Atapu 32. Dia kembali

748 71 3
                                    

Seusai shalat subuh di mini house bersama teman-temannya, dan setelah mendiskusikan suatu masalah yang selama ini menggenang di pikiran anak-anak Tirga circle membuat mereka gelisah, akhirnya tadi Atapu memberikan jawaban yang membuat mereka bernafas lega.

Ya, rencana pembubaran Tirga circle, dibatalkan.

Saat ini Atapu sedang mengendarai motornya di area komplek menuju rumahnya. Ia berkendara pelan sembari menyapa para tetangga yang akan berangkat kerja juga dengan mata yang menikmati terbitnya matahari.

"HOI! MAS ATA!"

Atapu sontak menghentikan laju motornya saat mendengar suara bapak-bapak memanggilnya. Komplek itu memang memanggil Atapu dengan embel-embel Mas. Padahal rumahnya hanya berselang oleh rumah Lentara, maka Atapu sampai.

"Kenapa, Pakde? Burungnya ngompol lagi?" Satu tetangganya itu memang sangat menyukai burung. Terlebih burung perkutut yang sudah ia anggap sebagai anak.

"Enak aja. Sini dong, saya kasih tahu," pinta bapak itu.

Atapu mengangguk lalu melajukan motornya masuk pekarangan. Ia turun, kemudian berjalan ke arah bapak itu yang tengah duduk di kursi teras dengan sangkar burung perkutut yang bapak itu letakan di atas meja.

"Apa Pakde?" tanya Atapu. Ia yakin masih menyangkut soal burung. Sangat yakin.

"Coba Mas liat si Lulub, dia udah cantik belum? Saya udah capek makeup dia, Mas. Mas Ata 'kan pinter nilai penampilan cewek, jadi nilai si Lulub juga," ujar bapak itu.

Atapu meringis. Iya, perempuan. Tapi bukan berarti burung juga.

"Udah cantik, kok, Pakde. Pakde mah pinter banget rias Lulub," puji Atapu dengan senyum yang ia paksakan untuk terlihat tulus.

"Woi, Ta! Lo sombong, ya, sekarang. Sementang punya temen baru."

Atapu mencari sumber suara itu. Dan kedua pasang matanya berhenti pada seorang cowok yang tengah mencuci motor. Senyum simpul pun terbit di bibir merah muda Atapu. Ia segera berlari ke sana.

Cowok tadi berdiri lalu merentangkan kedua tangannya. Dua detik setelahnya, Atapu menghamburkan pelukannya. Setelah dirasa sudah puas, Atapu melepas pelukannya.

"Mas Akai kapan pulangnya?" tanya Atapu dengan bibir yang mengerucut.

Tetangganya itu dua tahun lebih tua darinya. Akai namanya, teman gila pengisi masa kecil Atapu. Ia sekarang sudah menginjak jenjang kuliah, membuatnya berpisah dari Atapu.

"Semalem, Ta. Lo apa kabar?"

"Selalu kangen Mas Akai," balas Atapu masih dengan bibir mengerucut.

"Lo kenapa? Cemberut gitu?" heran Akai.

"Kangen Mas Akai. Dulu Mas nggak pernah mau ninggalin gue sendirian, sekarang udah berani pergi jauh. Kangen main sama Mas," seloroh Atapu dengan tatapan mata sendu. Waktu pertama Atapu sampai di komplek ini, Akai lah yang menjadi teman pertamanya kemudian memperkenalkan pada teman-teman Akai yang lain. Layaknya prangko dan surat perjanjian, Akai adalah prangko yang harus selalu ada di sisi Atapu.

"Mas Akai selalu jadi Ayah terbaik buat gue," lanjutnya terdengar pelan.

"Panggil aku Mas Akai, kamu boleh anggap aku Ayah kamu kalau kamu rindu Ayah kandungmu, oke?"

"Ata selalu rindu Ayah, jadi Ata boleh selalu anggap Mas Akai sebagai Ayah?"

Akai terkekeh lalu memukul pelan bahu Atapu. Melihat Atapu selalu membuat dirinya merasa iba. Namun, Akai tidak boleh terlihat seperti itu, atau jika tidak Atapu bisa marah berhari-hari. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, Atapu tidak suka dikasihani.

Atapu Senja (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang