Baca yang atas dulu, aku duoble up!
Follow IG ku boo
@_wp.satebotak🚂🚃🚃🚃
"Mata yang melihat kepergian, namun hati yang merasakan kehilangan."
🚂🚃🚃🚃
Kesunyian tempat pemakaman sudah digantikan oleh pilunya isak tangis yang menyaksikan pemakaman Atapu dan Lentara yang memang tak jauh jaraknya. Melihat mereka bangga pada pencapaian tadi pagi, sama sekali tidak tergambar akan berakhir seperti ini. Tanah kuburan itu, kembali meminta jasad.
Fendu, kedua matanya kembali memanas saat membaca nama anaknya di nisan. Sepertinya, kemarin ia baru saja melantunkan azan pada seorang bayi, tapi tadi, ia harus kembali melantunkan azan di liang lahat.
"Bohong. Kenapa kamu biarkan Papa baca nilai kamu sendiri? Kamu udah janji mau baca bareng-bareng. Lihat, Mama menangis gara-gara ulah kamu. Ata sekarang berani nakal, ya?" Sungguh, rasanya ada benda besar yang menghimpit kuat dadanya. Sesak sekali. Ternyata, tawa keras kemarin, sebagai penyambut pilunya tangis.
Di belakangnya, tujuh teman Atapu dan anak-anak komplek yang hari-harinya ditemani Atapu juga tak bisa menghalau air mata. Mengingat bagaimana tegasnya, tawanya, dan baiknya Atapu, justru membuat mereka kian terisak.
Seji, anak laki-laki itu paling pilu tangisnya. Ia memeluk gundukan tanah itu, meluapkan segala pedih di hatinya. Matanya yang melihat kepergian, tapi hati yang menderita.
"Bang Ata nggak mau main sama aku lagi? Siapa yang ngajarin anak-anak buat keren kayak Abang lagi? Kenapa Bang? Harusnya Bang Ata udah pamer nilai-nilai Abang ke kami. ABANG DENGER?! ABANG BELUM PAMER KE SEJI!" Lagi, lagi, Seji kembali menangis histeris. Tak peduli baju putihnya kotor oleh tanah, ia ingin memeluk Atapu lebih lama lagi.
"Tuhan, dengan merebut lebih awal Bang Ata dari kami, sama saja merebut banyak bahagia anak-anak." Pilo, anak itu sejak tadi menangis di pelukan ibunya. Sejak Atapu sampai di rumah untuk mengurus jenazahnya, hanya anak itu yang tak tega melihat tertutupnya mata Atapu, untuk selamanya.
"Abang terlalu baik, makanya Tuhan merindukannya," sahut Gisof. Satu anak itu hanya duduk dengan tatapan menerawang jauh. Ingatan tentang bagaimana Atapu menemani anak-anak bermain, bagaimana Atapu menunjukan kasih sayang, dan tutur katanya yang selalu membuat anak-anak nyaman, kini, berputar kembali.
Seji mendongak. "NGGAK! Abang itu nakal! Dia selalu berantem sama aku, jadi apa Bang Ata bisa kembali?! Kembalikan, Tuhan! Jangan peluk dia dulu!!" ujar Seji menggebu-gebu. Dasarnya, sebanyak perdebatan yang memicu keakraban, sebanyak itulah kasih sayang yang tak mampu di lontarkan. Andai Seji tidak ditutup oleh gengsi, anak itu pasti akan berkata sayang ratusan. Untuk menemukan remaja yang tulus menemani masa kecil anak-anak sangatlah susah.
Sagar, cowok itu ikut berjongkok di samping gundukan tanah basah itu. Mengusap nisan bertuliskan Atapu Lembiru. "Bisa diulang nggak? Kalo bisa, gue nggak mau ke Yogya, biar gue bisa liat Lo lebih lama. Baru tadi pagi gue liat Lo lagi, Ru. Lo nggak kangen gue?" Bibirnya tersenyum bersamaan buliran kristal yang kembali meluruh. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, kemudian berdiri untuk bergantian dengan yang lain.
Sekarang, giliran Loka, manusia yang selalu di datangi Atapu kini ganti dia yang mendekati kuburan cowok bermata belo yang selalu memberinya kata 'keren'.
"Hai, serius kita nggak bisa ketawa bareng lagi? Nggak mau curhat lagi, Biru? Ibu selalu nunggu Lo di rumah, Ibu udah siapin makanan kesukaan Lo," Loka menjeda kalimatnya hanya untuk mengambil nafas, sesak di dadanya kian menyeruak. "makasih, ya. Makasih udah jadi pemimpin paling keren di Tirga, nggak ada yang bisa selain Lo. Setelah ini, Tirga nggak akan tertawa sekeras dulu saat ada Lo." Hancur sudah pertahanan Loka, cowok itu segera berdiri menjauhi gundukan tanah tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atapu Senja (Terbit)
Teen FictionSudah terbit + part masih lengkap "Ada kesempatan untuk yang berusaha." -Atapu Lembiru. "Jika diremehkan, berarti ada peluang membuktikan." -Lentara Senja. Bagaimana perasaanmu jika selalu dikenal bodoh oleh warga sekolah hanya karena sering membolo...