. Ada sedikit hal kecil yang belum boleh kulakukan," kekehnya.

"Oh iya, masih ada satu hal lagi yang harus kau urus. Aku akan kirimkan surat cerai yang sudah ada cap sidik jari Meika sebagai ganti tanda tangannya. Kau hanya perlu berikan itu pada Azkara agar ditanda tangani atau dicap jari olehnya."

Mulut Liza ternganga. "Bagaimana bisa aku memberinya? Kau gila, hah? Kau dan aku akan ketahuan."

"Tenanglah, untuk langkah selanjutnya akan kuberitahu. Surat-suratnya masih dalam proses. Kututup dulu teleponnya."

Liza bingung, tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Dia sudah sangat stres dengan masalah ini. Ia baru menyadari sesuatu, seharusnya saat ini dia ada di kantor. Buru-buru wanita berwajah manis itu tancap gas. Terpaksa kunjungan ke butik harus dibatalkan.


Seorang wanita berambut lurus sebatas bahu terbaring di atas kasur bersprei abu-abu muda. Perlahan kesadarannya terkumpul setelah dibius beberapa kali.

Ia melangkah menjauhi ranjang. Lemas di sekujur badan itulah yang dia rasa. Awalnya ia mengira sedang berada di sebuah hotel. Ternyata dugaannya salah. Saat keluar kamar barulah dia tahu bahwa dirinya ada di sebuah apartemen. Kebetulan pintunya tak terkunci. Bergegas ia pergi dari sana.

Ia berlari menuju lift. "Tunggu!" ucapnya pelan lantaran lemas.

Pria di dalam lift berbaik hati dengan menahan lift agar ia bisa masuk. Sekarang hanya ada mereka berdua di sana. Kebetulan tujuan mereka sama, yaitu turun ke lantai dasar.

Wanita itu merapatkan tubuhnya ke dinding. "Kenapa badanku terasa begitu lemas?" Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskanya perlahan. Dadanya naik turun serta jantung berdegup kencang.

"Apa Azkara yang membawaku ke sini? Tapi di mana dia?"

Pria itu menoleh sebentar, dia tak mengerti apa yang barusan dikatakan oleh si wanita. Sampai detik ini tak ada percakapan di antara mereka.

Terjebak Asmara Tuan Muda Posesif Where stories live. Discover now