BAB 17

297 47 91
                                    

Yasmin mengamati sekeliling. Semilir angin menerpa wajah cantiknya. Surai hitam bergelombang alami yang tergerai itu terbang bak berkibar akibat tiupan angin sampai menutupi sebagian wajah. Yasmin melihat hanya ada rimbunana pepohonan, tumbuhan, serta jalan satu arah. Terdapat pula beberapa rumah warga, jaraknya cukup jauh antar satu sama lain. Masih ia dengar lamat-lamat suara gonggongan anjing yang memecah keheningan. Tak berselang lama, Mobil mewah Calleythi memasuki pekarangan mansion.

Yasmin menyadari ada mobil menuju ke arahnya, segera merubah posisi menjadi tengkurap agar tak terlihat penumpang mobil. Ia tak bisa percaya pada siapapun di sana. Dia ingin pulang, tetapi entah bagaimana caranya supaya dia berhasil pergi dari sana tanpa ketahuan.



"Bagaimana ini, Pak?" Sania ketar-ketir.

Sedangkan Aldrich ikutan panik. Ia bangkit dari kursi hingga kursi itu jatuh terbalik. Ia lalu mondar-mandir menatap ke luar jendela. "Sania, kau harus ke bawah. Cari topik lain untuk mengalihkan perhatian nyonyamu. Cegah jangan sampai dia masuk ke kamar Yasmin."

"Pengawal pasti sudah membukakan pintu untuk nyonya, Pak."

"Itu sebabnya aku menyuruhmu turun dan cegah dia dengan alasan apa pun. Ulurlah waktu sampai aku menemukan keberadaan Yasmin. Pergilah, Sania!"

"Tapi, Pak ...." Sania akhirnya mengalah pergi.



***

Di meja makan, Meika serta Zea duduk berhadapan. Susah payah Zea menghentikan Meika yang memaksa pergi. Dia memutuskan akan menceritakan kejadian sesungguhnya jika Meika mau diajak duduk dan bicara dengan tenang.

"Kau tahu faktanya, kan? Azkara tidak akan bisa menemukanmu," ucap Zea tenang.

"Kalian jahat! Dasar pengecut!" teriak Meika. Tangannya tergkepal di atas meja.

"Terserah apa katamu. Kau tidak mempunyai akses apa pun untuk menghubungi Azkara. Mulai detik ini, kau akan menghabiskan waktumu di negeri ini." Tatapan Zea  tak lepas dari istri sepupunya itu. Mata Meika kelihatan bengkak. Wanita itu menangis semalaman.

"Aku sudah menceritakan keseluruhan penculikanmu. Kau tinggal menunggu perceraian terjadi. Kau akan segera menikah dengan pria yang sudah lama menantikanmu. Aku juga harus kembali ke Indonesia, bukan? Aku muak di sini karena harus berdampingan bersamamu."

"Kenapa kau diam saja, Mei?" Zea membunyikan jari tangan.

"Siapa orang yang terlibat selain kau dan pria itu. Siapa?" tanya Meika menahan amarah dan kecewa.

Zea tersenyum manis merasa tak bersalah. "Tidak ada, hanya aku yang membantunya. Hebat, kan?" Ia mengendikkan bahu serta-merta tertawa menampakan deretan gigi putih bersih.

"Tidak mungkin." Meika menggeleng tak percaya. "Jangan memancing emosiku, Zea!" gertaknya.

Zea menjawab serius, "Memangnya aku sedang memancingmu? Apa kau lihat aku memegang alat pancing atau tanggok atau semacamnya?"

"Zea!" Meika berdiri menggeser kursi. "Katakan padaku siapa orangnya?!" tanya Meika setengah berteriak.

"Tebak saja sendiri. Kau sangat mengenalnya."

"Liza?" tanya Meika.

Zea mengacungkan jempol. "Tepat sekali!" Ia menepuk telunjuk kanan ke telujuk kiri layaknya bertepuk tangan.

"Kenapa dia tega padaku? Pada adik iparnya sendiri." Meika berbicara sendiri, suaranya terdengar lirih.

"Kerena dia tidak menyukaimu! Kau memaksa masuk ke dalam keluarga mereka." Suara Zea mulai meninggi.

Terjebak Asmara Tuan Muda Posesif Where stories live. Discover now