9. Pelukan Terakhir

249 18 0
                                    

YANG bisa Hera lakukan hanyalah menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

YANG bisa Hera lakukan hanyalah menangis. Tidak peduli seberapa kencang Sabian menginjak pedal gas sampai habis, perempuan itu terus menerus menggenggam kencang handgrip yang berada di atap mobil agar tubuhnya tak limbung. Satu katapun tak terdengar di sepanjang perjalanan, hanya kesunyianlah yang mengisi di antara keduanya. Apakah Sabian sudah kehabisan kata untuk kembali memulai pertengkaran dengan Hera? Tentu saja tidak. Hera sangat paham, kalau meledaknya amarah pria itu hanya tinggal menunggu waktu.

Sangat terlhiat jelas dari cara Sabian mengantarnya pulang malam itu. Pria itu benar-benar ugal-ugalan di jalanan. Menikung tajam dan menyalip kendaraan seperti tanpa perhitungan. Hera tahu betul kalau semua itu merupakan bentuk amarah. Namun sama dengan sikap Sabian yang tak pernah memikirkan perasaan Hera, perempuan itupun tak kalah masa bodoh. Pertengkaran-pertengkaran semacam ini sudah jadi makanan sehari-harinya semenjak hubungannya dengan Sabian memanas.

"Lo ngapain sih Yaa Tuhan..." Sabian meremas kepalanya frustasi. "Umur lo berapa, Hera?"

"Kenapa? Nggak suka ya kalau aku ngelabrak cewek kamu?!" Hera menyeka jejak air mata di pipinya. Ia melempar tasnya di atas tempat tidur, kemudian membalikan badan seperti hendak melawan Sabian.

"Cewek apaan sih maksud lo!" pekik Sabian. Ia benar-benar muak dengan perdebatan seperti ini. Hidupnya terasa tak normal selama Hera selalu mengganggunya. Berulang kali ia mencoba mengabaikan keberadaan Hera, ujung-ujungnya ia sendiri yang kerepotan. Hera terlanjur sudah menjadi bayang-bayang dalam hidupnya. 

"Kenapa nggak sekalian pelacur aja yang kamu jadiin tameng? Kan enak tuh gonta-gantinya. Mereka nggak akan bawa-bawa perasaan, kamu nggak rugi, mereka juga dapet uang."

"Jaga mulut lo ya!" Sabian melayangkan jari telunjuknya pada Hera.

"Kayak mulut kamu pernah bener aja Sabian..." ucap Hera sambil terkekeh sinis. Ia melucuti blazer dan blouse kerjanya hingga tersisa hanya celana bahan dan tanktop tipis berbahan satin. Wajah lelahnya begitu kentara, akan tetapi kalau hanya untuk meladeni omelan Sabian malam ini, ia jelas tidak akan menyerah bagitu saja. "Aku itu sampe udah kebal sama kata-kata kamu yang sering nyakitin aku. Dan aku tahu kok, kamu ngelakuin semua secara sengaja. Biar aku pergi kan?"

"Karena memang kita udah nggak bisa, Hera!" geram Sabian. Pria itu hampir tak memberi jarak, ia sampai bisa mendengar deru napas Hera yang tak beraturan. Begitu pula dengan dirinya, kalau saja tak pintar menahan diri, Sabian bisa saja khilaf karena amarahnya pada Hera sudah terpendam sejak lama.

"Memangnya si Dahlia itu bisa?!" tuduh Hera dengan suara bergetar. Ujung jari kakinya sampai berjinjit menyamakan tinggi Sabian di hadapannya. Hera benar-benar tak mau kalah. "Kenapa cewek yang baru kamu kenal itu tiba-tiba jadi penting?! Kenapa dia? Kenapa bukan aku yang dikasih kesempatan ke dua?!"

"Lo tahu kalau gue nggak akan bisa maafin kesalahan itu."

"Terus aja begitu! Cowok brengsek! Kamu memang bajingan Sabian!" rajuk Hera dengan sakit yang luar biasa. Tangannya memukuli dada Sabian, pria itu tak goyah sedikitpun. "Selama ini kamu memperlakukan aku kayak sampah, aku udah bener-bener nggak ada artinya di mata kamu. Kenapa sih, Bi? Kamu aja nggak pernah mau denger alasanku dulu apa, kesalahpahaman itu kenapa bisa bikin kamu sedendam ini sama aku?! Aku bukan Lexa, Sabian..."

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang